Sabtu malam, 6 September 2025, ponsel saya berdering berkali-kali. Grup WhatsApp mendadak riuh dengan broadcast kabar duka: “Innalillahi, NJ alias Encuy, pemeran Preman Pensiun, meninggal dunia bunuh diri di rumahnya, Karangpawitan.” Saya terdiam. Sosok yang selama ini hadir di layar kaca untuk menghibur, kini berpulang dengan cara yang begitu menyayat hati. Lebih mengejutkan lagi, rumah almarhum ternyata tak jauh dari tempat saya tinggal—hanya beda desa. Rasa kehilangan bercampur keheranan: bagaimana mungkin seseorang yang terlihat ceria justru menyimpan luka sedalam itu?
Kabar itu cepat dikonfirmasi. Polisi memastikan tidak ada tanda kekerasan, sementara sang istri—yang baru pulang berjualan—menjadi orang pertama yang menemukan jasadnya. Keluarga menolak autopsi dan memilih untuk segera memakamkan. Kepergian Encuy bukan hanya kehilangan bagi keluarga dan penggemar, tetapi juga tamparan keras bagi kita semua tentang rapuhnya kondisi mental di tengah tekanan hidup yang semakin berat.
Lonjakan Kasus Bunuh Diri: Fenomena yang Mengkhawatirkan
Kasus NJ hanyalah satu dari sekian banyak tragedi bunuh diri yang makin sering kita dengar. WHO mencatat setiap 40 detik ada satu orang di dunia yang mengakhiri hidupnya, lebih dari 700 ribu jiwa per tahun. Angka ini diperkirakan lebih tinggi karena banyak kasus yang tak dilaporkan akibat stigma. Di Indonesia, hampir setiap bulan media menyiarkan kabar serupa: remaja, mahasiswa, pekerja kantoran, petani, hingga artis. Fakta ini menegaskan bahwa bunuh diri tidak mengenal usia, status sosial, maupun profesi.
Fenomena ini bukan sekadar kisah pilu individu, melainkan masalah sosial dan kesehatan publik yang serius. Tekanan ekonomi, akses layanan mental yang terbatas, serta krisis empati memperburuk keadaan. Banyak orang memilih diam karena takut dicap lemah atau kurang iman, padahal depresi adalah penyakit nyata yang membutuhkan penanganan profesional. Di era digital, beban kian berat: standar sukses yang serba material, kompetisi kerja, serta ilusi kebahagiaan di media sosial membuat banyak orang merasa gagal, tak berharga, bahkan tak layak hidup. Lonjakan kasus bunuh diri adalah cermin rapuhnya sistem sosial kita, sekaligus alarm keras agar negara, masyarakat, dan keluarga berbenah dengan menumbuhkan budaya empati yang tulus.
Faktor-Faktor Pemicu Bunuh Diri: Indonesia vs Negara Maju
Meski sama-sama memprihatinkan, akar bunuh diri di Indonesia berbeda dengan di negara maju. Di tanah air, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama. Kemiskinan, pengangguran, inflasi, dan kesenjangan sosial membuat banyak orang merasa terhimpit. Kondisi ini diperparah stigma yang melekat: gangguan mental sering dianggap kelemahan iman, sehingga banyak penderita depresi enggan mencari pertolongan. Minimnya tenaga psikolog dan psikiater di daerah juga memperbesar risiko.
Di negara maju, persoalan ekonomi relatif lebih ringan karena adanya jaminan sosial. Namun, bunuh diri justru banyak dipicu oleh kesepian dan isolasi sosial. Budaya individualisme, gaya hidup urban yang kompetitif, dan ekspektasi karier yang tinggi membuat banyak orang merasa terasing di tengah keramaian kota. Ditambah tekanan media sosial, mereka makin mudah terjebak dalam rasa gagal dan tidak berharga. Jika di Indonesia bunuh diri erat kaitannya dengan keterhimpitan ekonomi dan stigma sosial, maka di negara maju ia lebih dipicu oleh kesepian, individualisme, dan kompleksitas psikologis. Dua konteks berbeda ini sama-sama memperlihatkan betapa rapuhnya cara manusia menghadapi hidup.
Belajar dari Kasus Encuy
Kematian Encuy bukan sekadar kabar duka, melainkan alarm serius bahwa siapa pun bisa terjerat depresi tanpa terlihat gejalanya. Karena itu, langkah pencegahan harus segera dilakukan: mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental, memperluas layanan psikologis dan hotline krisis bunuh diri, menguatkan dukungan sosial lewat keluarga, sekolah, komunitas, hingga tempat kerja, serta mendidik generasi muda agar bijak bermedia sosial. Ruang digital seharusnya menjadi sarana belajar dan berbagi, bukan sumber tekanan yang memperparah luka batin.