Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Untuk Bukti Otentik, Analisis Digital Forensik Tidak Bisa Dipakai di Kasus Ijazah Jokowi?

21 Mei 2025   15:06 Diperbarui: 21 Mei 2025   15:06 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susno Duadji (Tribunnews)

Isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka di ruang publik. Kali ini, pernyataan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen (Purn) Susno Duadji, menjadi sorotan. Dalam wawancara eksklusif dengan media, Susno menyampaikan pandangan tegas bahwa bukti otentik dalam perkara keabsahan ijazah bukanlah berasal dari analisis digital forensik terhadap gambar yang tersebar di media sosial, melainkan dari lembaran fisik ijazah itu sendiri yang dikeluarkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).

Pernyataan ini tidak hanya membantah pendekatan para "peneliti" digital yang mengklaim telah menemukan kejanggalan melalui analisis citra digital, tetapi juga menegaskan prinsip dasar dalam hukum pembuktian di Indonesia.
---

Antara Bukti Fisik dan Digital: Mana yang Sahih di Hadapan Hukum?

Dalam sistem peradilan pidana maupun perdata di Indonesia, alat bukti utama telah diatur secara jelas dalam Pasal 184 KUHAP, yakni:

1. Keterangan saksi,
2. Keterangan ahli,
3. Surat,
4. Petunjuk,
5. Keterangan terdakwa.

Surat---dalam hal ini ijazah---yang asli, menjadi objek pembuktian paling utama. Menurut Susno Duadji, foto atau gambar yang beredar di media sosial tidak dapat diperlakukan sebagai bukti otentik, karena dapat dengan mudah dimanipulasi dengan teknologi digital.

"Analisis digital forensik hanya bisa digunakan untuk mendukung bukti, bukan sebagai bukti utama dalam membuktikan keaslian dokumen. Yang sah adalah dokumen asli yang diterbitkan institusi resmi, yaitu UGM, dan kesaksian yang mendukungnya," ujar Susno.

Pernyataan ini selaras dengan pendapat banyak pakar hukum. Dalam studi hukum pembuktian modern, dokumen elektronik atau digital harus dapat ditelusuri asal-usulnya, keutuhan data, dan memiliki chain of custody yang jelas. Sayangnya, gambar ijazah Jokowi yang berseliweran di media sosial tidak memenuhi standar ini.
---

Peran UGM dan Saksi Historis

UGM sebagai institusi resmi yang menerbitkan ijazah Jokowi juga telah berulang kali mengonfirmasi keabsahan dokumen tersebut. Bahkan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2022, UGM mengirimkan perwakilan resmi yang menyatakan ijazah itu valid dan dikeluarkan sesuai prosedur akademik.

"Data akademik Pak Jokowi lengkap, dan ijazah yang beliau miliki adalah sah," kata Rektor UGM waktu itu, Prof. Ova Emilia.

Bukan hanya dari institusi, sejumlah teman kuliah dan dosen Presiden Jokowi juga telah bersaksi, baik secara langsung maupun dalam berbagai publikasi, bahwa Jokowi adalah mahasiswa aktif Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980.
---

Mengapa Publik Masih Meragukan Fakta?

Sumber keraguan banyak datang dari kelompok anti-Jokowi yang mengklaim diri sebagai "peneliti forensik digital" atau "ahli telematika". Namun, ironisnya, klaim mereka tidak pernah diuji secara ilmiah atau hukum. Mereka tidak pernah mengajukan dokumen asli yang bertentangan, tidak menghadirkan saksi yang kredibel, dan hanya mendasarkan tuduhannya pada analisis visual foto ijazah yang beredar bebas di internet.

Dalam ilmu digital forensik pun, analisis terhadap dokumen digital harus mematuhi prosedur ketat---termasuk metadata, digital hash, dan integritas file. Tanpa itu semua, analisis hanya menjadi opini pribadi tanpa dasar hukum.

"Mereka bicara forensik, tetapi tidak paham prinsip dasar pembuktian. Tidak cukup hanya melihat dari gambar dan membuat asumsi," ujar pakar hukum Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso.
---

Bagaimana Seharusnya Sikap Publik?

Dalam menghadapi polemik ini, masyarakat perlu membedakan antara opini politik dan fakta hukum. Tuduhan yang terus diulang tidak otomatis menjadi kebenaran jika tidak dibuktikan dengan alat bukti sah.

Sebaliknya, justru ketika pengadilan sudah memutus dan institusi resmi seperti UGM telah memberikan klarifikasi, maka menyebarkan klaim palsu tanpa bukti sah dapat masuk ke ranah penyebaran hoaks atau bahkan pencemaran nama baik.

Masyarakat juga perlu mengembangkan literasi hukum dan digital: memahami bahwa foto bisa diedit, bahwa "analisis" di media sosial bukan bukti sahih, dan bahwa negara ini memiliki sistem pembuktian hukum yang ketat.
---

Bukti Harus Tegas, Bukan Asumsi

Pernyataan Susno Duadji adalah pengingat penting: hukum bekerja berdasarkan fakta, bukan persepsi. Ijazah Presiden Jokowi sudah diverifikasi, disahkan, dan didukung oleh institusi resmi serta saksi historis. Menyangkalnya tanpa bukti fisik otentik adalah tindakan tidak berdasar yang justru merusak rasionalitas publik.

Indonesia sebagai negara hukum harus terus memperkuat budaya pembuktian, bukan budaya tuduhan. Jika masyarakat ingin mengkritisi pemimpin, lakukanlah dengan data dan hukum, bukan dengan spekulasi tanpa dasar.

Karena di balik ijazah, ada integritas sistem. Dan sistem hukum, jika terus dilanggar oleh rumor, akan runtuh oleh kebohongan yang diulang-ulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun