Kita seringkali percaya bahwasanya tidak ada orangtua yang tidak menyayangi anaknya. Tapi terkadang, keyakinan tersebut bertentangan dengan banyaknya berita tentang orangtua yang menelantarkan anaknya dengan beragam alasan.
Lantas, apakah ada alasan yang bisa diterima dari orangtua yang tidak bertanggungjawab terhadap anaknya?
Rossa (Sita Nursanti), harus kucing-kucingan dengan dua orang debt-collector karena tidak bisa membayar utang. Teh Rossa, begitu ia biasa dipanggil, tidak punya harta berharga yang bisa dijadikan jaminan. Satu-satunya yang ia punya, hanya putri kecilnya, Intan (Myesha Lin).
Dalam keadaan terdesak, Rossa terpaksa harus menyerahkan Intan pada dua orang penagih utang tersebut. Dedi (Ringgo Agus Rahman), salah seorang penagih utang, yang awalnya melihat Intan sebagai jaminan, perlahan justru terikat dalam kisah hidup gadis kecil ini.
Kisah lika-liku kehidupan Dedi, Intan, dan Rossa bisa kamu saksikan dalam drama komedi terbaru Visinema Pictures berjudul Panggil Aku Ayah.
Sebuah adaptasi yang penuh cita rasa lokal
Film arahan Benni Setiawan (Toba Dreams, Twivortiare) ini diadaptasi dari film Korea berjudul Pawn (2020). Sebagaimana film adaptasi pada umumnya, pastinya ada perubahan atau penyesuaian di beberapa bagian agar film bisa dinikmati oleh penonton Indonesia.
Salah satu penyesuaian tersebut adalah soal latar. Panggil Aku Ayah mengambil latar film di Sukabumi, Jawa Barat, sekaligus merampungkan keseluruhan syutingnya di kota yang dikenal dengan sebutan Kota Mochi ini.
Berlatar waktu pada akhir 90-an hingga 2000-an awal, Panggil Aku Ayah memotret kehidupan masyarakat kelas bawah yang minim edukasi. Salah satunya ditunjukkan dengan fakta bahwa utang yang dimiliki Rossa adalah utang suaminya yang pergi entah ke mana. Sayangnya, Rossa yang tidak tahu apa-apa, turut serta menandatangani perjanjian utang tersebut.
Di dunia nyata, tentunya Rossa tidak sendiri. Ada banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya pada utang. Bahkan untuk membayar utang tersebut, rela berutang ke tempat yang lain. Ini yang membuat Panggil Aku Ayah akan mudah relate dengan kebanyakan penonton.
Untuk memperkuat karakter dan cerita, Panggil Aku Ayah memoles set yang mendukung suasana masyarakat kelas bawah. Kita bisa melihat perkampungan padat penduduk, jalanan dan gang sempit, hingga pedagang keliling yang menjadi latar.