Kritik yang muncul jelas: negara seolah membuka ruang abu-abu bagi praktik konflik kepentingan. Putusan MK seakan ingin menutup celah ini, sekaligus mengembalikan marwah jabatan publik agar tidak terjebak dalam logika "jabatan sebagai fasilitas."
2. Politik, Kekuasaan, dan Perpanjangan Tangan Presiden
Pernyataan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membuka tabir lain. Ia menyebut, Presiden Prabowo memang menempatkan sejumlah wamen di kursi komisaris BUMN sebagai strategi pengawasan. Alasan ini sekilas pragmatis: BUMN sebagai tulang punggung ekonomi memang perlu kontrol ketat.
Namun, bagaimana jika "kontrol" ini berubah jadi intervensi politik? Bukankah BUMN juga harus dikelola profesional dengan mekanisme check and balance yang jelas? Ketika wamen diberi peran ganda, garis antara kepentingan publik dan kepentingan politik bisa kabur.
Refleksinya: Putusan MK memberi sinyal bahwa kontrol atas BUMN sebaiknya dilakukan melalui tata kelola kelembagaan, bukan lewat rangkap jabatan personal. Pemerintahan yang sehat mestinya mengandalkan sistem, bukan figur semata.
3. Tantiem, Uang, dan Logika Keadilan
Publik masih ingat pidato Presiden Prabowo pada 15 Agustus 2025 di Kompleks Parlemen, ketika ia mengkritik tantiem komisaris BUMN yang mencapai puluhan miliar rupiah per tahun. Kritik itu wajar, sebab bayangkan rapat sebulan sekali bisa berbuah Rp 40 miliar. Pertanyaan mendasarnya: adilkah bagi rakyat kecil yang masih berjibaku dengan harga beras naik-turun?
Dengan konteks ini, penempatan wamen sebagai komisaris tanpa tantiem tampak seperti kompromi. Mereka disebut hanya menjalankan fungsi pengawasan, bukan "menambah kantong." Namun, publik tetap bisa bertanya: apakah jabatan rangkap tanpa tantiem otomatis bebas dari konflik kepentingan?
Kritiknya, negara harus membangun mekanisme pengawasan BUMN yang berbasis merit dan akuntabilitas, bukan bergantung pada simbol atau kompromi politik. Putusan MK sejalan dengan logika keadilan publik: jangan ada gaji ganda, apalagi jabatan ganda, di tengah kesenjangan sosial yang tajam.
4. Dissenting Opinion: Ruang Tafsir yang Terbuka