Mohon tunggu...
Maik Zambeck
Maik Zambeck Mohon Tunggu... corat coret

semoga menjadi orang yang sadar sesadar-sadarnya

Selanjutnya

Tutup

Roman

Salju di Pantai Padang

21 September 2025   09:47 Diperbarui: 21 September 2025   09:47 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

BAB I Mahasiswa Akal-Akalan


Di ujung jalan koridor Universitas Andalas, Fakultas MIPA terlihat seorang mahasiswa berjalan tergopoh-gopoh. Badannya yang kurus tapi tidak terlalu kecil sangat kontras dengan tas besar yang disandangnya yang penuh bawaan dan cukup berat. Dia mengejar jadwal mata kuliah mekanika kuantum di gedung C1.1 pada siang yang terik itu. Pikirnya dia tidak punya pilihan lain, harus masuk ke kelas hari itu setelah beberapa kali absen kalau tidak mau terdepak. Pak Syafri yang mengajar mata kuliah itu terbilang killer. Tidak peduli, siapapun orangnya, yang tidak mematuhi peraturan yang dia buat dalam perkuliahan, harus menerima sangsi. Cerita dari senior-seniornya, tidak sedikit dari mereka yang dibikin gagal dan terpaksa mengulang mata kuliah yang diajar Pak Syafri dan menjemukan itu.
Amir mengetuk pintu ruangan kelas C.1.1 yang sudah tertutup rapat, dia sudah terlambat 15 menit. Harapanya cuma satu, kalau boleh cuma masuk dan duduk saja di ruangan itu sudah cukup, tidak dinilai kehadirannya pun tidak apa- apa. Tak perlu berlama-lama mengetuk, pintunya langsung terbuka. Pak Safri yang berdiri di balik pintu itu membuka dan melihat keluar, siapa yang berani- berani mengetuk pintu kelasnya ditengah perkuliahan yang sedang berlangsung. Krenyit dahi dari orang yang beruban dan berkacamata tebal mendongak keluar pintu melirik sinis kepada Amir.
"Anda siapa? Tanya Pak Syafri ketus.
"Saya mahasiswa Bapak ingin mengikuti perkuliahan Bapak hari ini." Jawab Amir dengan suara tertahan, setengah bergetar menyembunyikan ketakutannya. "Anda tahu, anda sudah terlambat 15 menit?" "Tahu Pak, tapi..."
" Tidak ada tapi-tapian sekarang anda di luar saja.. ganggu orang yang sedang belajar saja.!" .Lalu pintu kembali tertutup.

Hati Amir menjadi gundah, cukup sudah penderitaannya. alamat ia akan gagal dalam matakuliah satu ini setelah sebelumnya dia gagal dalam tiga mata kuliah penting lainnya yang membuat IPK nya tidak lebih dari satu koma meski sudah semester empat. Perlahan dia menenteng tas beratnya di tangan kiri duduk di teras dekat ruangan tersebut, sambil sesekali melihat pintu ruangan C1.1 kalau-kalau terbuka.
Dalam lamunannya fikirannya melayang bertanya-tanya apa sih sebenarnya mekanika quantum itu. Apa tidak cukup bagi mereka yang mempelajari fisika sampai dengan mekanika biasa saja. Bukan apa-apa, pikirannya kacau karena dalam matakuliah mekanika klasik saja dia sudah dapat D di semester kemarin. Di tambah lagi mata kuliah Fisika Matematik pun D, praktikum jarang hadir hingga fisika dasar pun dapat D. Kata orang Mekanika Quantum itu seperti momok, bukan saja bagi senior-senior yang gagal mengambil matakuliah ini. Kabarnya para ahli pun dibikin kebingungan. Tidak seperti mekanika klasik yang dengan hukum Newton saja sudah bisa menentukan kecepatan dan posisi suatu materi sekaligus. Tapi mekanika quantum ini lain. Sudah dua kali Amir menghadiri perkuliahan itu, kuliah pembuka dan satu sesudahnya, sepertinya menarik. Tapi karena jadwalnya yang padat dia tidak bisa mengikuti perkuliahan itu sebagaimana mestinya. Seperti biasa, menarik bagi Amir itu tidak berarti menjamin ia akan mendapat nilai A tapi malah sebaliknya.
Satu setengah jam berlalu, Amir menyeka keringat yang sudah membasahi tubuhnya, antara udara yang panas dan rasa cemas bercampur aduk. Pintu ruangan C.1.1 terbuka, Pak Syafri keluar lalu diikuti mahasiswanya. Pak Syafri melintas tepat di depan Amir, hanya beberapa langkah jaraknya dari tempat ia duduk. Karena memang tidak ada jalan lain dari Gedung C ke kantor Jurusan selain melintasi tempat dimana Amir duduk. Pandangan muka Pak Syafri lurus ke depan terkesan angkuh mendekap sebundel kertas-kertas di pinggangnya, tidak menghiraukan keberadaan Amir yang tidak jauh dari lintasannya. Amir melihat
muka Pak Syafri seperti itu tidak berani menyapanya, berbicara untuk menjelaskan duduk persoalan alasan keterlambatannya masuk kelas. Amir hanya terdiam meliat Pak Syafri yang berlalu begitu saja. Tiba -tiba Lili menepuk pundaknya, seorang gadis penceria teman kuliah Amir yang selalu dikelilingi teman temannya atau lebih tepatnya dia yang selalu menyertai gengnya.
"Kamu kenapa terlambat? " Tanya Lili sekenanya, sambil mengambil tempat duduk di samping Amir.
Amir yang dari tadi pandangannya mengikuti bayangan Pak Syafri yang kian menjauh terkejut karena disekelilingnya sudah ada Lili dan gengnya. Amir tahu, kalaupun dia menjelaskan semua peduli apa mereka atas urusannya. Amir menjawab sekenanya agar tidak menjadi bahan pembicaraan utama mereka.
"Eh.. kamu Li.. ini bis kampusnya tadi telat." Jawab Amir sekenanya sambil melirik ke Doni dan Dedi juga Dodi, 3 D.
" Kamu sudah empat kali loh absen, sedang Pak Syafri ini memberi kesempatan absen tanpa kabar tiga kali, minggu besok akan ada quiz. Saya khawatir kamu tidak diizinkannya mengikuti quiz. Atau begini, .. kamu temui saja beliau siang ini diruangannya." Sela Dodi dengan nada serius. Dia sebagai ketua merasa wajib mengingatkan anak buahnya kalau-kalau terjadi apa-apa dan menyarankan jalan keluar yang terbaik.
Amir mengernyitkan dahinya melihat ke Dodi, sedang mahasiswa angkatannya yang jumlahnya tak seberapa sudah berangsur-angsur meninggalkan C1.1 .
'Amir sih cari duit terus...!" Doni menyela, tersenyum sambil mau berlalu menarik tangan Lili untuk meninggalkan tempat itu menuju kafe. Lili menarik tangannya kembali masih mau berlama-lama duduk di situ. Mendengar celetukan Doni, Amir hanya tersenyum getir. "Iya Mir, lebih baik kamu temui Pak Syafri mungkin beliau mau mengerti alasanmu." tambah Lili dengan nada suara prihatin.

"Nanti kalau Syafri itu macam macam hantam saja mukanya..." timpal Dedi dengan ogah-ogahan melayangkan pandangannya keluar Gedung C melihat sekeliling.
"Eh.. Li cepat itu bis kampus mari kita kejar.. nanti bakal lama kita menunggunya." sambung Doni ke Lili sambil menarik narik tangan Lili.
Dodi yang serius meperhatikan Amir jadi terpengaruh dan ingin mengejar bis kampus itu juga.
"Eh li ayo kita kejar. Nanti susah loh.. itu kebetulan kosong." timpal Dodi yang sudah mengalihkan pandangannya dari Amir ke bis kampus yang jaraknya 300 meter dari meraka. Yang seandainya mereka kejar pun, bis itu belum tentu akan menunggu mereka.
" Udah Mir, jangan dengar kata Dedi, temui saja pak Syafri itu ya." Kata Lili yang akhirnya juga berlalu mengikuti dua temannya yang lain mengejar bis kampus. Baru setengah lintasan mereka berlari, sopir bis itu sudah mulai menginjak gas untuk memacu bisnya meninggalkan mereka.
* * *
Universitas Andalas memang terletak di perbukitatan Limau Manih 30 km dari pusat kota Padang. Sebelum dilayani bis kampus, ada angkutan kota yang melayani tumpangan mahasiswa dari pusat kota Padang ke bukit Limau Manih. Lama kelamaan para sopir jadi sadar, bahwa lintasan yang mereka tempuh menjadi tambah panjang dengan jalan yang mendaki dan menurun sehingga akan banyak menguras pemakaian minyak mobil, minyak oli, ban mobil dan juga energi sopir itu sendiri. Sedang ongkos yang didapatnya pun tidak akan lebih banyak kalau seandainya mereka mengantarkan tumpangan hanya sampai simpang Pasar Baru. Kemudian angkutan kota itu hanya mengantar tumpangannya sampai Pasar Baru saja. Untuk mengatasi masalah ini pihak Universitas menginisiasi pengadaan bis kampus yang akan melayani rute dari Pasar Baru ke Bukit Limau Manih, namun dengan jumlah terbatas.
Siang itu, jam sudah menunjukkan pukul 14.30. Akhirnya Amir memberanikan diri mendatangi ruangan Pak Syafri di jurusan melalui jalan koridor yang menurun dari Gedung C. Jurusan sudah sepi, seperti apa yang ia inginkan. Dia tidak ingin kalau-kalau nanti berpapasan dengan Pak Arif yang mengajar mata kuliah Mekanika atau Buk Sri yang mengajar Fisika Matematika apalagi Pak Alamin yang mengajar Fisika dasar yang juga pembimbing akademiknya itu. Pak Alimin sudah puas mencerca Amir tiap dia mengajukan kartu rencana studi untuk ditandatangani tiap semesternya. Apalagi untuk semester ini. Pak Alimin sudah mulai menggunakan kata DO kepada Amir dia selalu membandingkan Amir dengan anak bimbingannya yang lain yang selalu ber IP tiga lebih. Amir hanya bisa tertunduk.
Memasuki Kantor Jurusan yang dingin karena kurang terkena cahaya matahari, menambah silu sendi-sendi kaki Amir. Dia berusaha cepatnya melintas. Tasnya yang besar dan berat berguncang naik turun di punggungnya. Pak Alimin baru keluar Toilet saat Amir berada di tengah lantai dasar Jurusan. Amir yang berjalan menunduk tidak memperhatikannya, baru sadar saat berpapasan dan hampir bertabrakan.
" Eh.. Bapak.. selamat siang, Pak. " sapa Amir dengan keberanian yang di paksakan.
"Siang.." Jawab Pak Alimin sekenanya dengan dahi yang bekernyit, dibalik kacamatanya ia melirik sinis kepada Amir dan berlalu begitu saja.
Amir bertanya-tanya dalam hati, apa orang ini mengenalinya atau tidak atau mungkin dia lupa bahwa Amir adalah anak bimbingannya. Sebegitu dinginnya sehingga dia tidak mengabaikannya.
Sampai di depan ruangan Pak Syafri, Amir memberanikkan diri mengetuk pintunya. Dibelakang pintu itu terdengar suara menyahut. "Ya.. siapa? Kata Pak Syafri dengan suara keras. "Saya Pak.. Amir Sayfudin." Jawab Amir dengan suara bergetar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun