Tahun politik kerap menjadi ajang pencitraan massal. Partai-partai bersolek, jargon ditebar, janji dijajakan. Namun, setelah semua usai, rakyat kembali kecewa. Mengapa fenomena ini berulang?
Tulisan ini ingin menjawab bukan hanya dari gejala permukaan, tetapi dari akar yang lebih dalam. Bahwa krisis kepercayaan terhadap partai politik bukan sekadar soal buruknya perilaku elit, tapi karena sistem yang menaunginya—yakni sistem politik sekuler—telah gagal menyediakan fondasi moral yang kokoh.
Fungsi Ideal Partai Politik
Secara teoritis, partai politik memiliki peran sentral dalam demokrasi: menyerap aspirasi, mengartikulasikan kepentingan rakyat, mendidik masyarakat secara politik, dan mengontrol kekuasaan. Ia menjadi jembatan antara rakyat dan negara.
Namun realitas berbicara lain. Survei LSI tahun 2023 menunjukkan hanya 53% masyarakat Indonesia yang percaya pada partai politik. Rakyat menilai partai-partai lebih sibuk melayani kepentingan elit ketimbang membela aspirasi publik.
Politik Tanpa Moral Sejati
Mengapa partai politik dalam sistem demokrasi sekuler cenderung gagal menjadi saluran aspirasi rakyat? Jawabannya karena landasan nilainya adalah manfaat, bukan halal dan haram.
Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan publik. Moral menjadi relatif, tergantung kepentingan. Maka tidak aneh jika dalam politik berlaku adagium klasik: “tidak ada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan abadi.”
Keputusan politik diukur dari untung-rugi jangka pendek. Bahkan nilai kejujuran, integritas, dan akhlak bisa dikorbankan demi pencitraan dan elektabilitas. Pencitraan menggantikan keikhlasan, popularitas menggantikan kebenaran.
Maka tidak mengherankan jika masyarakat memandang partai politik dengan sinis. Etika dan janji-janji kampanye hanya menjadi alat tawar-menawar politik. Kejujuran tak dihargai. Loyalitas diganti transaksionalisme. Akhlak, jika pun ada, kehilangan makna.
Sekularisme Melahirkan Kepalsuan