1945—angka keramat dalam sejarah bangsa
Tinta emas tertoreh di ujung luka dan derita
Teriak “merdeka” menggema ke seluruh nusantara
Tak sekadar bebas, tapi hak hidup manusia merdeka
Bambu runcing dan doa ibu menjadi saksi
Ketika darah tumpah demi harga diri
Tak hanya mengusir penjajah yang dzalim dan tamak
Tapi menanam martabat yang tak boleh retak
Namun kini, wahai bangsa yang konon merdeka
Adakah kau dengar jerit rakyat jelata?
Perut lapar di tengah pesta pora
Tanah dirampas atas nama negara
Jika hukum tajam hanya untuk yang lemah
Dan kekuasaan dibungkus janji yang musnah
Jika ijazah pemimpin masih jadi tanya
Dan suara kebenaran dibungkam diam-diam saja
Kami rindu kemerdekaan yang menyejukkan dada
Bukan sekadar seremoni dan spanduk warna-warni semata
Tapi keadilan yang hadir dalam setiap langkah
Yang tak mengucilkan rakyat dari hak dan arah
Merdeka bukan hanya bendera yang berkibar
Tapi petani yang tersenyum di ladang yang lebar
Guru dihormati, buruh dihargai
Dan hidup tak harus dibayar dengan harga diri
Wahai pemimpin yang duduk di singgasana
Kami titip tanah air—bukan untuk dijual semena-mena
Jangan ubah negeri ini jadi ladang kuasa
Tempat rakus merayap tanpa rasa
Kami ingin merdeka yang terasa nyata
Di meja makan, di sekolah, di hati warga
Yang tumbuh di sawah, pasar, dan pabrik kerja
Yang hidup di nurani, bukan hanya di pidato semata
Jika merdeka belum merata
Jika keadilan masih hanya kata
Maka sesungguhnya kita belum sepenuhnya merdeka
Dan perjuangan belum usai
Sampai rakyat bahagia
di seluruh penjuru nusantara
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI