Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rel Berkilat, Utang Menjerat

21 September 2025   07:20 Diperbarui: 21 September 2025   07:21 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di negeri ini, kata “pembangunan” kerap dipersonifikasikan dengan proyek-proyek besar. Jalan tol baru, gedung pencakar langit, atau kereta cepat yang melesat di atas rel baja. Semua tampak berkilau, seakan menandai kemajuan bangsa. Namun di balik gemerlap itu, ada kenyataan yang sering terabaikan: beban utang yang menjerat dan rakyat yang masih bergelut dengan masalah infrastruktur dasar.

Ambisi Modernitas

Kereta cepat Jakarta–Bandung, yang kemudian populer dengan nama Whoosh, menjadi simbol ambisi modernitas. Pemerintah memproyeksikan efisiensi waktu, daya saing global, dan kebanggaan nasional. Kini bahkan muncul rencana baru: memperpanjang jalur hingga Surabaya.

Namun, tak semua yang berkilau identik dengan kesejahteraan. Sejak awal beroperasi, Whoosh justru mengalami defisit. Data terakhir menunjukkan kerugian mencapai lebih dari Rp1 triliun, dan beban itu ditutup dengan subsidi dari APBN. Padahal, proyek ini semula digadang tidak akan menyedot dana negara. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya paling diuntungkan dari proyek ini?

Rakyat di Jalan Berlumpur

Di balik rel baja yang menghubungkan kota besar, rakyat di pelosok masih menghadapi jalan berlubang dan berlumpur. Di Papua, Maluku, hingga pelosok Kalimantan dan Sumatra, akses antar kabupaten sering kali lebih mirip arena off-road ketimbang jalur transportasi resmi. Jalan desa becek, jembatan rapuh, bahkan ada daerah yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki berjam-jam.

Kesenjangan ini semakin terasa ketika melihat data. Kementerian ESDM pada 2023 mencatat masih ada sekitar 2.300 desa yang belum teraliri listrik. Bayangkan, di era digital saat ini, masih ada keluarga yang hidup dalam kegelapan, sementara miliaran dolar justru dialirkan ke proyek kereta superkilat.


Logika Pembangunan

Fenomena ini memperlihatkan dengan gamblang arah pembangunan yang lebih sering dituntun oleh gengsi dan kalkulasi laba, bukan oleh kebutuhan riil rakyat. Proyek-proyek mercusuar dikebut karena dianggap mampu mendatangkan investor, menarik wisatawan, atau sekadar menjadi simbol kemajuan di mata dunia. Rel berkilat dan kereta superkilat lebih mudah dijual sebagai prestasi ketimbang jalan kabupaten yang mulus atau puskesmas yang memadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun