Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Saat Hutan Menyempit, Kemana Gajah Sumatra Harus Pulang?

2 September 2025   18:59 Diperbarui: 10 September 2025   15:56 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gajah Sumatra yang kian terancam punah (Foto: Freepik)

Krisis lain yang jarang kita dengar adalah soal populasi yang makin terisolasi. Gajah Sumatra kini hanya hidup di kantong-kantong kecil, terpisah satu sama lain. Akibatnya, mereka kesulitan bertemu kawanan lain untuk kawin. 

Hal ini berbahaya, karena bisa menyebabkan perkawinan sedarah yang melemahkan genetik mereka. Lama-lama, populasi bisa rapuh dan rentan penyakit.

Bisakah Kita Hidup Berdampingan dengan Gajah?

Pertanyaan ini sering muncul di kepala banyak orang, apakah manusia dan gajah benar-benar bisa hidup berdampingan? Jawabannya adalah BISA. Tapi tentu perlu usaha, kebijakan yang berpihak, teknologi yang tepat, dan yang terpenting adalah kesadaran bersama bahwa bumi ini bukan hanya milik manusia.

Gajah Sumatra bukan sekadar hewan besar yang menghabiskan 150 kilogram makanan per hari. Mereka adalah bagian dari rantai kehidupan. Beberapa hal sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk menjaga populasi gajah yang tersisa.

1. Patroli Gajah

Salah satu contoh coexistence yang cukup sukses adalah program Flying Squad. Program ini ada di beberapa titik, termasuk di TNBBS dan Tesso Nilo, Riau. Konsepnya sederhana tapi jenius, yaitu menggunakan gajah jinak yang dipandu mahout (pawang gajah) untuk menggiring gajah liar kembali ke hutan ketika mereka keluar ke kebun atau desa.

Gajah jinak menjadi “duta damai” yang menghadang saudara liarnya. Dengan cara ini, konflik bisa diminimalisir tanpa harus ada korban. Data WWF menunjukkan, sejak adanya Flying Squad, jumlah kasus gajah liar yang masuk desa sekitar taman nasional bisa ditekan signifikan di beberapa wilayah.

Selain itu, program ini membuka peluang kerja bagi masyarakat lokal. Mahout biasanya berasal dari penduduk desa sekitar hutan. Mereka tidak hanya mengendalikan gajah, tapi juga menjadi jembatan antara program konservasi dengan warga. Jadi, manfaatnya ganda, satwa selamat, manusia pun merasa aman.

2. Koridor Satwa

Masalah terbesar gajah saat ini adalah habitat yang terfragmentasi. Gajah butuh wilayah jelajah sangat luas, setidaknya 170 km² per kawanan per hari. Tapi apa yang terjadi sekarang? Hutan mereka terpotong-potong oleh perkebunan, jalan raya, bahkan permukiman. Akibatnya, gajah sering “nyasar” ke kebun.

Solusinya adalah membangun koridor satwa, jalur hijau yang menghubungkan satu habitat dengan habitat lain. Ibaratnya, ini jalan tol khusus gajah. Contohnya bisa kita lihat di koridor Seblat, Bengkulu, yang menghubungkan hutan produksi dengan kawasan konservasi.

Penelitian menunjukkan, koridor semacam ini efektif menurunkan intensitas konflik, karena gajah punya jalur alami untuk berpindah. Namun, membangun koridor bukan perkara gampang. 

Perlu pembebasan lahan, kerja sama dengan perusahaan perkebunan, dan dukungan masyarakat. Tapi tanpa koridor, kita hanya menciptakan “penjara hijau” yang pada akhirnya membuat gajah semakin terpojok.

3. Ekowisata Berbasis Masyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun