Kalau kita bandingkan, politik praktis sering kali berpusat pada kepentingan pribadi atau kelompok, sementara politik Islam berorientasi pada kepentingan umat. Karena itu, politik Islam jelas lebih mulia, sebab ia menjadikan kekuasaan sebagai sarana ibadah, bukan tujuan.
Namun, bukan berarti politik praktis sama sekali buruk. Dalam realitas modern, politik praktis bisa menjadi jembatan untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan. Yang jadi persoalan adalah ketika politik hanya dipandang sebagai transaksi, bukan amanah.
Umat dan Tantangan Kekinian
Umat Islam hari ini menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, mereka hidup di era demokrasi modern dengan segala dinamikanya. Di sisi lain, mereka diajarkan nilai-nilai politik Islam yang mulia. Bagaimana menjembatani keduanya?
Jawabannya terletak pada kesadaran umat. Selama masyarakat memandang politik hanya sebagai “perebutan kursi,” maka politik praktis akan terus didominasi kepentingan sempit. Tapi jika masyarakat melihat politik sebagai jalan ibadah dan pengabdian, maka akan lahir pemimpin-pemimpin yang amanah.
Peluang Generasi Baru
Harapan itu kini mulai tampak pada generasi muda. Banyak anak muda Muslim yang aktif di organisasi, komunitas sosial, bahkan media digital. Mereka membicarakan isu lingkungan, pendidikan, hingga keadilan sosial dengan sudut pandang Islami.
Mereka adalah bukti bahwa politik Islam tidak hanya bisa dipelajari di buku, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal kecil, seperti mengelola kegiatan masjid, hingga hal besar, seperti advokasi kebijakan publik.
Penutup
Jadi, politik Islam vs politik praktis bukanlah pertarungan hitam putih. Keduanya bisa berjalan berdampingan, asalkan orientasinya jelas. Politik praktis tanpa nilai akan kehilangan arah, sementara politik Islam tanpa keterlibatan nyata hanya akan tinggal wacana.
Mana yang lebih mulia? Tentu politik Islam, karena ia berangkat dari niat ibadah. Tapi politik praktis pun bisa mulia, jika dijalankan dengan amanah, kejujuran, dan niat melayani umat.