Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Populisme akan Menyeret AS dan Barat dalam Jurang Kemerosotan

26 Januari 2021   17:36 Diperbarui: 26 Januari 2021   17:44 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: South China Morning Post

Majalah utama liberal Inggris "The Economist" pernah menerbitkan artikel utama yang panjang "Rethinking Western Democracy" pada awal 2014, dan mengakui bahwa "tantangan terbesar bagi demokrasi bukanlah dari atas atau dari bawah, tetapi justru dari dalam (internal), dari para pemilih itu sendiri, praktik telah membuktikan bahwa kekhawatiran Plato bahwa sistem demokrasi akan membuat warga 'memanjakan diri di saat-saat bahagia sepanjang hari' penuh pandangan ke depan. Pemerintah ini berhutang untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek pemilih dan mengabaikan investasi jangka panjang . Hasilnya adalah hasil seperti itulah."

(Plato percaya bahwa orang demokratis lebih mementingkan uangnya tentang daripada bagaimana dia dapat membantu rakyat. Dia melakukan apapun yang dia inginkan kapanpun dia ingin melakukannya. Hidupnya tidak memiliki keteraturan atau prioritas).

Tentu saja populisme di atas ini adalah populisme Barat pada umumnya. Yang ingin dibahas hari ini adalah populisme yang lebih serius yang muncul dalam beberapa tahun terakhir.

Populisme semacam ini seringkali muncul ketika ada krisis yang mendalam di bidang politik, ekonomi, dan masyarakat. Sangat mirip dengan Jerman di awal tahun 1930-an. Selama Republik Weimar, Hitler memanfaatkan ketidakpuasan rakyat Jerman terhadap krisis ekonomi dan sosial, terutama terjadi pengangguran parah dan ketidakpuasan, dengan mengadopsi metode populis, dan dengan mudah memenangkan 37,4% suara pada tahun 1933 untuk menjadi partai mayoritas di parlemen Jerman, yang pada akhirnya merugikan Jerman dan seluruh Eropa serta dunia.

Mari kita lihat kembali pemilu AS 2016 yang dimenangkan Trump. Berlatar belakang dengan situasi dimana pendapatan riil dari ratusan juta rakyat di AS selama 30 hingga 40 tahun jika dikurangi harga barang, hampir tidak ada kenaikan. Kemudian jumlah kelas menengah tidak bertambah, tetapi menyusut, ditambah dengan keterlibatan media baru, keuangan, kecerdasan buatan dan sebagainya. Semua ini menjadi tempat subur berkembang biaknya bagi anti-intelektualisme, rumor, dan tokoh populis di panggung politik.

Pada tahun 2008, ketika di AS terjadi tsunami finansial, yang mengurangi kekayaan warga AS rata-rata sekitar seperlima hingga seperempat. Tetapi pada saat seperti itu, kekayaan AS terus terkumpul di antara kelompok berpenghasilan tertinggi yang terdiri dari sangat sedikit orang, dimana ekspansi keuangan sebenarnya masih belum terkendali selama bencana besar.

Politisi termasuk Obama, yang membawa janji-janji menarik kepada orang AS pada tahun 2008, akhirnya menyerah dari keinginan Wall Street (kaum kapitalis) dan menggunakan pajak negara untuk menyelamatkan orang-orang super kaya AS, yang menimbulkan kemarahan yang meluas di antara rakyat AS.

Jumlah rakyat AS yang percaya bahwa impian Amerika dapat terwujud telah merosot ke titik terendah dalam 20 tahun, terutama kaum muda lebih pesimis. Lebih dari setengah anak muda tidak lagi percaya bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi terbaik. Di masa lalu, ini adalah titik utama liberalisme mereka, sehingga mobilitas sosial di AS sedang menurun dan elit menjadi semakin menjadi turun-temurun. Yang menyebabkan orang muda menjadi semakin sedikit berkesempatan untuk mengubah takdir atau nasib mereka.

Kaum establishment AS secara serius telah menginggalkan kondisi nasional AS, sehingga mereka acuh tak acuh terhadap kehidupan rakyat AS yang sebenarnya, apakah itu adalah lawan Trump.

Mungkin masih bisa diingat pada 2006, lawan Trump, Hillary Clinton pernah mengatakan bahwa capres Partai Republik, Trump adalah "sekelompok orang-orang yang menyedihkan (The basket of deploreables)", yang menyebabkan keributan.

"Mereka adalah rasis, diskriminasi gender, homofobia, xenofobia, islamofobia, dll. Apa pun yang Anda katakan, separuh pendukung mereka yang lain merasa bahwa pemerintah telah mengecewakan mereka atau ekonomi telah mengecewakan mereka. Bagaimanapun, tidak ada yang peduli tentang mereka" kata Hillary.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun