Ketika penyelidikan resmi Kepolisian menyatakan bahwa ijazah mantan Presiden Joko Widodo adalah asli, gelombang tuduhan yang selama ini menyertai isu ini seharusnya perlahan mereda. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menghentikan narasi yang telah dibantah oleh berbagai lembaga resmi seperti UGM, KPU, Mahkamah Konstitusi (MK), hingga akhirnya kepolisian, sejumlah pihak yang selama ini mendengungkan isu "ijazah palsu"---termasuk Roy Suryo---mengadu ke Komnas HAM.
Mereka mengklaim bahwa langkah hukum Jokowi terhadap mereka adalah bentuk ancaman terhadap hak asasi manusia (HAM), terutama hak untuk bertanya dan memperjuangkan kebenaran. Komnas HAM pun dilibatkan. Namun publik layak bertanya balik: benarkah ini bentuk pembelaan atas hak asasi? Ataukah justru bentuk pembelokan makna HAM itu sendiri?
Apa Itu HAM?
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada setiap manusia, termasuk hak untuk berbicara, menyampaikan pendapat, dan mencari informasi. Namun, hak asasi bukanlah hak absolut. Setiap hak yang kita miliki datang bersama tanggung jawab dan batasan, terutama ketika hak tersebut berbenturan dengan hak orang lain.
Dalam konteks ini, Roy Suryo dan kawan-kawan menyatakan bahwa mereka hanya bertanya dan memperjuangkan kebenaran. Namun, faktanya tidak sesederhana itu. Tuduhan yang mereka sampaikan telah berlangsung cukup lama dan dilakukan berulang kali di ruang publik, bahkan setelah berbagai lembaga resmi memberikan penjelasan. Jika pertanyaan mereka berangkat dari niat tulus untuk mencari kejelasan, mengapa penjelasan resmi dari universitas, lembaga pemilu, hingga aparat penegak hukum tidak cukup?
Ketika narasi "ijazah palsu" tetap digencarkan tanpa bukti yang kuat dan tanpa menghormati klarifikasi institusi, tindakan itu tidak lagi bisa dikategorikan sebagai bentuk bertanya, tapi justru berpotensi masuk ke ranah fitnah dan penyebaran berita bohong.
Hak untuk Tidak Difitnah
Jokowi, sebagai warga negara dan mantan kepala negara, memiliki hak yang sama seperti warga lainnya: hak untuk dihormati martabat dan reputasinya. Ketika seseorang secara terbuka dituduh melakukan pemalsuan tanpa bukti sahih, maka hak yang dilanggar bukanlah milik si penuduh, tetapi si tertuduh.
Dalam konteks inilah, Jokowi melakukan pembelaan hukum. Bukan untuk membungkam kritik, tetapi untuk membela hak asasinya sendiri: hak untuk tidak difitnah.
Ironis, karena pihak-pihak yang menggugat ke Komnas HAM justru mengklaim diri mereka sebagai pakar---telematika, forensik digital, dan sebagainya. Namun di saat yang sama, mereka tidak menunjukkan pemahaman mendasar tentang hukum yang berlaku, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU tersebut secara eksplisit memang mengatur agar ada tanggung jawab dalam penggunaan media sosial dan internet---bukan sekadar ruang bebas untuk menyebarkan tuduhan tanpa dasar.
Komnas HAM: Panggung yang Tepat?
Komnas HAM tentu memiliki mandat untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM. Namun, aduan dari Roy Suryo Cs akan menguji ketegasan dan objektivitas lembaga ini. Komnas HAM perlu memilah mana yang betul-betul merupakan bentuk pelanggaran hak, dan mana yang sebenarnya hanya bentuk pelarian dari tanggung jawab hukum.
Mengajukan pertanyaan adalah hak. Tapi jika pertanyaan berubah menjadi tuduhan yang mengarah pada pembunuhan karakter, lalu digunakan untuk menyerang reputasi seseorang secara terus-menerus, maka itu bukanlah upaya mencari kebenaran, melainkan tindakan manipulatif yang membungkus fitnah dengan jargon hak asasi.
Tanggung Jawab Moral dan Hukum
Roy Suryo dan kawan-kawan harus menunjukkan tanggung jawab moral dan hukum atas tindakan mereka. Jika benar ingin memperjuangkan kebenaran, hadapi proses hukum secara gentleman. Bukan justru melarikan diri ke lembaga-lembaga negara lainnya untuk mencari perlindungan atas tindakan yang mereka sendiri inisiasi.
Adakah ruang untuk kritik terhadap pejabat publik? Tentu saja. Demokrasi menuntut itu. Namun demokrasi yang sehat dibangun di atas data, fakta, dan logika, bukan prasangka, propaganda, dan sensasi. Ketika kritik menjadi dalih untuk menyebar hoaks, maka yang dirusak bukan hanya individu yang dituduh, tapi integritas demokrasi itu sendiri.
Perjuangan membela HAM bukan tentang siapa yang paling lantang, tapi siapa yang paling taat pada nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab. Dalam dunia digital yang serba cepat dan gaduh ini, kita butuh lebih banyak orang yang tahu kapan harus bertanya, dan kapan harus berhenti ketika jawaban sudah diberikan.
Jika tidak, maka yang terjadi bukanlah perjuangan untuk HAM, tapi pemanfaatan HAM sebagai tameng untuk melindungi kesalahan sendiri.
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI