Satu hal yang sering terlupakan adalah masyarakat sekitar hutan juga butuh hidup. Mereka menanam, berkebun, mencari nafkah, dan sering kali bertemu langsung dengan gajah. Kalau tidak ada manfaat nyata dari konservasi, wajar saja kalau ada rasa kesal atau bahkan marah.
Di sinilah ekowisata berbasis masyarakat bisa jadi solusi. Bayangkan desa di tepi hutan yang mengelola wisata trekking, pengamatan satwa, atau homestay. Wisatawan datang, masyarakat dapat penghasilan, dan hutan tetap terjaga.
Contohnya, di Lampung ada program wisata berbasis gajah di sekitar TNBBS. Pengunjung bisa ikut patroli hutan, belajar tentang gajah, bahkan menanam pohon. Uang yang masuk bukan hanya ke pihak pengelola taman nasional, tapi juga ke kantong warga.
Pendidikan dan Kampanye untuk Mengubah Cara Pandang
Tantangan terbesar mungkin bukan di lapangan, tapi di kepala kita. Selama gajah masih dianggap “hama," konflik akan terus berulang. Padahal, mereka bukan hama. Mereka hanya mencari makan di ruang yang dulu memang rumah mereka.
Itulah pentingnya pendidikan dan kampanye. Anak-anak di desa sekitar hutan perlu diajak mengenal gajah bukan dengan rasa takut, tapi dengan rasa bangga. Mereka perlu tahu bahwa gajah adalah “penjaga hutan,” makhluk yang membantu alam tetap seimbang.
Kampanye juga penting di level global. Media sosial, misalnya, bisa jadi senjata ampuh. Bayangkan kalau tiap orang mau membagikan satu cerita positif tentang gajah, maka jutaan orang bisa teredukasi. Sekecil apa pun, narasi ini bisa menggeser pandangan publik.
Sekarang kamu mungkin bertanya, “Lalu aku bisa bantu apa? Aku kan bukan peneliti, bukan juga petugas lapangan.” Tenang, kontribusi tidak harus besar. Ada banyak cara sederhana yang bisa dilakukan. Setidaknya inilah yang saya lakukan.
- Mendukung produk ramah lingkungan. Pilih minyak sawit berkelanjutan, kurangi penggunaan kertas sekali pakai, dan cari label yang peduli pada hutan.
- Menyuarakan isu satwa liar di media sosial. Satu postingan bisa menyadarkan orang lain.
- Donasi untuk program konservasi satwa terancam punah. Selain gajah, ada harimau Sumatra, orangutan, badak, dan lainnya.
- Ikut kampanye atau kegiatan penanaman pohon untuk perbaikan habitat satwa. Aksi nyata sekecil apa pun tetap berarti.
- Tidak acuh. Kadang, sikap cuek justru yang mempercepat kepunahan. Dengan peduli, kita sedang menambah satu titik harapan.
Pengalaman saya bertemu gajah jantan soliter di TNBBS dulu hanyalah satu fragmen kecil. Tapi dari sana saya belajar, betapa dekatnya jarak antara “kita” dan “mereka.” Kadang hanya satu jalur setapak di hutan, kadang hanya satu pagar kawat di kebun.
Wildlife in crisis adalah kenyataan pahit, tapi coexistence bukan utopia. Itu bisa kita wujudkan kalau manusia mau menahan ego, memberi ruang, dan mengakui bahwa hutan bukan hanya milik kita.
Yakinlah, ketika gajah masih bisa berjalan bebas di hutan, itu tandanya hutan masih hidup. Dan selama hutan hidup, kita pun masih punya masa depan.
Referensi:
https://kehutanan.go.id/news/article-66