Sampai, AS, yang merasakan manisnya kelakuan "premannya", mengulurkan tangan hitamnya lagi ke Huawei, bahkan untuk menekan Huawei, benar-benar mencabik-cabik wajahnya, melakukan penyergapan besar-besaran, dan menangkap dan menyandera putri Ren Zhengfei, Meng Wanzhou langsung di bandara Kanada.
Dengan menggunakan "alasan transksi Iran" yang sama seperti sanksi terhadap ZTE di masa lalu, barulah orang Tiongkok akhirnya sepenuhnya sadar: Tujuan akhir AS adalah untuk menghancurkan perusahaan teknologi tinggi (iptek) di seluruh Tiongkok.
AS mulai secara sepihak melakukan perang dagang hingga perang iptek terhadap Tiongkok, tahun demi tahun terus dilakukan secara gencar dan makin lama semakin meluas.
Pada tanggal 23 Agustus 2018, tarif 25% dikenakan pada sisa US$16 miliar dari batch pertama senilai US$50 miliar ekspor Tiongkok ke AS;
Pada 5 Mei 2019, Trump mengeluarkan perintah lain. Mengumumkan tarif 25% untuk barang lain senilai US$200 miliar, yang akan berlaku efektif pada 15 Juni;
Pada 1 September 2019, AS memberlakukan tarif 10% untuk semua sisa ekspor Tiongkok senilai US$300 miliar ke AS;
Pada tahun 2020, dengan didasarkan pada perang iptek dan perang dagang. AS telah memicu perang lain, yaitu perang opini publik.
Termasuk apa yang telah termasuk yang sudah kita sama-sama dengar tentang kompensasi untuk pandemi yang menuduh virus pandemi berasal dari Wuhan, Tiongkok, masalah HAM, masalah demokrasi, dan campur tangan AS di Xinjiang, Hong Kong, dan sebagainya.
Serangan AS terhadap Tiongkok tampaknya semakin kuat dan dahsyat. Balum lagi provokasi terhadap LTS dan masalah Taiwan, dan memprovokasi India dengan masalah perbatasan dengan Tiongkok.
Semua manuver AS ini tampaknya dikarenakan begitu khawatir dengan bangkitnya dan berkembangannya Tiongkok dalam bidang ekonomi dan iptek, yang akan menyaingi AS.
Dalam dua tahun terakhir, dengan eskalasi sanksi iptek AS, salah satu perusahaan teknologi tinggi Tiongkok di berbagai bidang telah berturut-turut dimasukkan dalam daftar hitam penindasan oleh AS.