Mohon tunggu...
Majestine Shahna
Majestine Shahna Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relaksasi Kredit, Apakah Menjadi Sebuah Angin Segar?

9 Januari 2021   21:30 Diperbarui: 9 Januari 2021   21:48 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di seluruh belahan dunia ini tentunya membuat beberapa sektor kelabakan, salah satunya yang menjadi sorotan utama ialah sebagian besar kegiatan perekonomian di banyak negara yang kacau balau, tidak terkecuali di Indonesia. Sejak diumumkannya masuknya kasus COVID-19 ke Indonesia, sektor perekonomian di Indonesia mulai merasakan dampaknya. Dengan diberlakukannya pembatasan sosial skala besar, serta kegiatan Work From Home (WFH), dan beberapa kegiatan yang dianjurkan untuk dijalankan di rumah saja, membuat beberapa perdagangan menemui hambatannya. Dengan kegiatan yang dianjurkan dilakukan di rumah saja, membuat masyarakat mengurangi kegiatannya di luar rumah terutama dalam kegiatan jual beli. Tentu saja hal ini membuat sektor perdagangan kalang kabut karena hasil penjualan mereka yang turun drastis yang berakibat pada pendapatan mereka yang turun drastis pula.

Penurunan penghasilan ini paling terasa oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Hal tersebut berdampak pada ketidakmampuan para pelaku UMKM yang mempunyai kewajiban untuk membayar angsuran hutang dari bank maupun lembaga keuangan non bank, hal ini membuat mereka kesulitan untuk membayar kewajibannya setiap bulan. Dengan keterlambatan pembayaran kewajiban oleh para debitur bank, menyebabkan perputaran dana di bank juga terhambat, hal ini dapat menyebabkan naiknya angka Non Performing Loan (NPL) bank. Menurut Deasy Dwihandayani (2017) Non Performing Loan (NPL) adalah salah satu indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank, karena NPL yang tinggi adalah indikator gagalnya bank dalam mengelola bisnis antara lain timbul masalah likuiditas (ketidakmampuan membayar pihak ketiga), rentabilitas (hutang tidak dapat ditagih), dan solvabilitas (modal berkurang).

OJK mencatat terdapat kenaikan yang signifikan pada prosentase NPL perbankan Indonesia. Dari tingkat NPL sebesar 2,53% pada bulan Desember 2019, terjadi kenaikan mencapai 2,89% di bulan April 2020 di mana awal mula kasus COVID-19 di Indonesia terkonfirmasi. Hingga bulan Oktober 2020 pun prosentase NPL tetap mengalami peningkatan hingga 3,15%. 

Melihat situasi ini, OJK mengeluarkan kebijakan tentang restrukturisasi kredit pembiayaan terkait dampak COVID-19. Kebijakan ini meliputi penurunan suku bunga; perpanjangan jangka waktu; pengurangan tunggakan pokok; pengurangan tunggakan bunga; penambahan fasilitas kredit/pembiayaan; dan/atau konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara. 

Kebijakan OJK dalam menjawab dampak dari COVID-19 ini tertuang dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Kebijakan countercyclical merupakan kebijakan yang melawan arus siklus bisnis tersebut, hal ini berarti pada saat resesi, pemerintah menerapkan kebijakan ekspansif berupa pelonggaran fiskal dan moneter (Kaminsky, Reinhart dan Vegh, 2004).

Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kiryanto dalam money.kompas.com mengatakan, kebijakan stimulus dari OJK sangat berguna untuk meringankan beban bank dan perusahaan pembiayaan sebagai kreditur maupun untuk pengusaha ataupun masyarakat lain sebagai debitur di masa sulit seperti sekarang. Melalui relaksasi ini, harapannya sektor jasa keuangan dan dunia usaha mampu bertahan sambil menunggu tuntasnya tugas pemerintah menghalau wabah COVID-19 secepatnya.  

Kabar terbaru, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini diperpanjang hingga Maret 2022 yang awalnya hanya sampai di bulan Maret 2021. Kebijakan OJK untuk memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit ini tertulis dalam POJK No.11/POJK.03/2020. Diperpanjangnya kebijakan ini dikarenakan karena dampak dari COVID-19 terhadap sektor perekonomian masih dirasakan kepada pelaku kegiatan di sektor ekonomi. Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Anto Prabowo mengatakan dalam jawapos.com bahwa stimulus pada sektor perbankan ini dikeluarkan setelah mencermati perkembangan dampak ekonomi terkait penyebaran COVID-19 yang masih berlanjut secara global maupun domestik dan diperkirakan akan berdampak terhadap kinerja dan kapasitas debitur serta meningkatkan risiko kredit perbankan.

Lalu, apakah perpanjangan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini merupakan kabar gembira bagi para debitur? Nampaknya, untuk mendapat relaksasi kredit, debitur tidak secara otomatis mendapatkannya. Sesuai yang disampaikan OJK, cara atau langkah awal agar debitur mendapatkan relaksasi kredit adalah dengan mengajukan permohonan restrukturisasi yang dilengkapi dengan data yang diminta bank/leasing yang dapat disampaikan secara online (email/website yang ditetapkan oleh bank/leasing) tanpa harus datang bertatap muka. Jadi, untuk mendapatkan relaksasi kredit ini tetap bergantung pada kebijakan masing-masing bank dimana bank masih harus melakukan assessment terhadap debitur. Hal ini dilakukan karena pelaksanaan restrukturisasi ini diprioritaskan untuk debitur yang memiliki itikad baik dan terdampak COVID-19.

Bisa dilihat juga bahwa dengan adanya kebijakan yang simpang siur tentang tata cara untuk mendapatkan relaksasi kredit, sepertinya menyebabkan beberapa debitur mengira mereka akan secara otomatis mendapatkan relaksasi kredit ini, hal ini menyebabkan keterlambatan pembayaran kewajiban mereka karena tidak tahu jika para debitur diharuskan untuk membuat permohonan secara mandiri terlebih dahulu. Hal-hal seperti ini yang seharusnya diperhatikan oleh pemangku kebijakan agar informasi yang diterima masyarakat tidak simpang siur terlebih di tengah kondisi yang serba panik seperti sekarang ini.

Kebijakan untuk tidak secara otomatis memberikan relaksasi kredit kepada debitur sebenarnya sudah tepat. Karena dengan adanya kebijakan ini bisa memicu debitur-debitur "nakal" yang memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan relaksasi kredit padahal keadaan beberapa debitur tidak perlu diberi kebijakan ini, artinya masih ada beberapa debitur yang seharusnya masih bisa membayar kewajibannya dengan normal karena tidak terdampak COVID-19. Jika ada debitur "nakal" yang berhasil mencuri kesempatan ini tentu saja akan berpengaruh kepada operasional bank atau lembaga keunagan dimana kenaikan angka NPL yang tajam tidak akan bisa dihindari. 

Menurut mantan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dalam money.kompas.com, perbankan akan menanggung beban yang besar jika seluruh debitur menangguhkan cicilan utangnya selama satu tahun. Apalagi, sekitar 30 persen kredit perbankan merupakan kredit konsumsi, termasuk KPR. Sementara sekitar 15 persen hingga 20 persen di antaranya adalah kredit UMKM. Pun Mirza mengumpamakan perputaran kredit perbankan dan kredit perusahaan pembiayaan layaknya darah di tubuh manusia. Artinya, tanpa aliran kredit maka perekonomian akan berhenti dan tidak berjalan semestinya.

Juru bicara OJK Sekar Putih Djarot dalam finansial.bisnis.com menyatakan bahwa penarikan kendaran atau jaminan kredit tetap dapat dilakukan bagi debitur yang sudah macet dan tidak mengajukan keringanan sebelum terdampak COVID-19. Hal tersebut berlaku sepanjang bank atau perusahaan pembiayaan melakukan penarikan sesuai dengan ketentuan hukum.

Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keungan (OJK) mengatur relaksasi rekstrukturisasi kredit ini dimaksud lebih ditujukan kepada debitur kecil. Debitur kecil yang dimaksud adalah antara lain debitur di sektor informal, usaha mikro, pekerja berpenghasilan harian yang memiliki kewajiban pembayaran kredit untuk menjalankan usaha mereka. Misalnya saja juga pekerja informal yang memiliki tagihan kepemilikan rumah dengan tipe tertentu atau program rumah sederhana, pengusaha warung makan yang terpaksa tutup karena ada kebijakan Work From Home (WFH). Relaksasi dengan penundaan pembayaran pokok sampai dengan 1 tahun tersebut dapat diberikan penundaan atau penjadwalan pokok dan/atau bunga dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan ataupun asesmen bank atau leasing misal 3, 6, 9, atau 12 bulan.

Menurut data OJK, realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan per tanggal 28 September 2020 sebesar Rp 904,3 triliun untuk 7,5 juta debitur. Sementara NPL di bulan September 2020 sebesar 3,15% menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,22%. Untuk menjaga prinsip kehati-hatian, bank juga telah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang dalam 6 bulan terakhir menunjukkan kenaikan.

Sebagai gambaran, berikut syarat dan ketentuan yang ditentukan oleh bank Mandiri terkait kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini. Ketentuan tersebut antara lain:

  1. Nasabah terdampak COVID-19 dengan pinjaman kurang dari Rp 10 miliar, mendapatkan keringanan berupa penundaan pembayaran angsuran.
  2. Nasabah yang pinjamannya di atas Rp 10 miliar, bank Mandiri sudah mengantisipasi dan menginventarisasi dengan menerapkan kebijakan penundaan, rescheduling, pengurangan suku bunga, restrukturisasi bagi nasabah-nasabah yang setelah dievaluasi terdampak COVID-19.
  3. Nasabah yang berada di zona merah akan diberikan keringanan penundaan pembayaran pokok dan pengenaan suku bunga sampai dengan 0% untuk selama maksimal 1 tahun.
  4. Relaksasi kredit kendaraan bermotor bagi pengemudi ojek online dan driver online.
  5. Penetapan kolektabilitas kredit didasarkan pada ketetapan pembayaran angsuran.
  6. Kredit yang direstrukturisasi akan ditetapkan lancar sejak restrukturisasi dilakukan.

Lebih lengkapnya, sekretaris perusahaan bank Mandiri, Rully Setiawan dalam keuangan.kontan.co.id menyatakan bahwa untuk teknis implementasi relaksasi tersebut secara detail akan mengacu pada peraturan OJK yang terkait dengan kebijakan ini dan disesuaikan dengan profil nasabah masing-masing, yang penilaiannya akan dilakukan oleh unit maupun kantor cabang bank pada saat nasabah mengajukan relaksasi.

Sementara itu, sebagai gambaran lain, kriteria nasabah yang dapat mengajukan relaksasi restrukturisasi kredit di Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah sebagai berikut:

  1. Debitur UMKM BRI yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban karena debitur atau usahanya terdampak dari penyebaran COVID-19 baik secara lansgung ataupun tidak langsung.
  2. Usahanya masih memiliki prospek yang baik dan secara personal yang bersangkutan memiliki itikad baik untuk kooperatif terhadap upaya restrukturisasi yang akan dijalankan.

Sementara itu, sektor ekonomi yang mendapatkan keringanan antara lain pertanian, pertambangan, pengolahan, perdagangan, transportasi, perhotelan, serta pariwisata. Corporate Cecretary BRI Amam Sukriyanto dalam cnbcindonesia.com menjelaskan lebih jauh bahwa seluruh proses permohonan relaksasi kredit tersebut akan dilakukan secara terstandarisasi agar berjalan dengan baik dan tentunya disesuaikan dengan ketentuan internal yang berlaku di BRI, serta menjadi kewenangan dan kompetensi bank untuk menentukan mana yang perlu restrukturisasi dan mana yang tidak perlu, dan yang tidak kalah penting adalah seluruh biaya proses dan materai ditanggung oleh BRI.

Dengan adanya kebijakan relaksasi restrukturisasi ini, diharapkan dapat membantu pelaku UMKM di mana yang dalam kondisi pandemi seperti ini pasti terdampak dalam hal penurunan pendapatan yang mana mengakibatkan para pelaku UMKM yang mempunyai kewajiban di bank atau pun lembaga keuangan non bank kesulitan untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang. Sedangkan, kegiatan perdagangan harus tetap berjalan sejalan dengan operasional atau perputaran dana di bank yang harus terus berjalan pula. Sehingga, kebijakan ini juga diharapkan dapat membantu bank ataupun lembaga keuangan non bank untuk tetap menjalankan operasional bank terkait dengan urusannya dengan para debitur. Diharapkan bahwa kebijakan ini dapat membantu lembaga keuangan dan dunia usaha untuk tetap bertahan selama pandemi COVID-19 ini. 

Tentunya, kita berharap bahwa pandemi COVID-19 ini akan segera berakhir. Dampak yang dihasilkan oleh adanya pandemi ini tentunya tidak hanya dirasakan dalam sektor perekonomian saja, namun memberikan dampak kepada semua sektor dimana para pelaku dalam semua sektor tersebut harus berpikir keras bagaimana agar tetap bertahan selama masa pandemi ini. Oleh karena itu, semua masyarakat serta pemerintah harus dapat bekerja sama untuk memutus rantai pandemi ini. Jangan lupa untuk tetap di rumah saja dan keluar rumah hanya untuk kegiatan yang mendesak, serta harap selalu menggunakan masker dan rajin mencuci tangan serta hindari kerumunan. Dan jangan lupa juga untuk membeli produk-produk dari UMKM agar di masa seperti ini kita turut andil untuk memajukan perekonomian dengan membeli produk-produk UMKM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun