Saya hanya menerima notifikasi: tulisan Anda ditinjau ulang.
Dan saya tahu, di balik notifikasi itu, ada ketakutan yang lebih besar dari sekadar kalimat.
Ketakutan pada nama: Try Sutrisno.
Ketakutan pada kata: TNI.
Karena ketika warga negara mulai bertanya, “Kenapa anak Try dicopot setelah Try bersuara?”—
Jawabannya bukan argumentasi. Tapi pembredelan.
Saya jadi ingat Kompas yang dulu.
Ketika Jakob Oetama bilang, “Kami tidak menulis semuanya. Tapi yang kami tulis, kami pertanggungjawabkan.”
Itu zaman ketika sensor datang dari luar. Dari penguasa. Dari intel. Dari menteri penerangan.
Sekarang, sensor datang dari dalam.
Dari algoritma. Dari admin. Dari kebijakan “community standard” yang tidak pernah bisa didebat.
Dan itu lebih sunyi.
Karena ketika penguasa zaman Orba membredel, setidaknya kita tahu siapa yang harus dilawan.
Sekarang?
Yang membungkam tidak bernama.
Yang menyensor tidak bertanda tangan.
Yang mencabut tulisan, hanya muncul sebagai... notifikasi sistem.
Saya tidak ingin menyalahkan Kompasiana sepenuhnya.
Saya tahu tekanan itu ada. Saya tahu TNI sedang sensitif.
Saya tahu, ada barikade yang tak terlihat setiap kali kita menulis tentang militer dan politik.
Tapi justru karena itulah Kompasiana didirikan.
Untuk jadi tempat di mana rakyat bisa bersuara ketika media arus utama tidak bisa.
Hari ini, suara itu dipadamkan.
Dan kita semua pura-pura tidak tahu.