Oleh: Mahar Prastowo
Siang itu Bekasi cerah, tapi tidak dengan isi kepala seorang perempuan muda bernama D. Ia duduk sendiri di ruang tamu rumahnya, menggenggam ponsel, lalu menekan nomor yang selama ini dikenal untuk urusan kebakaran. Bukan karena rumahnya terbakar, tapi karena hatinya sudah tak kuat lagi menahan panas dan luka yang tak kasatmata.
Yang datang bukan polisi. Tapi tim pemadam kebakaran.
Mereka datang cepat. Membawa selang dan alat pemadam, seperti biasa. Tapi hari itu, yang mereka padamkan bukan api dari rumah kayu, tapi nyala depresi dari tubuh seorang perempuan yang hampir saja mengakhiri hidupnya.
Ini kisah nyata. Terjadi di Jaka Setia, Bekasi Selatan. Siang itu, D baru saja pulang dari kantor polisi. Bukan sekali, bukan dua kali. Tapi berkali-kali. Ia melaporkan sang suami, yang katanya mencintainya, tapi juga memukulinya. Ia datang membawa bukti. Visum. Foto. Luka di badan dan luka di jiwa.
Tapi katanya, "tidak ada progres."
Saya tak mau menghakimi polisi. Saya tahu, polisi punya prosedur. Ada tahapan. Tapi saya juga tahu, perempuan yang jadi korban tak bisa menunggu prosedur sepanjang hidupnya. Luka itu nyata, dan waktu tak bisa selalu menjadi obat.
___
Saya teringat cerita seorang teman, Kapolsek yang humanis, pernah bilang: "Kadang, orang datang ke kantor polisi bukan cuma untuk keadilan, tapi untuk didengar." Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ibu D.
Ia merasa tak ada jalan keluar. Ia depresi. Ia bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Tapi ia masih punya satu keberanian terakhir: menelepon. Bukan ke keluarga. Bukan ke tetangga. Tapi ke petugas pemadam kebakaran.
Terdengar nyeleneh? Mungkin. Tapi ini Indonesia. Negara dengan banyak keajaiban. Kadang, keadilan datang dari pintu yang tak kita sangka.