Sayangnya, logika ini mengabaikan hal-hal paling mendasar. Jalan kabupaten yang rusak tidak masuk daftar prioritas karena dianggap tak menghasilkan profit. Listrik desa yang belum merata dipandang tidak menarik, sebab biaya membangunnya besar sementara daya belinya kecil. Bahkan puskesmas di pelosok sering dibiarkan seadanya karena tak menjanjikan pemasukan. Semua diukur dengan kacamata untung-rugi, bukan dengan kaca mata kebutuhan dan keadilan.
Padahal, infrastruktur dasar justru menjadi nadi kehidupan rakyat banyak. Jalan yang layak akan menurunkan ongkos logistik petani. Listrik yang merata membuka peluang pendidikan dan usaha baru di desa. Puskesmas yang memadai menyelamatkan nyawa tanpa harus menunggu ambulans datang dari kota. Tetapi dalam logika pembangunan yang berorientasi pada laba, semua itu kalah penting dibandingkan proyek yang bisa dihitung balik modal atau menarik sponsor asing.
Hasilnya adalah jurang sosial yang makin menganga. Kota besar dipenuhi infrastruktur modern—bandara megah, jalan tol mulus, kereta cepat melesat—sementara rakyat di pedalaman harus puas dengan jalan berlumpur, listrik seadanya, dan fasilitas kesehatan minim. Pembangunan yang seharusnya merata dan berkeadilan justru terjebak dalam pusaran gengsi dan keuntungan semu.
Menimbang Kembali Prioritas
Tentu, pembangunan tidak bisa dihindari. Negeri ini memang membutuhkan sarana transportasi yang modern. Tetapi pertanyaan mendasarnya: apakah itu yang paling mendesak saat rakyat masih kesulitan mengakses jalan layak, listrik, dan air bersih? Apakah proyek berbiaya triliunan rupiah yang ditutup dengan utang justru tidak menambah beban generasi mendatang?
Pembangunan seharusnya berangkat dari kebutuhan dasar rakyat, bukan ambisi politik sesaat atau kepentingan segelintir elit. Jalan kabupaten yang baik akan langsung mengurangi biaya logistik petani. Listrik yang merata akan membuka peluang usaha baru di desa. Fasilitas kesehatan yang layak akan langsung menyelamatkan nyawa. Semua itu adalah bentuk pembangunan nyata yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat.
Penutup: Belajar dari Rel Baja
Rel kereta cepat memang berkilat, tetapi di balik kilaunya ada jerat utang yang siap membebani rakyat. Proyek mercusuar memang tampak membanggakan, tetapi jangan sampai kebanggaan itu harus ditebus dengan kesejahteraan rakyat yang kian terabaikan.
Indonesia butuh pembangunan, tetapi yang berpihak pada kebutuhan dasar rakyat, bukan sekadar mengejar gengsi. Sebab sejatinya, kemajuan bangsa bukan diukur dari seberapa cepat kereta melaju, melainkan seberapa layak rakyatnya hidup di negeri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI