Ucapan Sahroni hanyalah satu titik api dari bara ketidakpercayaan publik terhadap DPR. Lembaga ini berkali-kali masuk daftar terendah dalam survei kepercayaan publik. Transparency International, misalnya, sering menyoroti DPR sebagai lembaga yang rawan konflik kepentingan.
Mengapa? Karena rakyat melihat jurang besar antara kehidupan wakil rakyat dan kehidupan yang diwakilinya. Rakyat antre BLT Rp300 ribu, sementara di sisi lain, wakil rakyat bisa gonta-ganti Ferrari.
Ketika ada yang bilang "bubarkan DPR," itu bukan semata caci maki, tapi ekspresi frustrasi. Ekspresi bahwa DPR dianggap tidak lagi relevan dengan penderitaan rakyat. Apakah pantas menyebut mereka "tolol"? Atau justru para elit yang gagal mendengar aspirasi rakyat?
Kontras dengan Realitas Rakyat
Ahmad Sahroni ini bukan politisi biasa. Sejauh yang saya amati, dia juga piawai memanfaatkan media sosial. Koleksi mobil klasik, motor besar, hingga jam tangan mahal kerap ia pamerkan di sana. Strategi branding ini membuatnya populer, tapi sekaligus kontroversial.
Di era digital, publik lebih mudah menilai. Pamer kemewahan di saat rakyat banyak yang menjerit bisa dianggap tak etis. Apalagi ketika sang pemilik kekayaan adalah pejabat publik.
Memang betul, wakil rakyat adalah juga manusia yang berhak kaya. Tapi di saat bersamaan, mereka punya kewajiban moral untuk menjaga empati. Pamer kekayaan tanpa sensitivitas sosial akan dianggap menampar rakyat.
Coba kita bandingkan:
- Gaji driver ojol rata-rata Rp3-4 juta per bulan, dengan risiko kecelakaan di jalan.
- Petani padi sering hanya dapat Rp1-2 juta per bulan setelah panen, tergantung harga gabah.
- Buruh pabrik banyak yang masih menerima UMR sekitar Rp4-5 juta di Jabodetabek.
Lalu, ada anggota DPR dengan harta ratusan miliar, yang masih menerima tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Bagi rakyat kecil, angka ini bukan hanya besar, tapi benar-benar TAK MASUK AKAL. Jadi, selama ini untuk siapa DPR bekerja?"
Respons publik pun beragam, mulai dari serius hingga sarkastis. Meme-meme bertebaran. Ada yang membandingkan Ferrari dengan motor butut. Ada yang menulis "tolol itu kami yang milih kamu."
Dalam demokrasi, kritik adalah vitamin. Tanpa kritik, kekuasaan bisa membusuk. Tapi ketika kritik dibalas dengan hinaan, justru menunjukkan alergi terhadap demokrasi itu sendiri.
Meminta DPR dibubarkan memang bukan solusi. DPR tetap dibutuhkan sebagai representasi rakyat. Tapi seruan itu adalah tanda bahaya atau alarm keras bahwa rakyat merasa tidak lagi diwakili.