Ia menjelaskan hal ini terjadi karena masyarakat modern mulai bergeser dari nilai yang menekankan pada kerendahan hati (tidak fokus pada diri sendiri atau self- effacement) menuju nilai yang lebih menghargai diri sendiri (memberi ruang pada pengembangan diri atau self-expansion).Â
Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika meningkatkannya self esteem tanpa didasari oleh kenyataan. Ketika individu menilai dirinya lebih dari apa yang sebenarnya dimilikinya. Akibatnya individu akan memiliki jarak antara diri ideal (ideal self) dan diri actual (actual self).
Terlebih dengan era sosial media saat ini, membuat diri menjadi pusat perhatian menjadi suatu yang biasa. Manusia pengguna sosial media, berlomba-lomba untuk mendapatkan respon"like"atau pengikut yang menunjukkan kehebatannya dan pengakuan dari orang lain. Tanpa sadar, proses perilaku seperti ini bisa memunculkan kesulitan empati dan peka terhadap orang-orang di sekitarnya.Â
Bahkan demi mendapatkan perhatian, bisa saja melakukan hal yang akan berdampak menyakiti orang lain di sekitarnya, misalkan: mempertontonkan kengerian atau hal yang memalukan bagi orang lain demi mendapatkan rating atau followers.
Pertanyaannya, apakah perilaku seperti ini adalah gangguan mental klinis? Belum tentu semua orang yang tampak narsis di sosial media tergolong sebagai orang dengan gangguan kepribadian narsisisme. Hanya memiliki sebagian gejala bukan artinya tergolong memiliki gangguan klinis.Â
Ada gradasi karakter narsisistik yang ada pada diri seseorang. Batas resiko gejala narsisisme menjadi gangguan adalah ketika seseorang secara berlebih mengutamakan perilaku narsisisme di sosial media dan mengacuhkan kehidupannya nyatanya (hubungan sosial yang nyata dengan orang-orang di sekitarnya).
Ketika harga diri seseorang hanya ditentukan oleh seberapa banyak respon like atau followers di sosial media yang didapatnya. Jika demikian, gejala narsisisme bisa beresiko menjadi suatu gangguan kepribadian.
Diagnosa Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian adalah salah satu gangguan mental manusia yang cukup berat dan terjadi di masyarakat dengan prevalensi 1-6% dengan mayoritas dialami laki-laki (DSM V, 2015).Â
Gangguan kepribadian adalah pola pengalaman dan perilaku batiniah yang bertahan lama yang menyimpang dari ekspektasi budaya individu, bersifat pervasif dan tidak fleksibel, biasanya muncul pertama kali pada masa remaja atau masa dewasa awal (kadang mulai usia 15 tahun mulai tampak, dan menetap sejak usia masuk dewasa), menetap dari waktu ke waktu, dan menimbulkan stress atau gangguan fungsi hidup sehari-hari.
Untuk bisa mengidentifikasi gangguan kepribadian, harus terpenuhi beberapa kriteria:
- Suatu pola pengalaman dan perilaku yang bertahan lama yang menyimpang dari ekspektasi budaya tempat hidupnya. Pola ini dimanifestasikan dalam dua (atau lebih) area berikut:
- Kognisi (mis., cara memahami dan menafsirkan diri, orang lain, dan peristiwa).
- Perasaan/afek (dalam hal rentang, intensitas, kelayakan, dan kesesuaian respon emosional).
- Fungsi dalam hubungan interpersonal.
- Kontrol impuls.
- Pola menetap, tidak fleksibel dan mempengaruhi secara mendalam di berbagai situasi pribadi dan sosial.
- Pola pikir, merasa dan perilaku yang bertahan lama akan menyebabkan stress atau gangguan klinis yang signifikan secara sosial, sosial, atau bidang fungsi penting lainnya.