Wamen Dilarang Rangkap Jabatan, Siapa yang Untung?
"Kekuasaan tanpa batas hanya menumbuhkan tumpang tindih peran; hukum hadir untuk mengingatkan pada kewarasan bernegara."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah rangkap jabatan itu sebuah bentuk pengabdian ganda atau justru jebakan konflik kepentingan? Pertanyaan ini mengemuka ketika Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 28 Agustus 2025, melalui Republika, mengetok palu larangan wakil menteri merangkap jabatan, termasuk sebagai komisaris BUMN. Putusan tersebut menyorot urgensi tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Keputusan MK ini tentu tidak datang di ruang hampa. Publik sudah lama mengkritik fenomena rangkap jabatan yang dianggap merusak etika birokrasi dan mereduksi kinerja pejabat. Di sisi lain, ada yang melihatnya sebagai strategi politik Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat pengawasan BUMN. Maka, putusan MK ini menjadi titik balik menarik dalam diskursus publik.
Alasan penulis mengangkat topik ini sederhana: relevansinya begitu dekat dengan kehidupan demokrasi dan kepercayaan rakyat. Ketika jabatan publik dipakai sebagai "kursi tambahan," publik berhak mengajukan pertanyaan kritis. Di sinilah letak urgensi, apakah keputusan MK benar-benar akan mengubah wajah pemerintahan yang lebih tertib atau justru memunculkan friksi baru di lingkaran kekuasaan.
1. Putusan MK dan Makna Konstitusional
Putusan MK Nomor 128/PUU-XXIII/2025 tidak sekadar menambahkan frasa "wakil menteri" dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara. Lebih dari itu, ia menegaskan prinsip konstitusional bahwa jabatan publik adalah amanah tunggal. Empat larangan dirinci: pejabat negara lain, komisaris/direksi, hingga pimpinan organisasi dibiayai APBN/APBD.
Mengapa ini penting? Karena selama ini publik menyaksikan praktik rangkap jabatan yang seakan dilegalkan oleh situasi politik. Wamen yang duduk sebagai komisaris BUMN misalnya, kerap dipersepsikan sebagai "perpanjangan tangan" Presiden. Tetapi, apakah pengawasan bisa berjalan objektif jika posisinya penuh beban loyalitas ganda?