Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pembacaan Afektif-Hermeneutik Cerpen Kereta Termanis Karya Novia Respati

20 April 2025   20:08 Diperbarui: 21 April 2025   03:56 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menampilkan sepasang kekasih dalam perjalanan kereta, menciptakan suasana intim dan romantis (Sumber: OpenAI)

Pembacaan Afektif-Hermeneutik Cerpen Kereta Termanis
Oleh: M. Sanantara

*Catatan: Kritik ini ditulis sebagai respon atas cerpen Kereta Termanis Karya Novia Respati yang dapat dibaca di sini

Tulisan ini merupakan sebuah pembacaan afektif-kritis terhadap cerpen Kereta Termanis yang secara struktur naratif memperlihatkan alur maju-mundur (prolepsis dan analepsis), dengan nuansa psikologis dan simbolik yang kental. Kritik ini memakai pendekatan resepsi sastra dan hermeneutik afektif, dengan mempertimbangkan respons emosional pembaca sebagai bagian dari konstruksi makna karya. 

Dalam ranah teori sastra kontemporer, seperti yang dikemukakan oleh Massumi (2002) bahwa afek dan emosi adalah bukan sekadar respons terhadap rangsangan, tetapi juga sebuah proses yang menggerakkan tubuh dalam hubungan dengan dunia, serta oleh Ricoeur (1992) yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan upaya untuk memahami teks dengan menembus lapisan-lapisan maknanya yang terpendam.

*

SEJAK MULANYA paragraf pembuka, diksi "tidur" terasa menyengat saya dan mungkin hanya saya yang tahu sebesar apa tegangan arusnya melebihi 999.999.999A jika boleh mengandaikan permohonan secara terang-terangan ini diterima oleh cerpenis. Tidur adalah proses yang memulihkan secara total energi biokimiawi tubuh, tetapi irama sirkadian yang berlaku bagi masing-masing individu tetap akan berujung pada kembalinya kita ke dunia sadar. Dalam konteks simbolik, tidur dapat dibaca sebagai representasi ambiguitas antara kenyataan dan mimpi, atau lebih luas lagi sebagai metafora eksistensial. Dalam wacana semiotik-literer, "tidur" juga dapat dipahami sebagai simbol liminalitas---ruang antara kesadaran dan ketidaksadaran.

Apa yang sebenarnya diinginkan cerpenis: kehangatan yang seharusnya makin melelapkan tidur tapi malah mendatangkan rasa tidak nyaman?

Penggambaran aktivitas di dalam perjalanan kereta sangat utuh ditangkap oleh indera penglihatan pembaca. Terlebih perasaan kelekatan atas cinta si 'wanita' terhadap kekasihnya, jujur membuat pembaca mengernyitkan dahi, sambil berbisik dalam hati, "cemburu ah!" Uraian kalimat demi kalimat kian puitis; kepuitisan yang hiperbolik seperti ungkapan "Tapi aku tidak tahan untuk tidak menyentuh wajah itu" didukung oleh justifikasi naratif yang membingkai ketiduran bersama sebagai ruang kenyamanan. Ketiduran bersama di sini bukan berarti ketidakmampuan menikmati lanskap luar, tapi justru menunjukkan bahwa kenyamanan di antara mereka telah lebur, mengikis segala prasangka kesemestian. Ini adalah metafora dari pembauran identitas afektif yang menyatu dalam peristiwa keseharian.

Cerpenis memulai cerita dengan alur progresif (prolepsis), lalu perlahan bergeser ke kilas balik (analepsis), sebagaimana tampak dalam ungkapan "Sampai akhirnya lamunan membawaku pada kenangan lima tahun yang lalu." Unsur romantis menjalar ke ruang kelembapan afeksi pembaca, di mana pertemuan lima tahun lalu berulang kembali dalam medium yang sama: kereta, waktu, dan orang yang identik. Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa perjuangan dalam cerita ini tidak dimaknai sebagai aksi heroik, melainkan sebagai penebalan nuansa kasih yang sunyi tapi dalam. Cerpenis mengakui ini adalah "kereta termanis sepanjang hidup", frasa yang berfungsi sebagai penanda emosi puncak dalam struktur naratif.

Kebahagiaan adalah siklus perasaan paling awal yang pernah ada. Dalam konteks teori afek, kebahagiaan di sini berfungsi sebagai emosi primer yang kemudian berkembang dalam bentuk syukur dan ketakutan kehilangan. Siapa yang tidak ingin berlama-lama dalam kebahagiaan? Bahkan ingin membeku saja. Uniknya dalam cerpen ini, rasa syukur si 'wanita' dibenturkan dengan kesadaran yang menggerogoti realitas, seperti dalam ungkapan: "Kuhela nafas, dan meyakinkan diri sepenuhnya bahwa ini bukanlah mimpi." Keyakinan dalam keyakinan diberi jawaban berupa genggaman tangan Angga. Ini bisa dibaca sebagai simbol dari pertautan antara kenyataan dan harapan---dua dimensi psikopoetik yang saling menguatkan.

Siapa yang tidak menahan tawa ketika membaca bagian dialog antara si 'wanita' dan Angga? Meleleh sudah sistem saraf pusat, hipotalamus bergetar lirih. Dialog tersebut mengandung kedalaman mengenal satu sama lain. Cerpenis memiliki jam terbang tinggi dalam mengolah temali suasana dan intensitas emosional pasangan yang berada dalam ruang keintiman naratif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun