Kalau kita bicara pembangunan, Kota Cilegon punya rekam jejak yang bisa dijadikan cermin. Lihat saja Jalan Lingkar Selatan (JLS).Â
Dulu, ia dielu-elukan sebagai proyek prestisius pertama sejak kota ini berdiri. Panjangnya 15,8 kilometer, menghubungkan Pondok Cilegon Indah sampai Ciwandan.Â
Waktu itu, semua orang percaya, jalan ini akan membuka akses industri, menggerakkan ekonomi, bahkan jadi kebanggaan baru.
Tapi setelah bertahun-tahun, apa yang tersisa? Jalan berlubang di sana-sini, aspal retak seperti kulit yang dibiarkan kering tanpa perawatan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dijanjikan tak juga nampak.Â
Sementara itu, kita masih mengingat bagaimana proyek ini sempat menyeret sejumlah pejabat ke meja hijau karena kasus korupsi.
JLS memang memudahkan mobilisasi truk-truk industri. Tapi, di sisi lain, ia membuka peluang baru seperti maraknya galian C yang menggerogoti bukit-bukit di Cilegon Selatan, merusak ekologi yang tak mungkin pulih dalam waktu dekat.
Sekarang, Wali Kota Cilegon kembali melambungkan wacana pembangunan Jalan Lingkar Utara (JLU). Bedanya, kali ini ada kabar mengejutkan, proyek itu mau dibiayai lewat utang Rp300 miliar.
Angka itu sebenarnya kecil jika dibandingkan kebutuhan nyata membangun JLU sampai rampung. Hitungan sederhana saja, Rp300 miliar kemungkinan hanya cukup membangun beberapa kilometer.Â
Sisanya? Entah siapa yang mau menambal. Realisasi PAD mampet. Tapi yang pasti, cicilan utang dan bunga tetap harus dibayar.
Persoalan makin pelik ketika lahan yang akan dilewati JLU saja belum tuntas dibebaskan. Pemilik tanah tentu tahu diri, harga lahan otomatis naik begitu tahu jalur strategis akan lewat di situ.Â
Jadi, mau mulai dari mana dengan utang yang bahkan tak sebanding dengan kebutuhan proyek?
Padahal, kondisi keuangan kota ini sedang tidak sehat. Anggaran banyak yang ditekan, kegiatan OPD sampai program di kelurahan kena imbas efisiensi.Â
Dana pokmas untuk 43 kelurahan saja belum cair, membuat pembangunan kecil-kecilan yang langsung menyentuh masyarakat tak berjalan.
Sementara di lapangan, masalah yang lebih mendesak menunggu, seperti pendidikan yang butuh biaya lebih layak, layanan kesehatan yang masih jauh dari kata ideal, dan angka pengangguran yang kian meninggi.
Membangun JLU dalam situasi begini ibarat ngotot membeli mobil mewah padahal dapur belum ada kompor, kulkas kosong, dan cicilan rumah menunggak.Â
Apalagi, JLU bukan proyek sederhana. Ini bukan trotoar pendek di simpang tiga yang belakangan sempat disebut-sebut mirip Jalan Malioboro.
Kalau Wali Kota Cilegon serius ingin meninggalkan jejak baik, mestinya dimulai dari hal yang paling dekat dengan warganya, yaitu membenahi pelayanan dasar, memastikan pembangunan kecil berjalan, mampu memberi kepastian ekonomi dan kesejahteraan pada rakyat.Â
Sejatinya, keberhasilan itu bukan perkara seberapa panjang jalan yang dibangun, tapi seberapa nyata kehidupan masyarakat bisa diperbaikidiperbaiki oleh kepala daerahnya.Â
Maka pertanyaan yang wajar diajukan, ketika Walikota begitu ngebet berutang Rp300 miliar untuk JLU, sebenarnya kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI