Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negarawan dari Dapur Parpol atau Ponpes?

22 Oktober 2018   18:51 Diperbarui: 22 Oktober 2018   19:11 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Problematika yang makin hari makin kusut, hingga kita menjadi bingung dan limbung bagaimana cara mengurainya, ketika mentalitas itu menjadi sistem berfikir baku yang memaknai politik sebagai aktivitas berebut kekuasaan. Masyarakat mungkin trauma, dan pada memaknai kata politik, yang kini identik dengan kebohongan. Ide tentang politik sebagai etika untuk mengonsolidasikan gagasan dan mendistribusikan keadilan makin jarang beredar. Rakyat memilih menjauhi politik, atas dasar mengobati diri dari penyakit traumatik. Dan para elit birokratik tetap menjadi seorang autis, memainkan peran dan mainan politik dengan tatacara etika semau sendiri. Sepertinya sudah saatnya kita berhenti menghujat kegelapan dan berupaya untuk menyalakan lilin. Seorang akademis atau cendikiawan hendaknya berhenti menyuplai ide yang bermuatan kritik sarkasme yang tak membangun tentang politik dan silang-sengkarut yang mengular dibelakangnya. Dan mulai nyalakan lilin gagasan, dengan berfikir ulang, secara radikal bahkan, kalau perlu dengan itikad membongkar (dekonstruktif) pemahaman politik dan implementasi praksisnya dimasyarakat.

Sepertinya kita butuh, entitas lain yang fungsinya mirip Parpol, tapi bukan Partai Politik itu sendiri. Sebuah entitas yang muncul dari akar rumput dimana masyarakat tumbuh, membawa nilai-nilai murni dari kondisi psikososiologis masyarakat itu berada dan mampu mengonsolidasikan kepentingan bersama, mendistribusikan keadilan sekaligus menciptakan fungsionalisme struktural, tentu tanpa unsur politik kekuasaan didalamnya. Yakni pesantren, kyai dan santri.

Apa dasar berfikirnya? Bagaimana entitas baru semacam itu mampu disandingkan secara metodologi dan subtantif dengan fungsi Parpol an sich. Merujuk kembali pada apa yang telah kita sintesiskan diawal, kita coba melacak secara deduktif, apa kiranya dasar berfikir dari adanya Parpol, untuk masuk ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat. Carl Fresrich akan dengan lugas menandaskan, Parpol adalah sekelompok orang yang terorganisir dan terstruktur untuk memperebut dan mempertahankan kekuasaan, tentu dengan suatu hasrat materiil dan idiil bagi para anggotanya, entah berupa tercapainya tujuan ideologi, kesepakatan, atau perjuangan bersama. Landasan teoritik, munculnya Parpol secara teoritik, menurut Ramlan Surbakti (1993) dapat didasarkan pada; 

1) Teori kelembagaan, yang mana adanya kebutuhan dari masyarakat untuk menjalin komunikasi dengan Parlemen, maka Parpol dibuat untuk menjembatani itu. Pemahaman atas adanya Parpol berdasarkan Teori Kelembagaan, memberikan penjelasan bahwa Parpol menjadi sarana penting untuk membawa kepentingan rakyat untuk dipercakapkan di dalam meja Parlemen, dengan harapan menjadi suatu bentuk kebijakan yang positif bagi rakyat. Tentu partisipasi rakyat, dengan adanya Parpol menjadi kunci mendasar bergeraknya demokrasi.

2) Teori Situasi Historis, yang mana Parpol menjadi sistem yang mengatasi krisis, yang muncul atas inisiasi masyarakat. Artinya Parpol dibuat atas dasar, urgensi masalah yang dialami rakyat dan masalah tersebut berkenaan dengan pembuatan kebijakan di Parlemen.

3) Teori Pembangunan, adanya Parpol menjadi produk dari upaya modernisasi ekonomi. Artinya Parpol ada, akibat anomali yang terjadi pada masyarakat (Surbakti, 1993 dalam Nur Syam, 2010).


Pandangan demikian, menggarisbawahi bahwa Parpol menjadi entitas penting dan mendasar dari terselenggaranya proses politik, proses demokrasi di Negara Indonesia. Namun, beberapa konklusi diawal bahwa Parpol hanya berfikir untuk menjadikan kekuasaan sebagai komoditas, dan rakyat belakangan hanya menjadi partisipatif pasif yang dibutuhkan pada momentum-momentum temporal, misalnya dalam Pemilu, kampanye dan statistik Pemilu yang politis. Belum lagi problem etika politik para elit pejabat publik yang amoral perilakunya, sepertinya tak salah masyarakat kini menjadi apatis dan teralienasi. Apa yang dimaksud dengan "butuh entitas baru" adalah upaya untuk mencari entitas yang mampu berfungsi layaknya Parpol, bukan dalam partisipasi politik dan prevailage-nya untuk bertatapan langsung dengan Parlemen, tapi yang lebih mendasar yakni perjuangan mencapai kemaslahatan bersama, dengan cara pengembangan pendidikan masyarakat dan pemberdayaan berbagai macam sektor kehidupan masyarakat, yang tak mampu diemban oleh Parpol. Upaya macam ini hanya dapat dilakukan oleh entitas yang bernama pesantren.

Bukankah pesantren merupakan sarana pendidikan ajaran Agama Islam semata? Bagaimana mungkin bisa berfungsi sebagaimana Parpol lakukan? Konsepsi mengganti Parpol dengan pesantren, bukan terletak pada fungsinya sebagai partisipasi langsung yang memiliki prevailage untuk bertatap muka dengan Parlemen, namun lebih mendasar dari pada sebatas itu; yang rentan pada politik kekuasaan dan menyisahkan alienasi politik pada masyarakat. Yakni fungsi substansi sebagai entitas yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat, mengurai masalah dan memberikan pendidikan bagi masyarakat. Pesantren sebagai pengejawantah sistem pendidikan Agama Islam, mampu menopang pembangunan nasional, dalam berbagai macam bidang agama, pendidikan formal atau non-formal. Pesantren menjadi entitas berpengaruh mengganti fungsi Parpol yang tak mampu terakomodir, selain sebagai entitas penerjemah dan penyebar ajaran Islam universal yang berwatak pluralis. Pesantren juga bertindak sebagai pembawa perubahan transformatif dalam kehidupan masyarakat, termasuk hadir sebagai pengurai masalah (Mardliyah, 2011). Bukan menjadi sumber masalah, sebagaimana adanya Parpol.

Secara garis besar pesantren memiliki potensi mendukung pembangunan dalam hal agama, sosial kemasyarakatan termasuk akhlak atau perilaku generasi bangsa (Steenbrink, 1986:44 dalam Mardliyah, 2011). Tentu memahami pesantren, hendaknya kita menghindari mitos-mitos gaya Arkadian yang memandang aneh keberadaan orang desa, dengan menganggap pesantren sebagai lembaga sosial yang Rural, Pastoral, dan Idelik (Mardliyah, 2011). Pesantren tidak demikian. Pesantren bukanlah suatu gejala subkultur unik yang terjadi diluar dan terpisah dari dunia (Wahid, 1987 dalam Mardliyah, 2011). Justru pesantren memiliki karakter sendiri dalam memfasilitasi upaya mencapai tujuan kebaikan bersama di tengah-tengah masyarakat dimana pesantren itu berdiri dan pesantren juga terbuka dengan pengaruh diluar institusinya (Raharjo, 1985 dalam Mardliyah, 2011).

Dilihat dari posisinya di dalam struktur kemsyarakatan, pesantren mendapati posisi strategis dan cukup berperan melancarkan pembangunan secara fisik, pemberdayaan ekonomi, pengamat gejala psikososiologis-budaya masyarakat, termasuk kesehatan masyarakat (Nugroho, 2005:102 dalam Muhid, 2011). Pesantren juga mampu menjadi lembaga pencetak sumber daya manusia (human resource) dan lembaga yang mampu memberdayakan masyarakat (agent of development) (Faozan, 2006:88 dalam Muhid, 2011). Dalam arti lain, justru ketika disandingkan antara Parpol, pesantren merupakan agen pembantu paling penting dan tepat sasaran bagi pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan menyebarluaskan inovasi pembangunan masyarakat (Saifuddin, 1998:90 dalam Muhid, 2011).

Jika pesantren menjadi dasar pembangunan bagi masyarakat, setelah lembaga-lembaga birokratis atau politik tak mampu secara komprehensif menuntaskan kewajiban itu. Bagaimana strategi konkret untuk mengimplementasi suksesi pembangunan. Dalam penelitian yang dilakukan Abdul Muhid (2011), pesantren menjadi sentral baru yang strategi memberi suntikan progresivitas pembangunan, salah satunya dalam hal pemberdayaan sektor ekonomi masyarakat yang dimulai dari dalam pesantren. Dasar argumen ini, Muhid menggunakan beberapa teori pembangunan untuk mencari pemaknaan yang presisi tentang gejala pesantren menjadi entitas yang mampu memberdayakan masyarakat, diantaranya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun