---
"Sejarah adalah guru kehidupan."--- Cicero
---
Ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa perdebatan mengenai penulisan ulang sejarah sebagai "pepesan kosong", publik tersentak. Pernyataan tersebut tidak hanya mengecewakan, namun juga menimbulkan pertanyaan besar: benarkah diskusi kritis publik terhadap rencana besar penulisan sejarah bangsa tak lebih dari kegaduhan tanpa isi?
Dalam sebuah negara demokratis, apalagi ketika bicara soal sejarah---identitas kolektif bangsa---setiap suara, pertanyaan, dan kekhawatiran adalah bagian tak terpisahkan dari proses menuju kebenaran historis. Sayangnya, dengan melabeli perdebatan itu sebagai "pepesan kosong", Menteri Fadli Zon tampak lebih memilih untuk menutup pintu dialog ketimbang membukanya.
Sejarah Bukan Milik Pemerintah
Sejarah bukan milik negara, partai, atau satu tokoh. Sejarah adalah milik seluruh rakyat. Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, sebagaimana yang mulai digagas di era pemerintahan baru ini, seharusnya menjadi kerja kolektif lintas generasi, lintas disiplin, dan lintas ideologi. Ini bukan proyek personal atau agenda politik jangka pendek.
Penulisan ulang sejarah tentu bisa dimaklumi jika tujuannya adalah menyempurnakan narasi, menyeimbangkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan, dan meluruskan fakta berdasarkan data baru. Namun ketika prosesnya tertutup, narasinya sepihak, dan kritik dianggap angin lalu, maka yang muncul bukan sejarah baru, melainkan propaganda gaya baru.
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, pernah menyatakan bahwa "Sejarah harus ditulis dengan kejujuran akademik, bukan kepentingan kekuasaan." Jika pendekatan yang digunakan adalah top-down dan penuh kecurigaan terhadap masyarakat sipil, maka sejarah yang ditulis ulang itu hanya akan menjadi dokumen legitimasi politik, bukan refleksi kolektif bangsa.
Mengapa Diskusi Publik Penting?
Pernyataan Fadli Zon pada 26 Mei 2025, bahwa diskusi sebaiknya menunggu progres buku mencapai 70-80 persen, patut disorot secara kritis. Ini seperti mengatakan bahwa masukan publik tak relevan sebelum naskah hampir rampung. Padahal, dalam proses sejarah, partisipasi masyarakat, akademisi, hingga korban sejarah, harus masuk sejak awal. Penulisan sejarah yang baik justru dibentuk melalui dialektika terbuka---dengan pertanyaan-pertanyaan kritis sebagai fondasi.
Apakah kita akan membiarkan sejarah kembali ditulis oleh pemenang saja? Apakah kita ingin mengulang kesalahan Orde Baru yang mengkonstruksi narasi tunggal tentang G30S, menyingkirkan suara para penyintas, dan menciptakan ketakutan yang diwariskan turun-temurun?