Lampu Padam Lebih Heboh dari Isi
Begitulah jadinya. Alih-alih membicarakan isi buku, publik justru lebih sibuk membicarakan mati lampu. Padahal, mati lampu di Indonesia itu hal lumrah---bahkan kadang dianggap rezeki PLN. Ironinya, dalam kasus ini, lampu padam lebih berhasil jadi panggung daripada isi buku itu sendiri.
Akhirnya, peluncuran Buku Putih lebih mirip pertunjukan teater gelap: spotlight diarahkan ke drama, sementara isi yang mestinya jadi aktor utama justru tertinggal di belakang panggung.
Pelajaran dari Semua Ini
Apa yang bisa kita pelajari? Pertama, kalau mau meluncurkan buku, pastikan isinya bernas. Drama mungkin bisa mengangkat nama sehari dua hari, tapi isi yang kuatlah yang membuat karya bertahan lama.
Kedua, media arus utama harus ingat pada perannya. Tugas mereka bukan sekadar jadi pengeras drama, tapi penyaring informasi. Kalau media ikut hanyut dalam sensasi, publik akan kehilangan jangkar kebenaran.
Ketiga, publik pun perlu belajar memilah. Jangan sampai energi bangsa ini habis hanya untuk membicarakan boikot ruang dan mati lampu, sementara substansi dibiarkan sepi.
Seperti kata filsuf Sren Kierkegaard, "Kebosanan adalah akar segala kejahatan." Jangan-jangan, karena bosan dengan isu-isu serius, publik kita justru lebih betah menikmati drama receh yang dijual sebagai headline.
---
Akhir kata, peluncuran Buku Putih Roy Suryo Cs adalah contoh nyata bagaimana panggung bisa lebih ramai dari isi. Substansi gagal bicara, tapi dramanya sukses jadi jualan. Kalau ini terus berulang, kita harus siap hidup di negeri di mana "mati lampu" bisa lebih penting daripada "menyalakan pikiran."***MG
---