Tak heran, meski berkali-kali masuk daftar Prolegnas, pembahasan RUU ini selalu mandek. Publik pun makin sadar, perang melawan korupsi bukan semata soal hukum, tetapi juga soal keberanian politik untuk melawan kepentingan segelintir orang berkuasa.
Risiko Baru di Balik Wewenang Luas
RUU ini memberi aparat kewenangan besar: menelusuri, memblokir, menyita, hingga merampas aset. Jika dijalankan secara transparan, kewenangan ini bisa menjadi tonggak sejarah. Namun, tanpa pengawasan, pedang bermata dua ini bisa berubah jadi alat pemerasan atau politisasi hukum.
Di sinilah urgensi mekanisme kontrol publik yang kuat. Tanpa itu, cita-cita mulia bisa berubah menjadi bumerang.
Pertanyaan Lama: Setelah Dirampas, Lalu Apa?
Masalah berikutnya adalah soal pengelolaan. Sejarah mencatat, banyak aset rampasan yang justru mangkrak, rusak, bahkan hilang nilainya. Publik tentu ingin jaminan: hasil perampasan harus benar-benar kembali untuk kemaslahatan rakyat, bukan sekadar berpindah dari koruptor ke oknum baru.
Pengelolaan yang jelas, transparan, dan akuntabel adalah syarat mutlak jika RUU ini ingin dipercaya masyarakat.
Perampasan Aset dalam Perspektif Islam
Menariknya, perampasan aset bukanlah konsep asing dalam hukum Islam. Dalam sejarah peradilan Islam, harta yang diperoleh secara batil wajib dikembalikan kepada negara atau masyarakat, tanpa harus menunggu pelaku dihukum pidana.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang berkhianat dalam rampasan perang, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan membawa apa yang ia khianati.” (HR. Bukhari dan Muslim)