1. Jerman: Mengakui, Mengoreksi, dan Mendidik
Setelah kejatuhan Nazi, Jerman menjalani proses yang disebut Vergangenheitsbewältigung—sebuah upaya kolektif untuk menghadapi masa lalu secara kritis. Pemerintah Jerman tidak hanya mengakui keterlibatan negaranya dalam Holocaust, tapi juga mendirikan museum, memorial, dan kurikulum pendidikan yang terbuka terhadap fakta-fakta kelam tersebut.
Penting dicatat, penulisan ulang sejarah Jerman dilakukan melalui riset independen, melibatkan universitas, sejarawan, komunitas Yahudi, dan lembaga hak asasi manusia. Bahkan, menyangkal Holocaust di Jerman adalah tindakan pidana. Ini menunjukkan bahwa kebenaran sejarah tidak boleh dinegosiasikan oleh kekuasaan.
2. Afrika Selatan: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Pasca-apartheid, Afrika Selatan membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC) yang diketuai oleh Uskup Desmond Tutu. Komisi ini bukan hanya mengumpulkan kesaksian dari para korban dan pelaku kekerasan rasial, tapi juga menciptakan ruang kolektif bagi rakyat Afrika Selatan untuk menyusun sejarah baru yang inklusif.
TRC membuka seluruh prosesnya ke publik, termasuk siaran langsung di televisi, sehingga masyarakat dapat terlibat dan menyaksikan sendiri bagaimana sejarah dibangun bukan dari narasi penguasa, tetapi dari pengakuan, permintaan maaf, dan penyembuhan bersama.
3. Korea Selatan: Pengakuan atas Tragedi Gwangju
Tragedi Gwangju 1980, di mana ribuan mahasiswa dibantai oleh militer saat menuntut demokrasi, sempat disembunyikan selama bertahun-tahun. Namun pada era demokratis, pemerintah Korea Selatan membuka kembali dokumen sejarah tersebut, menyusun ulang kurikulum, dan memberikan kompensasi serta pengakuan resmi kepada para korban. Proses ini dilakukan bersama akademisi dan keluarga korban, bukan semata-mata oleh negara.
Sejarah Adalah Cermin Bangsa
Dalam filsafat, sejarah disebut sebagai "cermin bagi bangsa". Bila kita menulis sejarah dengan kaca buram atau menyembunyikan noda masa lalu, kita tidak akan pernah benar-benar melihat siapa diri kita sebenarnya. Menulis ulang sejarah memang perlu, tetapi bukan dengan membungkam kritik, apalagi meremehkannya.
Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan seharusnya berdiri paling depan dalam membuka ruang diskusi, bukan menutupnya. Sejarah bukan untuk disusun di ruang tertutup dan diputuskan oleh segelintir elite. Ia harus dibentuk oleh perdebatan, diverifikasi oleh data, dan disepakati oleh publik.