Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negarawan dari Dapur Parpol atau Ponpes?

22 Oktober 2018   18:51 Diperbarui: 22 Oktober 2018   19:11 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selayang pandang dinamika politik yang dilakukan oleh para kyai-santri dari awal kemerdekaan hingga beberapa tahun terakhir. Dapat kita lihat pada satu pesan konkret tentang pesan politik para kyai dan santri. Yakni keberanian diri dalam berkontribusi penuh untuk perbaikan bangsa dan kesejahteraan masyarakat, kendati harus menjadi entitas yang dibuang sebagai oposisi. Kekuasaan menjadi basis tegaknya politik, melaluinya distribusi kebijaksanaan dan keadilan bisa tersalurkan secara merata pada publik. Namun kekuasan cenderung mengubah politik itu sendiri untuk menjadi diam ditempat, bukan sebagai "kekuasaan  untuk" tapi "untuk kekuasaan". Lalu bagaimana peran kyai, santri dan pesantren untuk mengubah implikasi negatif politik kekuasaan menjadi politik kebangsaan?

Tentunya kita harus kembali membaca kiranya, apa pesan dari para alim ulama, kyai dan sesepuh jauh dibelakang sejarah bangsa Indonesia. Pemikiran KH. Muchith Muzadi cukup menarik untuk mengubah pandangan melenceng dari politik yang tak lagi mengindahkan orientasi kemaslahatan bersma. Yakni, politik kebangsaan meneguhkan diri kita sebagai entitas kewarganegaraan untuk berkomitmen aktif dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Pandangan ini dimaksudkan bahwa elemen kemasyarakatan memiliki andil penting dalam upaya menjaga negara dari ancaman yang bersifat nasional maupun transnasional, dalam dimensi fisik maupun ideologi. Tentu pandangan ini hendak juga menyasar gejala kekinian bagaimana idoelogi Islam transnasional yang mulai kembali lagi menunjukkan gaungnya untuk memberi antitesis keislaman gaya nusantara atau Islam yang berbasis Ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyin, diganti Islam gaya arab. Kemudian, atas dasar kemajemukan suku agama dan ras masyarakat Indonesia, melaui politik kebangsaan diharap masyarakat Indonesia tidak berupaya untuk mencari perbedaan atas identitas-identitas tentu yang beragam dari masyarakat. Dengan semangat pluralisme, upaya untuk mencari kesamaan adalah cara pandang yang lebih menguntungkan ketimbang berupaya mencari pembeda-pembeda yang ada. Selanjutnya cara berfikir masyarakat dalam upaya mewujudkan politik kebangsaan, hendaknya bertumpu pada suatu kontruk teoritis Politik Simbolis Mutualis. Konstruk teori itu akan berimplikasi pada pemaknaan mendasar tentang apakah penting untuk menetapkan bentuk suatu negara dan ideologi yang mendasarinya. Melaui cara pandang demikian, posisi Islam akan ditempatkan sebagai sistem nilai yang baku dan tidak tergantikan dalam mewarnai gerak hidup masyarakat Indonesia (Muzadi, 2006 dalam Rofi'I, 2014).  

Metode berfikir KH. Muchith Muzadi yang berorientasi fiqh siyasah, artinya menjadikan nilai-nilai agama sebagai nuansa negara dan cara pandang masyarakat didalamnya. Beberapa hak-hak umum warga negara berdasarkan fiqh siyasah tersebut, meliputi; 1) Hak Persamaan (al-musawat). 2) Hak Kebebasan (al-hurriyat). 3) Hak kebebasan individu (al-hurriyat al-syakhsiyyat). 4) Kebebasan berkeyakinan. 5) Kebebasan tempat tinggal. 6) Hak mendapat pengajaran. 7) Hak untuk mendapat tanggungan dari negara (Al-kafalat) (Djazuli, 2003:98-100 dalam Rofi'I, 2014).

Jika ditilik secara historis, darimana dasar epistemologi dari cara berfikir KH. Muchith Muzadi merumuskan konsep tersebut? Sebenarnya terletak pada pemaknaan mendalam dari fiqh politik NU. Fiqh politik tersebut lebih kepada aturan sekaligus pemaknaan atas aktivitas politik kyai yang tak lepas dari kultur, nalar syariah dan sufistik kyai. Artinya, fiqh politik NU adalah konsepsi dasar tentang perilaku politik kyai yang terjadi di tengah masyarakat. Dahulu di era orde lama, fiqh politik NU berbentuk; Resolusi Jihad menjadi gerakan politik untuk menentang, melawan dan memberontak dari penjajahan. Kemudian, mendesak pemerintah ketika itu untuk membubarkan PKI. Dan penerimaan asas Pancasila sebagai dasar pijakan bersama warga negara Indonesia (Ismail, 1999:17 dalam Warid, 2009).

Teori politik kebangsaan NU, yang selama ini menjadi dasar pijakan warga NU yang bergerak dalam wilayah politik, agama, budaya, sosial kemasyarakatan, meliputi; 1) Penetapan sikap dan cara pandang nasionalisme dan patriotisme sebagai rujukan bagi warga NU, untuk senantiasa ingat kembali pada gerakan politik kebangsaan, dan sebisa mungkin untuk terhindar dari jebakan-jebakan politik praksis yang oportunis menggapai kekuasaan semata. 2) Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 yang lazim disimplisitkan menjadi PBNU, adalah ruh, jiwa atau entitas murni yang patut dijaga dirawat, bahkan dengan pertumpahan darah jika dimungkinkan. 3) Ahlusunnanwaljamaah an-nahdliyin (Aswaja) secara cara pandang, cara bersikap dan cara berperilaku secara sosiologis dan keagamaan bagi kalangan warga NU (Rofi'i, 2014).

Pesantren, Kyai and Santri The New Kind Institutional of Civil Soceity in Indonesian Politic


Civil society kita butuh itu. Bukan lagi ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau banom Parpol yang gemar membawa proposal ke dinas-dinas pemerintah dimana induk semang organisasinya tengah menguasai sektor birokrat tersebut. Tapi pesantren, kyai dan santri yang memobilisasi jalannya demokrasi melalui politik gagasan atau politik praksis. Civil society merupakan wilayah yang menjamin murninya perilaku dan refleksi kritis mandiri, yang tidak terkungkung oleh ketetapan konstitusional yang dibuat oleh lembaga-lembaga politik. Kemandirian kelompok atau individu civil society saat berhadapan dengan negara, memudahkan terciptanya ruang-ruang publik terlibat dalam diskusi wacana atau isu tentang kebijakan publik yang dibuat oleh masyarakat (Hasyim, 2009).

Tujuannya adalah melakukan upaya backup atau perlindungan dari negara jika sewaktu-waktu negara secara ankonstitusional sewenang-wenang menciptakan kebijakan tanpa dasar moral atau etika publik. Kemudian civil society bertindak menjadi kekuatan moral penyeimbang negara. Yang artinya civil society memiliki kekuatan dan modal intelektual untuk menyeimbangkan kekuatan negara yang bermodalkan senjata, undang-undang dan statistik survei. Tentunya dengan segala bentuk persiapan itu, civil society tidak dalam rangka untuk mencapai kekuasaan itu sendiri. Artinya civil society tidak berkepentingan untuk mendulang jumlah suara pemilih momentum pemilu atau mencari celah agar masuk dikonstituen parlemen, namun civil society dikatakan hanya bertugas ketika problematika yang diadvokasikan telah terwujud terurai atau terselesaikan dengan baik. Kesemuanya itu menandakan bahwa adanya civil society, tubuh demokrasi kita yang ringkih dan rentan penyakit kolusi, korupsi dan nepotisme sembuh dan membaik. Lantas siapa mereka yang berpotensi menjadi entitas mulia bernama civil society? Yakni mereka yang disebut santri dan mereka yang disebut akademis perguruan tinggi (Hasyim, 2009).

Para santri dan akademis perguruan tinggi, bertindak sebagai pengawas pelaksanaan program pemerintah, entah dalam bentuk kontrol sosial, rekayasa sosial yang sebelumnya didahului analisis sosial. Hal itu disadari dengan itikad agar tercapainya good governonce dan civil society. Dasar fikiran good governance itu, ketika implentasi nilai keislaman dan demokrasi Indonesia bersinergi kedalam bentuk baku hukum, maka diharap yang tercipta adalah; 1) Perlindungan konstitusional atas hak individu. 2) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak. 3) Pemilihan umum yang bebas. 4) Kebebasan berpendapat. 5) Kebebasan untuk berserikat, berorganisasi dan beroposisi. 5) Pendidikan kewarganegaraan (Hasyim, 2009).

Problem lama, Politisasi Agama oleh Elit Politik dan Ulama

Berangkat dari tipologi kyai politik yang didalamnya jenis kyai yang terjerat kasus hukum, menandai implikasi negatif keterlibatan kyai pesantren dan politik. Politik menjadi bernilai positif bagi para kyai atau entitas pesantren ketika politik diijtihadkan sebagai sarana penting untuk menjadi bangsa yang adil, aman dan sejahtera (baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur). Dengan cara mengangkat orang terpercaya untuk dijadikan pemimpin dalam arti negara sekuler, bukan pemimpin agama.  Politik juga dapat diartikan sebagai investasi jasa amal soleh kaum santri (ahli ilm wal khoir). Oleh karenanya pesantren yang disebut diawal menjadi entitas baru yang lebih bermanfaat dalam politik daripada partai politik. Namun politik bisa bernilai negatif, ketika tidak ada pembeda secara filosofis antara politik dan agama. Akhirnya yang terjadi adalah politisasi agama, entah dilakukan oleh kyai pesantren terhadap politik atau elit politik terhadap kyai pesantren. Politik adalah perkara duniawi, dan ajaran Agama Islam merupakan sistem nilai yang mampu memaknai perkara dunia. Dari sini cukup terang pemahaman kita tentang politisasi agama, yakni cara pandang tidak mendasar tentang agama itu sendiri dan cara pandang keliru tentang politik itu sendiri (Alfa-SA, 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun