Abraham Samad, mantan Ketua KPK yang dulu sering memimpin gebrakan pemberantasan korupsi, kini duduk di kursi berbeda: kursi pemeriksaan polisi. Penyebabnya? Podcast miliknya dianggap ikut memanaskan isu ijazah palsu Presiden Joko Widodo.Abraham sendiri tampak tenang. Ia bilang, "Ini murni edukasi hukum, bukan fitnah." Kedengarannya terhormat. Tapi setelah kita buka isinya, kata "edukasi" di sini terasa lentur---dan cenderung condong ke satu sisi.
---
Podcast yang "Edukasi"-nya Satu Nada
Ambil contoh saat Abraham ngobrol dengan Sudirman Said. Di situ Sudirman menuding:
> "Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami kerusakan di tangan Presiden Jokowi. Demokrasi mundur, KPK dilemahkan, etika diabaikan, nepotisme merajalela."
Kalimat ini tajam dan penuh emosi. Sah-sah saja untuk sebuah kritik politik. Masalahnya, tidak ada lawan bicara yang membantah atau memberi perspektif lain. Jadilah podcast itu seperti panggung orasi, bukan forum diskusi.
Episode lain bersama Beathor Suryadi, politikus senior PDIP, juga bernuansa sama. Obrolan mengungkit masa Jokowi di Balai Kota dan bagaimana Ahok menggantikannya, tanpa satu pun suara tandingan. Kalau ini "edukasi", ya mirip sekolah yang muridnya cuma belajar dari satu buku---dan bukunya pun hanya bab kritik.
---
Kenapa Abraham Dipanggil?
Abraham mengaku baru tahu dirinya dilaporkan saat sedang di luar negeri. Ia menduga polisi menyoroti episode-episode podcast soal ijazah Jokowi. Yang membuatnya heran, banyak podcaster lain juga mengulas isu yang sama, tapi hanya dia yang dipanggil.
Ia menyebut ini sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan berpendapat. Presiden Jokowi menanggapi santai, mengatakan kasus ini bukan soal siapa orangnya, tapi soal peristiwa yang dilaporkan. Kalau dalam penyidikan muncul nama, ya itu bagian dari proses.
---
Reaksi Publik: Antara Dukung dan Kritis
Di media sosial, reaksinya beragam. Pendukung Abraham memuji keberaniannya mengangkat isu sensitif, menganggap ini ujian demokrasi dan kebebasan berbicara. "Kalau kritik dilarang, kita mau belajar apa?" tulis seorang warganet.
Tapi tak sedikit juga yang kritis. Ada yang bilang, "Kalau mau edukasi, undang semua pihak. Kalau cuma satu sisi, itu bukan edukasi, itu kampanye." Beberapa jurnalis senior bahkan mengingatkan, podcast adalah media publik yang tetap tunduk pada UU ITE dan KUHP.
---
Bagaimana Seharusnya Podcast Edukatif?
Podcast yang benar-benar mencerdaskan harus menghadirkan semua perspektif---pro, kontra, dan netral. Audiens butuh informasi yang bisa ditimbang, bukan dihafalkan. Tanpa itu, diskusi berubah menjadi ruang gema---suara yang sama memantul bolak-balik tanpa ada bantahan.
Aristoteles pernah bilang, "Pendidikan itu menyalakan api, bukan mengisi bejana." Tapi kalau apinya diarahkan ke satu sisi, yang terbakar hanya satu kubu. John Stuart Mill juga mengingatkan, "Kebebasan sejati adalah saat kita mau mendengar pendapat yang tidak kita sukai."
---
Penutup: Jujur Dulu, Baru Edukatif
Abraham boleh saja menyebut podcast-nya edukatif. Tapi publik berhak menilai dari isinya. Kalau hanya mengundang pengkritik, tanpa membuka ruang bagi pihak yang mendukung atau membela kebijakan, maka "edukasi" itu terasa pincang.
Edukasi yang obyektif itu seperti lampu sorot---menerangi seluruh ruangan, bukan hanya sudut yang kita mau lihat. Dan kalau memang ingin mencerdaskan, jangan takut menghadirkan suara yang berbeda. Karena justru di situlah letak pendidikan yang sebenarnya.***MG
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI