Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waktu dan Keabadian dalam Pemahaman Manusia

8 Januari 2018   09:38 Diperbarui: 9 Januari 2018   02:39 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber (www.ignitumtoday.com)

Mengaitkan antara waktu dan keabadian sama saja halnya dengan mengaitkan salju atau es dan air dalam kehidupan sehari-hari. Air adalah substansi dari salju. Waktu adalah substansi keabadian. Tak ada es tanpa air dan tak ada keabadian tanpa waktu. 

Air akan berubah menjadi es dan salju sama halnya juga waktu akan menjelma menjadi keabadian dalam pengertiannya sendiri. Pengertian dalam pemahaman manusia bukan pengertian dalam pemahaman Tuhan. Karena nalar dan akal manusia tidak akan mampu sepenuhnya memahami pemahaman Tuhan dalam hal waktu dan keabadian ini.

Menghayati sebuah keabadian yang terdiri dari rentetan waktu, hanya bisa dilakukan jika menghadapkannya dengan ketidakabadian yang berpikir. Ketidakabadian yang menjelma sebagai manusia. Ketidakabadian yang memiliki nalar logika dan rasa hati. Karena istilah keabadian sendiri merupakan ekspresi pemahaman manusia terhadap waktu yang tak berkesudahan dalam kerangka nalar kemanusiaannya. 

Nalar yang tidak akan menjadi sempurna tanpa disertai dengan pengalaman rasa yang keluar dari dorongan hati dan penghayatan dari tindakan jasad manusia. Oleh karenanya dalam memahami keabadian yang dilakukan oleh ketidakabadian manusia, maka tiga hal ini menjadi landasan dan prinsip untuk bisa mengungkapkan dan menerima arti keabadian versi manusia. Ketiganya terdiri dari nalar, hati dan raga manusia.

Ketika nalar manusia memahami waktu dan keabadian, maka ia melakukannya dengan standar dan hukum-hukum logika pemikiran yang menjadi ciri dari sifat kemanusiaan hewan yang berakal tersebut. 

Dalam nalar manusia, waktu adalah hal yang tidak pernah berbelok apalagi berputar ke belakang. Tak ada waktu yang garisnya terbalik dari depan ke belakang. Waktu yang dipahami nalar adalah waktu yang lurus ke depan tidak pernah menengok ke belakang. Waktu yang sampai kapan pun hanya akan meninggalkan jejak sejarah tanpa melakukan pengulangan. Itulah waktu garis lurus yang merentang dari sebuah titik ke titik yang lainnya yang berada di depan mata manusia.

Hati dan rasa yang ada pada manusia, memahami dan menghayati waktu dan keabadian dengan cara sendiri. Perbedaan pemahaman ini salah satunya dikarenakan hati dan logika memiliki hukum yang berbeda dalam memersepsi dan memahami setiap gejala termasuk waktu. 

Perasaan dan hati manusia tidak memahami waktu dan keabadian sebagai garis lurus yang tidak pernah berbelok dan kembali ke masa lalu. Hati bisa memahami dan merasakan sesuatu ketika ia telah terjadi bahkan sebelum terjadi. Kesedihan masa lalu bisa dengan akurat dimunculkan kembali pada masa kini dan masa depan. 

Trauma masa lalu mungkin merupakan bukti nyata bahwa hati tidak memahami dan merasakan waktu dalam pola lurus dan membentang ke depan. Hati memahaminya dengan cara zig-zag berkelok, naik turun dan mengayun dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan atau dari atas ke bawah. Hati dan perasaan tidak terbatas pada hukum dan aturan logika dan pancaindra. Hati bebas sebebas-bebasnya tanpa ada hukum universal yang membatasinya kecuali hukum hatinya sendiri-sendiri.

Raga atau jasad manusia menjalani waktu dan keabadian berbeda pula dengan dua hal di atas. Jasad akan membenarkan bahwa keabadian itu ada. Keabadian itu menjelma dan mengalahkan keperkasaan raga manusia. Tak ada yang bisa menghindarkan diri dari keabadian yang dipahami dan dirasakan oleh raga. 

Raga manusia menyerah pada keabadian dengan cara menjalani kehancuran yang kasat mata. Kehancuran yang tidak perlu menunggu lama dan bisa disaksikan oleh setiap manusia, setiap makhluk dan terjadi setiap saat. Setiap detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun, jasad manusia bersaksi bahwa dia tidak bisa melawan keperkasaan waktu dan keabadian yang begitu nyata dapat disaksikannya.

Untungnya, ketiga hal tersebut bekerja sama dan bahu-membahu membantu makhluk yang namanya manusia untuk benar-benar membiasakan dirinya dalam keadaan menerima dan sekaligus "memberontak" menuju kesempurnaan walaupun dirantai dalam bingkai ketidakabadian. Dimulai dengan pengakuan raga, kemudian nalar dan diakhiri dengan hati, maka waktu dan keabadian bisa dirasakan, dipahami dan dihayati oleh sesosok makhluk yang namanya manusia. Lagi-lagi pemahaman dan penghayatan tersebut hanya sebatas pada sifatnya yang menjelma menjadi makhluk dan bukan Tuhan yang memiliki pemahaman sendiri tentang waktu dan keabadian.

Untuk membuktikan perbedaan pemahaman ini mudah saja. Coba kita bertanya pada siapa pun yang ada di sekitar kita. Apakah waktu menguasai manusia? Tentu jawabannya "ya". Coba tanyakan pula apakah Tuhan dikuasai waktu? Tentu saja jawabnya "tidak". Lalu apakah arti waktu dan keabadian tersebut berbeda antara yang dipahami manusia dan dipahami Tuhan. Tentu jawabnya "ya". 

Walaupun Tuhan sering dikaitkan dengan terminologi waktu seperti maha awal dan maha akhir, maha kekal dan tak terbatas waktu, tetapi "waktu" yang melekat kepada-Nya tidak mungkin dipahami oleh akal, hati apalagi oleh jasad manusia. Paling jauh pemahaman manusia terhadap hal tersebut adalah dengan mengatakan bahwa waktu manusia berbeda dengan waktu Tuhan. Bahkan mengatakan berbeda pun tidak mewakili arti perbedaan yang sesungguhnya. Berbeda seperti apa? Berbeda sejauh mana? Berbeda seekstrem apa? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa diajukan untuk menunjukkan perbedaan tersebut.

Mungkin di sinilah letak batas pemahaman dan penghayatan manusia harus berhenti dan menyerah pada Tuhan dan segala kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Bahwa betapa kecilnya manusia dalam hal ini. Bahwa betapa terbatasnya manusia walau hanya sekadar memahami waktu dan keabadian itu sendiri. Tidak ada ruang bagi manusia untuk merasa dan berbangga diri apabila kita menyadari ketidakmampuannya dalam memahami kata yang kita sebut "waktu dan keabadian". 

Manusia hanya mampu menjalani dan tunduk pada perjalanan waktu yang menyertainya setiap saat. Ia tidak mampu mengendalikannya untuk mempercepat, memperlambat atau bahkan untuk menghindarinya. Manusia hanya mampu memahami dan memersepsi kedua hal tersebut sebatas pada apa yang dia rasakan dan pikirkan serta dia jalani dari hari ke hari tanpa paham hakikatnya. Dengan kata lain, pemahaman manusia mengenai waktu dan keabadian hanya terbatas dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini. Karena hakikat waktu dan keabadian tersebut hanya mungkin dipahami dan dialami ketika manusia melepaskan diri dari ikatan dunia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun