Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menulis Ulang Sejarah Bukan Pepesan Kosong: Menyoal Pernyataan Fadli Zon

27 Mei 2025   07:32 Diperbarui: 27 Mei 2025   07:32 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


---

"Sejarah adalah guru kehidupan."--- Cicero

---

Ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa perdebatan mengenai penulisan ulang sejarah sebagai "pepesan kosong", publik tersentak. Pernyataan tersebut tidak hanya mengecewakan, namun juga menimbulkan pertanyaan besar: benarkah diskusi kritis publik terhadap rencana besar penulisan sejarah bangsa tak lebih dari kegaduhan tanpa isi?

Dalam sebuah negara demokratis, apalagi ketika bicara soal sejarah---identitas kolektif bangsa---setiap suara, pertanyaan, dan kekhawatiran adalah bagian tak terpisahkan dari proses menuju kebenaran historis. Sayangnya, dengan melabeli perdebatan itu sebagai "pepesan kosong", Menteri Fadli Zon tampak lebih memilih untuk menutup pintu dialog ketimbang membukanya.

Sejarah Bukan Milik Pemerintah

Sejarah bukan milik negara, partai, atau satu tokoh. Sejarah adalah milik seluruh rakyat. Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, sebagaimana yang mulai digagas di era pemerintahan baru ini, seharusnya menjadi kerja kolektif lintas generasi, lintas disiplin, dan lintas ideologi. Ini bukan proyek personal atau agenda politik jangka pendek.

Penulisan ulang sejarah tentu bisa dimaklumi jika tujuannya adalah menyempurnakan narasi, menyeimbangkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan, dan meluruskan fakta berdasarkan data baru. Namun ketika prosesnya tertutup, narasinya sepihak, dan kritik dianggap angin lalu, maka yang muncul bukan sejarah baru, melainkan propaganda gaya baru.

Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, pernah menyatakan bahwa "Sejarah harus ditulis dengan kejujuran akademik, bukan kepentingan kekuasaan." Jika pendekatan yang digunakan adalah top-down dan penuh kecurigaan terhadap masyarakat sipil, maka sejarah yang ditulis ulang itu hanya akan menjadi dokumen legitimasi politik, bukan refleksi kolektif bangsa.

Mengapa Diskusi Publik Penting?

Pernyataan Fadli Zon pada 26 Mei 2025, bahwa diskusi sebaiknya menunggu progres buku mencapai 70-80 persen, patut disorot secara kritis. Ini seperti mengatakan bahwa masukan publik tak relevan sebelum naskah hampir rampung. Padahal, dalam proses sejarah, partisipasi masyarakat, akademisi, hingga korban sejarah, harus masuk sejak awal. Penulisan sejarah yang baik justru dibentuk melalui dialektika terbuka---dengan pertanyaan-pertanyaan kritis sebagai fondasi.

Apakah kita akan membiarkan sejarah kembali ditulis oleh pemenang saja? Apakah kita ingin mengulang kesalahan Orde Baru yang mengkonstruksi narasi tunggal tentang G30S, menyingkirkan suara para penyintas, dan menciptakan ketakutan yang diwariskan turun-temurun?

Apa yang Sebenarnya Sedang Ditulis Ulang?

Hingga kini, pemerintah belum menjelaskan secara rinci konten dan tujuan dari penulisan ulang sejarah ini. Apakah ini soal G30S? Apakah menyangkut Orde Lama, Orde Baru, atau era Reformasi? Atau justru ingin merekonstruksi narasi sejarah yang lebih luas? Tanpa transparansi, publik wajar curiga bahwa ada agenda terselubung.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Arsip Nasional RI sebenarnya memiliki banyak data sejarah yang dapat diakses publik. Namun jika aktor utama dalam proyek ini adalah tokoh-tokoh politik yang memiliki konflik kepentingan, bukan komunitas sejarawan independen, maka upaya ini patut dipertanyakan.

Bagaimana Seharusnya Melibatkan Publik?

Jika pemerintah serius ingin menjadikan ini sebagai sejarah milik bersama, pelibatan publik bukan sekadar formalitas. Pemerintah harus:

1. Membentuk Komite Sejarah Independen: Isinya akademisi lintas kampus, sejarawan, budayawan, dan perwakilan masyarakat sipil.

2. Membuka Draf untuk Umpan Balik Publik: Transparansi draf akan membuka ruang dialog dan memperkaya isi buku.

3. Melakukan Konsultasi Regional: Mendengarkan suara lokal dan narasi sejarah dari daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan.

4. Memastikan Akses terhadap Sumber Sejarah: Arsip-arsip yang sebelumnya tertutup harus dibuka untuk publik dan peneliti.

5. Menjamin Kebebasan Akademik: Pemerintah tidak boleh mengkriminalisasi sejarawan atau narasi yang berbeda.

Belajar dari Negara Lain: Sejarah Bukan Proyek Elite

Sejumlah negara di dunia pernah menghadapi dilema sejarah yang mirip dengan Indonesia—yakni bagaimana menulis ulang sejarah dengan jujur, adil, dan partisipatif. Beberapa dari mereka telah memberikan contoh baik bagaimana sebuah bangsa bisa berdamai dengan masa lalunya tanpa mengubur luka atau memanipulasi kebenaran.

1. Jerman: Mengakui, Mengoreksi, dan Mendidik

Setelah kejatuhan Nazi, Jerman menjalani proses yang disebut Vergangenheitsbewältigung—sebuah upaya kolektif untuk menghadapi masa lalu secara kritis. Pemerintah Jerman tidak hanya mengakui keterlibatan negaranya dalam Holocaust, tapi juga mendirikan museum, memorial, dan kurikulum pendidikan yang terbuka terhadap fakta-fakta kelam tersebut.

Penting dicatat, penulisan ulang sejarah Jerman dilakukan melalui riset independen, melibatkan universitas, sejarawan, komunitas Yahudi, dan lembaga hak asasi manusia. Bahkan, menyangkal Holocaust di Jerman adalah tindakan pidana. Ini menunjukkan bahwa kebenaran sejarah tidak boleh dinegosiasikan oleh kekuasaan.

2. Afrika Selatan: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Pasca-apartheid, Afrika Selatan membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC) yang diketuai oleh Uskup Desmond Tutu. Komisi ini bukan hanya mengumpulkan kesaksian dari para korban dan pelaku kekerasan rasial, tapi juga menciptakan ruang kolektif bagi rakyat Afrika Selatan untuk menyusun sejarah baru yang inklusif.

TRC membuka seluruh prosesnya ke publik, termasuk siaran langsung di televisi, sehingga masyarakat dapat terlibat dan menyaksikan sendiri bagaimana sejarah dibangun bukan dari narasi penguasa, tetapi dari pengakuan, permintaan maaf, dan penyembuhan bersama.

3. Korea Selatan: Pengakuan atas Tragedi Gwangju

Tragedi Gwangju 1980, di mana ribuan mahasiswa dibantai oleh militer saat menuntut demokrasi, sempat disembunyikan selama bertahun-tahun. Namun pada era demokratis, pemerintah Korea Selatan membuka kembali dokumen sejarah tersebut, menyusun ulang kurikulum, dan memberikan kompensasi serta pengakuan resmi kepada para korban. Proses ini dilakukan bersama akademisi dan keluarga korban, bukan semata-mata oleh negara.

Sejarah Adalah Cermin Bangsa

Dalam filsafat, sejarah disebut sebagai "cermin bagi bangsa". Bila kita menulis sejarah dengan kaca buram atau menyembunyikan noda masa lalu, kita tidak akan pernah benar-benar melihat siapa diri kita sebenarnya. Menulis ulang sejarah memang perlu, tetapi bukan dengan membungkam kritik, apalagi meremehkannya.

Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan seharusnya berdiri paling depan dalam membuka ruang diskusi, bukan menutupnya. Sejarah bukan untuk disusun di ruang tertutup dan diputuskan oleh segelintir elite. Ia harus dibentuk oleh perdebatan, diverifikasi oleh data, dan disepakati oleh publik.

Sebagaimana diingatkan filsuf George Santayana: "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it."

Dan kita, bangsa Indonesia, tak boleh lagi mengulang kesalahan masa lalu: sejarah yang dibungkam dan dipaksakan.

---

Referensi:

DetikNews. (2025). Fadli Zon: Perdebatan soal Penulisan Sejarah Ulang Hanya Pepesan Kosong. https://news.detik.com/berita/d-7933798/fadli-zon-perdebatan-soal-penulisan-sejarah-ulang-hanya-pepesan-kosong

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun