Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya adalah 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023), 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ketika Sang Musisi Membakar Lumbungnya Sendiri

13 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 24 Agustus 2025   09:46 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membakar Lumbung Sendiri (Sumber: Koleksi Edy Suhardono)

Pada tahun 2011, merek pakaian Patagonia mengambil sebuah langkah yang melawan logika bisnis. Melalui iklan satu halaman di The New York Times, mereka secara provokatif meminta publik untuk tidak membeli jaket terlarisnya. Iklan itu justru merinci dampak lingkungan dari proses produksi dan mengajak masyarakat mengurangi konsumsi.

Namun, langkah yang terlihat seperti menyerang produk sendiri ini justru berhasil mengukuhkan kelompok pelanggan setia mereka. Patagonia membangun citra sebagai merek yang memprioritaskan planet di atas keuntungan, sebuah protes radikal terhadap budaya "fesyen cepat". Loyalitas dan reputasi yang didapat dari aksi ini terbukti jauh lebih berharga daripada hasil penjualan jaket mana pun.

Logika di balik strategi "sabotase terkontrol" ini juga terlihat pada apa yang dilakukan oleh Ari Lasso. Ketika ia mengkritik WAMI dan menggratiskan lagunya dengan alasan "percuma bayar royalti kalau...", tindakannya lebih dari sekadar kedermawanan.

Ia diibaratkan sedang berjalan dengan obor menuju lumbung padinya sendiri. Bagi orang biasa, tindakan seorang petani membakar lumbungnya adalah sebuah tragedi. Namun, bagi petani yang cerdas, itu adalah sebuah sinyal darurat pamungkas. Aksi tersebut merupakan deklarasi bahwa lumbungnya telah dikuasai hama, sementara para penjaga yang seharusnya melindungi justru terlelap atau ikut serta dalam masalah.

Dengan demikian, tindakan Ari Lasso bukanlah sebuah taktik bisnis, melainkan aksi protes. Ini adalah sebuah pembakaran terkalkulasi yang dirancang untuk membuat semua pihak menoleh dan menyadari adanya kebusukan dalam sistem.

Protes Radikal Melawan Industri

Aksi ini dapat dilihat sebagai "Protes ala Patagonia" dalam konteks musik Indonesia. Dengan menyatakan "jangan bayar royalti saya (melalui WAMI)," Ari Lasso menyampaikan pesan yang lebih dalam untuk tidak mendukung sistem yang gagal dan tidak transparan.

Ia merelakan potensi pendapatannya, yang ia yakini tidak pernah sampai, demi tujuan lebih besar untuk membongkar kegagalan etis dalam manajemen hak seniman. Serupa dengan perlawanan Patagonia terhadap konsumerisme, Ari Lasso melawan budaya birokrasi yang lamban dan tidak akuntabel.

Ia menyadari bahwa kemenangan dalam pertarungan ini bukanlah keuntungan finansial, melainkan terungkapnya kebenaran kepada publik. Ia rela kehilangan hasil panennya demi menyelamatkan keseluruhan ladang untuk masa depan.

Kekuatan Menyebut Nama Tertuduh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun