Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengapa Narsis?

7 Oktober 2021   19:12 Diperbarui: 8 Oktober 2021   09:06 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: well.blogs.nytimes.com

Apakah anda pernah bertemu dengan orang dengan ciri-ciri berikut: lebih memperhatikan dirinya daripada orang lain di berbagai situasi, secara mendalam merasa dirinya lebih penting daripada orang lain, menuntut dihargai dan berharap dipuja, kurang bisa mengembangkan empati pada orang lain, dan cenderung merendahkan orang lain. Jika ya, mungkin anda pernah berhadapan dengan seorang narsis.

Arti narsis

Istilah narsis didapat dari kata Narcissus dalam mitologi Yunani kuno. Menurut mitos, Echo adalah dewi hutan yang jatuh cinta pada Narcissus. 

Narcissus adalah pemuda yang sangat tampan. Namun, ia secara berlebihan memperhatikan dirinya sendiri dan menganggap dirinya lebih dari orang lain, hingga sering meremehkan orang lain. Narcissus selalu menolak dan menampik ekspresi cinta Echo, hingga Echo patah hati dan mati. 

Atas kesombongan Narcissus, Dewa Zeus marah dan mengutuknya seumur hidup tidak akan mengalami cinta. Suatu waktu, Narcissus merasa haus, lalu datang ke kolam air yang jernih. Ketika bersimpuh untuk mengambil air di kolam itu, ia melihat bayangan dirinya dan jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri. 

Namun, karena ia tidak mendapatkan respon dari bayangan diri yang dicintainya, akhirnya Narcissus mati di samping kolam dekat bayangan dirinya. Akhirnya karakter memegahkan diri sendiri dan merendahkan orang lain menjadi gambaran dari istilah narsis.

Siapa narsis?

Seorang narsis akan menempatkan dirinya sebagai pusat dari apapun yang dialaminya. Ia akan sulit menempatkan dirinya di posisi orang lain, sehingga sulit berempati. 

Ia akan merasa dirinya lebih penting dan lebih baik daripada orang lain sehingga cenderung merendahkan orang lain. Namun, pada saat yang bersamaan, narsis sangat peduli terhadap penolakan dari orang-orang di sekitarnya. Untuk disukai dan tidak ditolak, ia mau berbohong dan memanipulasi.

Jika mengalami penolakan atau orang tidak memujanya seperti kehendaknya, maka ia akan bereaksi negatif. Bisa muncuk agresi, dalam bentuk ancaman maupun perilaku kekerasan. 

Jika narsisisme disertai rendahnya empati, dapat membuat kurang merasa bersalah telah menyakiti orang lain.

Gejala narsisisme

Ada beberapa tanda dan gejala kepribadian narsisisme. Beberapa gejala dapat tampak seperti:

  • Merasa dirinya sangat penting dibandingkan orang lain secara berlebihan
  • Merasa memiliki hak untuk diperlakukan istimewa dan khusus
  • Membutuhkan kekaguman yang terus-menerus dan berlebihan
  • Berharap diakui sebagai atasan bahkan tanpa dasar prestasi
  • Membesar-besarkan prestasi dan bakat yang dimilikinya
  • Disibukkan dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuatan, kecemerlangan, kecantikan, atau pasangan yang sempurna
  • Memiliki keyakinan bahwa mereka lebih unggul dan hanya bisa bergaul dengan orang yang sama-sama istimewa
  • Memonopoli percakapan dan meremehkan atau memandang rendah orang-orang yang mereka anggap lebih rendah
  • Tidak suka dibantah atau dipertanyakan keinginannya
  • Memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan
  • Tidak mampu atau tidak mau memahami kebutuhan dan perasaan orang lain
  • Iri pada orang lain dan berpikir bahwa justru orang lain yang iri pada mereka
  • Berperilaku sombong atau angkuh, tampil angkuh, sombong, dan sok
  • Bersikeras untuk mendapatkan yang terbaik dari semuanya - misalnya, mobil atau pakaian terbaik.

Namun perlu dipahami, level gejala pada masing-masing orang sangat bervariasi.

Harga diri yang rapuh membuat Narsis kesulitan mengelola stress

Narsis akan kesulitan berhadapan dengan apa pun yang mereka anggap sebagai kritik, misalkan:

  • Menjadi tidak sabar atau marah ketika mereka tidak menerima perlakuan khusus
  • Bermasalah dalam hubungan interpersonal/intim dan mudah merasa diremehkan
  • Bereaksi dengan marah atau jijik dan meremehkan orang lain untuk membuat diri mereka tampak lebih unggul
  • Memiliki kesulitan mengatur emosi dan perilaku
  • Mengalami masalah besar yang berhubungan dengan stres dan beradaptasi dengan perubahan
  • Merasa tertekan dan murung jika merasa mereka gagal tampil sempurna
  • Memiliki perasaan tidak aman, malu, rentan, dan terhina.

Secara umum, kemampuan mengelola stress dan frustasi seorang Narsis sangat rendah. Jika mengalami frustasi, apalagi jika menghadapi tantangan/ hal yang beresiko menjatuhkan harga dirinya, ia bisa menjadi manupulatif dan agresif. 

Dalam rangka menutupi kekurangannya, narsis akan menampilkan dirinya hebat, baik dan pandai berkata-kata agar tampak sempurna. Tidak jarang juga disertai kesombongan.

Tapi sebenarnya, seorang narsis memiliki harga diri yang sangat rapuh. Sikap sok-sombong dan tidak empatik-menyakiti orang lain, hanyalah cara mereka membangun benteng atas kerapuhan egonya.

Epidemi narsisisme

David Brooks dalam artikelnya di New York Times pada 10 Maret 2011 menyebut narsisisme sebagai gangguan yang telah termanifestasi secara umum di Amerika Serikat. 

Ia menjelaskan hal ini terjadi karena masyarakat modern mulai bergeser dari nilai yang menekankan pada kerendahan hati (tidak fokus pada diri sendiri atau self- effacement) menuju nilai yang lebih menghargai diri sendiri (memberi ruang pada pengembangan diri atau self-expansion). 

Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika meningkatkannya self esteem tanpa didasari oleh kenyataan. Ketika individu menilai dirinya lebih dari apa yang sebenarnya dimilikinya. Akibatnya individu akan memiliki jarak antara diri ideal (ideal self) dan diri actual (actual self).

Terlebih dengan era sosial media saat ini, membuat diri menjadi pusat perhatian menjadi suatu yang biasa. Manusia pengguna sosial media, berlomba-lomba untuk mendapatkan respon"like"atau pengikut yang menunjukkan kehebatannya dan pengakuan dari orang lain. Tanpa sadar, proses perilaku seperti ini bisa memunculkan kesulitan empati dan peka terhadap orang-orang di sekitarnya. 

Bahkan demi mendapatkan perhatian, bisa saja melakukan hal yang akan berdampak menyakiti orang lain di sekitarnya, misalkan: mempertontonkan kengerian atau hal yang memalukan bagi orang lain demi mendapatkan rating atau followers.

Pertanyaannya, apakah perilaku seperti ini adalah gangguan mental klinis? Belum tentu semua orang yang tampak narsis di sosial media tergolong sebagai orang dengan gangguan kepribadian narsisisme. Hanya memiliki sebagian gejala bukan artinya tergolong memiliki gangguan klinis. 

Ada gradasi karakter narsisistik yang ada pada diri seseorang. Batas resiko gejala narsisisme menjadi gangguan adalah ketika seseorang secara berlebih mengutamakan perilaku narsisisme di sosial media dan mengacuhkan kehidupannya nyatanya (hubungan sosial yang nyata dengan orang-orang di sekitarnya).

Ketika harga diri seseorang hanya ditentukan oleh seberapa banyak respon like atau followers di sosial media yang didapatnya. Jika demikian, gejala narsisisme bisa beresiko menjadi suatu gangguan kepribadian.

Diagnosa Gangguan Kepribadian

Gangguan kepribadian adalah salah satu gangguan mental manusia yang cukup berat dan terjadi di masyarakat dengan prevalensi 1-6% dengan mayoritas dialami laki-laki (DSM V, 2015). 

Gangguan kepribadian adalah pola pengalaman dan perilaku batiniah yang bertahan lama yang menyimpang dari ekspektasi budaya individu, bersifat pervasif dan tidak fleksibel, biasanya muncul pertama kali pada masa remaja atau masa dewasa awal (kadang mulai usia 15 tahun mulai tampak, dan menetap sejak usia masuk dewasa), menetap dari waktu ke waktu, dan menimbulkan stress atau gangguan fungsi hidup sehari-hari.

Untuk bisa mengidentifikasi gangguan kepribadian, harus terpenuhi beberapa kriteria:

  1. Suatu pola pengalaman dan perilaku yang bertahan lama yang menyimpang dari ekspektasi budaya tempat hidupnya. Pola ini dimanifestasikan dalam dua (atau lebih) area berikut:
    • Kognisi (mis., cara memahami dan menafsirkan diri, orang lain, dan peristiwa).
    • Perasaan/afek (dalam hal rentang, intensitas, kelayakan, dan kesesuaian respon emosional).
    • Fungsi dalam hubungan interpersonal.
    • Kontrol impuls.
  2. Pola menetap, tidak fleksibel dan mempengaruhi secara mendalam di berbagai situasi pribadi dan sosial.
  3. Pola pikir, merasa dan perilaku yang bertahan lama akan menyebabkan stress atau gangguan klinis yang signifikan secara sosial, sosial, atau bidang fungsi penting lainnya.

Diagnosa Gangguan Kepribadian Narsisisme

Panduan dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V oleh American Psychiatric Association(2015) menyatakan bahwa gangguan kepribadian narsisisme ditandai dengan adanya pola pikir yang merasa dirinya besar/hebat secara berlebih (grandeur) baik dalam fantasi atau perilaku, kebutuhan untuk terus menerus dikagumi, dan kurangnya empati, muncul sejak masa dewasa awal dan hadir selalu dalam berbagai konteks hidup.

Gangguan ditunjukkan oleh lima (atau lebih) dari 9 kriteria berikut:

  1. Memiliki perasaan mementingkan diri sendiri yang berlebihan (mis., melebih-lebihkan prestasi dan bakat, mengharapkan untuk diakui sebagai yang unggul walaupun tanpa bukti keberhasilan yang sepadan).
  2. Disibukkan dengan fantasi keberhasilan, kekuatan, kecemerlangan, keindahan, atau cinta yang ideal.
  3. Percaya bahwa dia "istimewa" dan unik dan hanya bisa dipahami oleh, atau harus bergaul dengan, orang-orang istimewa atau berstatus tinggi (atau institusi) lainnya.
  4. Membutuhkan dikagumi orang lain secara berlebihan.
  5. Merasa memiliki hak untuk mendapatkan keinginannya (yaitu, harapan yang tidak masuk akal terutama untuk mendapatkan hal-hal yang menguntungkannya, misalkan perlakuan khusus atau kepatuhan orang di sekitarnya untuk memenuhi semua harapannya).
  6. Melakukan perilaku eksploitatif dalam relasi interpersonal (yaitu, mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri).
  7. Kurang empati: tidak mau memahami atau mengidentifikasi perasaan dan kebutuhan orang lain.
  8. Sering iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri padanya.
  9. Menunjukkan sikap arogan, perilaku angkuh atau sikap buruk pada orang lain.

Jika semua kriteria terpenuhi, dan telah dinilai secara obyektif oleh tenaga kesehatan mental professional (dokter spesialis jiwa atau psikolog klinis), maka baru diagnosa gangguan kepribadian narsisisme dapat ditegakkan. 

Diagnosa tidak bisa dilakukan tanpa bantuan dari tenaga profesional klinis. Artinya, kita tilak bisa mudah melabel orang "Narsisistik'.

Apakah semua narsis memiliki gangguan mental?

Jika kriteria tidak diagnosa tidak bisa ditegakkan (kurang dari 5), maka kita hanya bisa menyatakan bahwa individu memiliki kecenderungan karakter narsisisme. 

Karakter narsisistik ada derajatnya, dari ringan, menonjol hingga sangat berat. Maka perlu dilihat juga, dimana level karakter narsisistik yang dimunculkan seseorang. 

Batas resiko gejala narsisisme menjadi gangguan klinis adalah ketika seseorang secara berlebih mengutamakan perilaku narsisisme, rigid-tidak fleksibel, menyebabkan stress negatif dan mengganggu fungsi hidup sehari-hari (misalkan, tidak mampu mempertahankan relasi atau pekerjaan atau melanggar hukum karena menipu dan korupsi). 

Bahkan seorang dengan karakter narsis masih bisa adaptif, jika mampu mengelola karakter narsisistiknya secara fungsional.

Perlu dipahami bahwa gangguan narsisistik biasa didiagnosis pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Ahli psikologi klinis jarang memberikan diagnosa gangguan kepribadian pada masa kanak-kanak, karena dianggap kepribadian anak belum menetap, masih berkembang dan dapat berubah hingga ke masa remaja akhir.

Jenis narsisisme

Menurut Psikolog Ramani Durvasula, ada 4 jenis narsisisme:

  1. Narsis yang merasa besar (grandeur narcissist): gejala utama merasa diri hebat dan sering menampilkan diri untuk menjadi pusat perhatian. Ini adalah bentuk narsisisme yang tradisional.
  2. Narsis yang tertutup (covert narcissist): tampil seperti orang yang lemah/korban, merasa marah pada dunia, namun memiliki fantasi bahwa suatu saat akan menjadi hebat. Karakter "Joker"dalam seri Batman disebut menggambarkan sifat narsis yang tertutup ini.
  3. Narsis yang jahat (malignant narcissist): bisa tampil manipulatif untuk mencapai tujuannya. Menggunakan orang lain agar terpenuhi kebutuhannya. Sikap narsis yang jahat ini bisa membuatnya menjadi berperilaku psikopatik. Mereka tidak ragu menggunakan kontrol dengan kekerasan.
  4. Narsis yang tampak baik (noble narcissist): menampilkan diri suka berbuat baik, amal dan menolong orang agar dapat pengakuan dari orang-orang yang melihatnya bukan karena sungguh ingin berbuat baik. Namun, sikap baik hanya di depan publik, namun mereka akan menjadi kasar dan tidak empatik kepada keluarga atau pasangannya sendiri.

Artinya, tidak semua narsis akan menunjukkan perilaku grandeur yang selama ini kita anggap sebagai narsisisme tradisional. Ada yang menampilkan diri bak pahlawan, ada yang kelihatan sopan meyakinkan, adapula yang tampaknya tertutup dan lemah tapi sebenarnya karakternya narsisistik. Perlu dipahami kapan, dimana dan bagaimana karakter narsisisme muncul, karena wujud perilaku narsis bisa berbeda-beda walaupun akarnya sama.

Mengapa bisa menjadi narsis?

Pada kepribadian narsisistik sering ditemukan mekanisme pertahanan ego seperti identifikasi, proyeksi, pemisahan (splitting), intelektualisai dan rasionalisasi.

Menurut Kernber (1970) individu dengan gangguan kepribadian narsisistik menggunakan pemisahan sebagai mekanisme pertahanan ego utamanya. 

Jarak antara diri ideal dan diri aktual yang besar menciptakan ketidaknyamanan bagi ego, dan biasanya narsis akan mengembangkan egonya secara tidak realistis (penggelembungan ego).

Lalu narsis memaksa menggabungkan antara diri aktual dan ego yang tidak reaslistis. Proses ini tampak dengan munculnya gejala perilaku memegahkan diri.

Pada saat yang bersamaan, gambaran diri yang tidak sesuai dengan ego yang tidak realistis, yang biasanya berasal dari diri aktual, akan direpresi dan diproyeksikan pada hal-hal di luar dirinya. Ini dilakukan dengan cara menilai ulang makna dan derajat kepentingan hal-hal tersebut (devaluasi). 

Dengan devaluasi, narsis akan menyalahkan dan merendahkan orang lain, bahkan menyerang jika dianggap berbahaya mengungkap ego aslinya.

Lebih lanjut, mekanisme pemisahan juga sering disertai dengan mekanisme idealisasi dan penyangkalan. Biasanya seorang narsis akan memanipulasi orang-orang di sekitarnya sebagai bagian dari proses penggelembungan dirinya. Dalam rangka menciptakan ego yang tidak realistis; yaitu dengan cara membuat orang lain memujanya dan mencari persetujuan dari seorang narsis. 

Namun jika terjadi hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka narsis akan merendahkan orang atau hal-hal di luar dirinya.

Misalkan, pasien datang menampilkan diri lemah sebagai korban perlakuan medis yang salah. Dalam ceritanya dia menjelek-jelekkan dan merendahkan tenaga-tenaga medis yang selama ini merawatnya, ia menyebut semuanya tidak kompeten dan bodoh, yang tidak paham merawat orang seperti dirinya.

Pola pangasuhan membentuk Narsis

Ramani Durvasula menyampaikan pola pengasuhan juga menjadi penyebab munculnya narsisisme. Pola pengasuhan yang tidak penuh mendampingi kebutuhan fisik dan mental anak. Orang tua mengabaikan kebutuhan emosional tapi memberikan kebutuhan fisik secara berlebihan atau memanjakan anak secara material. 

Contohnya, orang tua sering memanjakan anak dengan bepergian ke berbagai tempat, tapi mengabaikan kebutuhan emosional anaknya. Ketika anak merasa sedih, tidak ada pemahaman dan usaha menenangkan anak dari orang tua. Ketika anak takut tidak ditemani.

Akibatnya anak memandang bahwa kebutuhan emosional tidak penting; yang penting hanyalah apa yang tampak secara fisik. Lalu, mereka lebih terfokus memoles tampilannya agar tampak bagus, dari pada memahami kondisi afeksi dirinya sendiri.

Narsis juga bisa terbentuk dari pengasuhan oleh orang tua yang narsis. Orang tua yang narsis akan memberikan perlakuan buruk dan merendahkan anaknya. 

Selain itu, narsis juga bisa mengalami pengalaman traumatik terkait kekerasan pada masa kecilnya. Pada kelanjutannya, narsis akan menggunakan cerita kelamnya untuk mencari simpati dan perhatian dari orang di sekelilingnya, atau membuat pasangannya jatuh iba dan mau mentolerir sikap kasarnya.

Bersambung di tulisan "Melampaui Narsis"

Penulis: Margaretha

Mahasiswa di the University of Melbourne

Sebagian besar tulisan ini pernah dipublikasikan di blog yang dikelola oleh Penulis.

psikologiforensik.com

Referensi

Brooks, D. (2011, 10 Maret). The modesty manifesto. New York Times. Diunduh dari www.nytimes.com pada tanggal 19 Desember 2011.

Durvasula, R. (2019). The narcissism epidemic. Dari www.facebook.com/redtabletalk

Orloff, J. (2011). Emotional freedom: Liberate yourself from negative emotion and transform your life. California; Three Rivers Press.

Kernberg, O.F. (1970). Factors in the psychoanalytic treatment of narcissistic personalities. Journal of the American Psychoanalytic Association, 18, 56-69.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun