Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negarawan dari Dapur Parpol atau Ponpes?

22 Oktober 2018   18:51 Diperbarui: 22 Oktober 2018   19:11 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image retrieved from @Lirboyo.connection

Membaca Masalah Pelik Politik Belakangan Ini

Mendengar kata politik, sebagai sebuah gagasan, semacam ada kegamangan teramat sangat, ditengah publik yang limbung karena problem masyarakat yang tak pernah mampu terurai dan tuntas oleh mekanisme birokrat pemerintah yang didalamnya mengalir ide dan hormonal politik. Dilain sisi, ketika mendengar kata politik, sebagai sebuah tatanan praksis, semacam ada upaya pembodohan yang dipaksakan untuk diterima dari sebuah gagasan tentang politik yang tak pernah ada wujudnya, namun terus menerus diupayakan sedemikian kolot sebagai satu-satunya entitas yang menyelamatkan umat manusia atau civil society, melebihi agama. 

Semacam sinisme mungkin. Politik dalam bentuk gagasan saja, kita kesulitan untuk mematerialkan sedemikian rupa, menjadi narasi besar dalam mewujudkan kehidupan bersama yang fungsional dan berorientasi pada kesejahteraan. Sekarang kita diperhadapkan pada sebuah situasi, dimana politik diedarkan tanpa petunjuk teknis operasional, entah melalui berita, koran, milis, atau pesan media sosial sebagai salah satu penyelamat kehidupan warga negara, melebihi para pastor atau seorang kyai bahkan. Bagi yang mengamini mungkin tidak akan menolak atau menegasikan argumen tersebut. Tapi mereka yang nalarnya kritis, memandang politik hari ini adalah kekacauan.

Membaca laporan dari lembaga survei tentang elektabilitas elit politik dimata masyarakat, kita akan dibuat tercengang. Partai politik dan segenap elit pemerintahan yang bertengger dijabatan suprastruktur negara dinilai dengan angka rapot warna merah. Sebagaimana yang dilansir oleh lembaga anti korupsi, Indonesia Corrupt Watch (ICW) yang bekerja sama dengan Lembaga Polling Centre mencatat bahwa Partai Politik (Parpol) berada pada posisi terbawah dari grafik kepercayaan masyarakat terhadap elit politik, yakni hanya sejumlah 35%. 

Artinya Parpol menduduki peringkat teratas sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya masyarakat, akibat rentetan kasus hukum yang menjerat kader Parpol, baik yang tengah menduduki leading sector pemerintahan ataupun yang tidak. 

Disusul kemudian, perusahaan swasta dengan jumlah 49%, pun tak luput dari anggapan publik yang menilai buruk akibat kontrak kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintahan negara kerap berujung pada penyelewengan anggaran dan penyuapan dengan nominal yang cukup mencengangkan. 

Dan ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan jumlah 51%. Tak aneh jika pada akhirnya DPR menempati posisi tertinggi selanjutnya lantaran semua posisi suprastruktur Trias Politica negara disuplai oleh mereka para elit yang datangnya dari dapur ideologis kader Parpol (Matondang, D. Juli 20, 2017).

Cukup beragam kasus hukum yang berpotensi menimpa elit politik, dan kasus korupsi menjadi kasus terbanyak. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat 32% kader dari keseluruhan Parpol peserta Pemilu yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Bahkan menurut penuturan Pahala Nainggolan, Deputi Pencegahan KPK, hingga bulan September 2017 terdapat 10 Parpol telah disurati dan akan didatangi oleh KPK, terkait dugaan kasus korupsi yang menimpa kadernya. Dan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan Parpol pertama yang akan dikunjungi KPK (Wiwoho, B. September 1, 2017). Program kerja top-down pemerintah yang dijanjikan diawal pemilihan umum tak pernah terukur berdampak baik atau tidak bagi masyarakat dan rangkaian kasus skandal suap para elit pejabat, adalah penyebab memburuknya elektabilitas etika pejabat publik dimata masyarakat.

Dari sini, kita bertanya ulang tentang fungsi dari Parpol dalam kancah perpolitikan dan birokrasi pemerintahan negara Indonesia. Apakah benar, Parpol masih mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga ideal yang bergerak dalam mekanisme besar pemerintahan negara, menjadi salah satu komponen penting sistem demokrasi presidensial saat ini. Pertanyaan demikian tentu akan sulit dijawab. Namun, tunggu dulu, belakangan Lembaga Survey Indobarometer membuat publik makin muram. Dengan melansir penilaian masyarakat tentang proses politik kenegaraan dan Parpol, hasilnya menunjukkan bahwa 50% masyarakat menilai politik itu buruk, dan mengakibatkan sebanyak 63% masyarakat Indonesia tidak lagi percaya terhadap Parpol (Faiz, A. Maret 23, 2017).

Sebenarnya, apa yang gagal dari politik praktis ataupun politik gagasan dalam sistem besar birokrasi pemerintahan hari ini. Tentu sudah sepantasnya kita geram, membaca hasil survey tersebut, seakan pemerintah tutup mata dan miring akalnya, akan potensi besar menuju perubahan yang lebih baik melalui sebuah alat bernama politik. Politik menjadi sudut pandang yang dinilai sebelah mata dengan kesinisan pragmatis dari para elitnya. Berupaya mengkonsolidasasikan gagasan tentang bagaimana mendistribusikan kebijaksanaan, namun dengan itikad jual-beli kekuasaan. Politik kekuasaan adalah nama yang disematkan oleh masyarakat pada perilaku elit politik bangsa Indonesia hari ini. 

Akibat politik kekuasaan itu, alienasi politik terjadi. Sikap acuh masyarakat, phobia akan politik, hingga muncul perilaku menolak untuk berpartisipasi didalamnya, merupakan suatu bentuk manifestasi mentalitas yang lelah, tak berharga, tak bermakna dan terasing dari civil society terhadap wajah para elit yang kerapkali menampilkan sisi gelap dinamika politik yang berisikan konflik, kepentingan, perebutan kuasa dan saling hujat (Yinger, 1973 dalalm Muluk, 2010).

Oleh karenanya, sebagaimana yang dikemukakan bekas fungsionalis Partai Golongan Karya (Golkar) Poempida Hidayatullah, tentang pembuat gambar atau foto meme penghina Setya Novanto akan dipenjara (Felisiani, T. November 18, 2017). Tak lebih dari sebuah mekanisme pertahanan diri (defend mechanism, dalam istilah mahzab Psikoanalisis Freudian) seorang kader Parpol yang Parpolnya tengah ditelanjangi habis di muka publik, akibat ketua umumnya ditangkap aparat karena dugaan korupsi. Jangan pernah salahkan civil society, apalagi menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau UU ITE untuk menangkap mereka yang mengeluh tentang boroknya dan bobroknya politik hari ini melalui media sosialnya atau dengan membuat gambar meme lucu dan lagu berlirik satire tentang Ketua DPR RI, Setya Novanto, karena kasus korupsi mega proyek Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik. 

Jangan pula salahkan para aktivis dan mahasiswa dengan pasal pencemaran nama baik pejabat pemerintahan, jika beberapa kesempatan harus tidak sopan menjadikan foto para pejabat publik sebagai objek hujatan dalam prosesi teatrikal di tengah jalan. Jangan pernah sekali-sekali menyalahkan mereka yang memutuskan golongan putih (Golput) dalam setiap pemilihan umum (Pemilu), karena hanya itu cara untuk menyehatkan akal fikiran mereka daripada menelan pil pahit silang-sengkarut politik para elit pemerintahan dan Parpol. Karena itu semua adalah dampak buruk alienasi politik yang tampil dari perilaku elit (Finifter, 1977 dalam Muluk, 2010).

Belum lagi silang-sengkarut politik terurai, belakangan aksi massa dengan format demonstrasi besar-besaran yang dipelopori oleh organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang mengangkat isu-isu sensitif tentang dugaan pencemaran agama yang dilakukan oleh pejabat publik DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, menambah deretan panjang kasus intoleransi dan ujaran kebencian bernada SARA. Kelompok Islam dengan pemahaman ajaran fundamental yang menampakkan wajah ekstremis radikal makin deras mengungkapkan kritik atas demokrasi sebagai sistem politik yang gagal merawat akal sehat politisi dan mewujudkan kemaslahatan bersama, menjadi bahaya laten yang tak dapat diabaikan begitu saja. Semua problematika politik, agama dan kebangsaan itu begitu mudah tersulut oleh kemajuan zaman dan silang-sengkarut arus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, justru makin menambah runyam (parah, red) masalah. Tidak ada kata lain, selain pesimisme publik yang ditujukan pada elit politik pejabat pemerintahan yang tak mampu mengurai kerumitan masalah. Apakah benar politik mampu mengentaskan problem ini? Jika dalam waktu dekat politik dan birokrasi pemerintah tidak sesegera mungkin memperbaiki diri untuk menghadapi problematika yang lebih nyata mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita patut bersiap gelombang besar protes bernada fundamentalisme Islam akan berupaya mengganti pondasi dasar bangunan Negara Indonesia menjadi negara teokratis.

Apa yang Gagal dari Politik Setelah 72 Tahun Merdeka

Percakapan kita melalui tulisan ini, lebih menitikberatkan pada fungsi partai politik sebagai salah satu pilar pendukung jalannya demokrasi di Negara Indonesia. Apakah turut mengurai masalah, atau justru menjadi sumber masalah. Kini kita bertanya, apakah benar politik kita ditahun 2017 sebelum menginjak tahun politik 2019 adalah politik yang gagal "merawat" dan "dirawat" oleh para elit politisi pemerintahan dan elit ideolog Parpol? Dengan segala bentuk amoralitas etika pejabat publik yang tak patut muncul sebagai wajah birokrasi pemerintahan kita. Tentu pertanyaan ini patut dijawab sebagai rumusan masalah dalam tulisan ini. Tapi tak berhenti disitu, adapun rumusan masalah lain yang meminta pula untuk dijawab; apakah benar demokrasi kita tengah gagal merawat politik akal sehat bangsa kita? Ketika kritik begitu deras muncul dari kelompok keagamaan Islam tertentu menghendaki digantinya konsep Pancasila dan demokrasi, dengan narasi besar negara teokratis. Sedangkan para elit birokrat sibuk bertukarpadu berebut kekuasaan, tanpa pernah berfikir bagaimana baiknya demokrasi di Indonesia dan Pancasila ke depan.

Sebelum beranjak meninggalkan tahun 2017 untuk pindah ke tahun politk 2019. Teringat kembali pada proposal yang ditulis Max Lane tahun 2013 menjelang tahun politik 2014 Indonesia, bertajuk "Who Will Be Indonesian President in 2014?". Disitu ia menulis, bahwa alienasi politik yang terjadi pada masyarakat Indonesia dalam menghadapi tahun Pemilu 2014 begitu kontras, sehingga Max Lane berani meramalkan bahwa Pemilu 2009 dan 2014 akan dimenangkan oleh Golongan Putih (Golput). Tafsir proposalnya begini, Pemilu 2014, secara kasat mata masih dinilai sebagai pemilu yang demokratis. Tapi sayang, demokratis yang bersifat elitis. Ditahun politik itu, masyarakat menilai bahwa Pemilu atau segala bentuk prosesi partisipasi politik yang diselenggarakan secara konstitusional, menurut Max Lane, tetap saja merupakan ajang bagi para politisi korup. Dilihat tiap periode elektoral, Pemilu 1999-2004, Pemilu 2004-2009 dan Pemilu 2009-2014, masih sama menyajikan wajah-wajah lama sisa orde baru (Orba), hanya saja dengan pakaian, mimik wajah dan gramatika bahasa politik yang baru. Masyarakat Indonesia bagi Max Lane sudah tidak lagi percaya, karena elit politik beserta Parpol yang menaunginya, tak lagi berfikir tentang kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan yang diputuskan di meja Parlemen (Max Lane, 2013 dalam Indoprogres, 2014). Lalu bagaimana dengan Pemilu yang akan datang nantinya, tahun 2019 menuju 2024? 

Semenjak Orba ambruk oleh pengerahan massa tahun 1998, B.J. Habibie mengganti arah kebijakan politik dan pemerintahan ketika itu, menjadi lebih luwes daripada kebijakan sebelumnya. Dengan itikad untuk lari dan lepas dari kungkungan otoritarianisme ala Soeharto. Melalui UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Partai Politik dan Pemilu, isinya memberi kebebasan bagi semua elemen kemasyarakatan yang berkepentingan dengan parlemen untuk membentuk Parpol-Parpol baru, dan bersiap untuk pesta politik yang sengaja dipercepat olehnya ditahun 1999. Kebijakan itu sekaligus membuka keran demokrasi, kebebasan berekspresi dan surga firdaus bagi media massa untuk memulai kembali bisnis penyiaran, kala itu. Sejak awal negara ini terbentuk hingga 1999, menurut Catatan Departemen Kehakiman dan Perundang-undangan Republik Indonesia, telah ada setidaknya 150 Parpol yang turut mewarnai pergulatan wacana dan ideologi dari awal kemerdekaan, namun ditahun politik 1999 ketika itu, hanya 48 Parpol saja yang lolos mengikuti Pemilu (Napir, 2014). Dulu, kategori lama untuk Parpol dibedakan dari karakteristik ideologinya, diantaranya; kategori Partai Islam, Partai Nasionalis Radikal, Partai Sosialisme Demokrat, Partai Tradisionalisme Jawa dan Komunisme (Feith & Castles, 1970:4 dalam Makhosin, 2016). Kemudian Daniel Dhakidae, memberikan kategori lain yang cukup padat, yakni; kategori Parpol Sekuler-Islam dan Parpol Kerakyatan-Pro Pasar (Sugiono & Mas'ud, 2008:21 dalam Makhosin, 2016).

Semenjak sistem multi partai diberlakukan oleh Presiden RI ke-3 tahun 1998, Parpol kini menjamur, partisipasi politik kader Parpol makin tumbuh subur. Namun, kesuburan partisipasi politik itu hanya nampak lebat dan seakan rindang, ketika masuk pada ruang politis parlemen semata, yang didalamnya tentu berisikan pertarungan memperebutkan kekuasaan dan jual-beli kepentingan. Justru lupa, jikalau Parpol memiliki posisi penting di tengah-tengah masyarakat untuk menjaring aspirasi dan mengkonsolidasikan gagasan tentang perubahan dan upaya pembangunan yang lebih baik bagi masyarakat, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2011, Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Tentu kita memahami bahwa Parpol merupakan entitas lain yang muncul dari ruang-ruang ideologi sebagai salah satu instrumen dimana demokrasi bisa bekerja dengan baik. Warga negara berhak masuk dan menjadi kader Parpol dengan suatu asas bahwa Parpol menjadi wadah aktualisasi gagasan dan aspirasi bagi publik (Alfa-SA, 2014). Konsep demokrasi tersebut, menghendaki Parpol untuk menjadi public educated bagi masyarakat yang ada di luar parlemen, sekaligus menyampaikan isi pesan dari lubuk hati masyarakat untuk para elit yang ada di dalam gedung parlemen. Namun, yang terjadi apa? Akibat dari kolaborasi birokrasi korup dengan para pemodal rakus, demokrasi belakangan menjadi usus besar korporasi, permainan politik kekuasaan yang memanfaatkan celah konstitusional untuk mendulang income kekayaan sebagai pendapat kas Parpol atau kantong perseorangan. Akhirnya Parpol menjelma sebagai dept-collector. Model demokrasi elektoral-elitis, mendadak tak diminati karena terbukti palsu adanya. Yang nampak justru oligarki dan plutokrasi. Model demokrasi yang tertuju pada keterwakilan, belakangan di negara lain mulai mengalami kemunduran, akibat Parpol-Parpol mengalami krisis. Kehilangan makna bagi publik, publik makin tak percaya, perlahan membenci. Nampak hanya sekedar mencari untung dan kepentingan kelompok semata, parahnya adalah konstitusi menjadi lapak dagang korporasi  (Indoprogress, 2014).

Franz-Magnis Suseno mengaku jenuh, masalah etika pejabat publik dari tiap rezim yang datang silih berganti, merekayasa pikiran publik dan hanya menyisahkan konflik, menandakan, bahwa diskursus tentang etika politik telah lama tiarap dan nampak tak berguna. Etika politik hanya sebatas accademic exercise, tak akan pernah bosan dari masa ke masa untuk dipergunjingkan di ruang akademis, dan nampaknya hanya itu fungsi diskursus etika politik. Kini kita dapati, politik tak pernah berubah, justru memburuk. Karena membiarkan politik tanpa etika tak ubahnya sebuah industri perfilman yang menayangkan sinetron demokrasi berepisode-episode, seakan sedang mencasting pemain film untuk berperan sebagai tokoh publik yang berani berbohong sepanjang hidup dan menulis naskah panjang pidato para demagog penjaja ide-ide utopis tentang perubahan yang tak pernah ada (Napir, 2014).

Disini menjadi terang, bahwa prosesi Pemilu, manuver Parpol dan sistem demokrasi mengalami malfungsi. Tak ayal jika parlemen, belakangan jarang kita dengar berdebat secara argumentatif (the force of the better argument) menawarkan gagasan atau ideologi satu melawan gagasan ideologi lainnya demi tercapainya konsensus bersama tentang bagaimana caranya hidup maslahat. Kini justru yang nampak, hanyalah transaksional antar faksi yang tengah berkonflik untuk memperebutkan kekuasaan. Dan dilain sisi, makin memperjelas  apatisme masyarakat dan alienasi membuat jarak pembeda yang tebal antara rakyat dan elit birokrat (Gerung, 2008).

Membaca berbagai macam penafsiran yang berkelebatan tentang politik kekuasaan. Nicolo Machiavelli, menganggap politik dengan begitu sinis, karena hanya menyediakan tempat bagi para elit untuk saling bertengkar demi berebut kekuasaan, apalagi harus memperjuangkan suatu ide atau gagasan yang mulia tentang kebijaksaan dan kesejahteraan bersama (El-Affendi, 1994:7 dalam Hasan, 2014). Thomas Hobbes juga demikian, politik kekuasaan menandaskan bahwa negara tidak lagi membutuhkan dasar pertimbangan moralitas dan religiusitas untuk menentukan segala bentuk kebijakan. Penguasa cenderung membenarkan segala bentuk tindak tanduknya, selama berkenaan dan sejalan dengan kepentingan kekuasaan. Lembaga-lembaga yang berkenaan dengan unsur politik birokrasi, hanya mengenal hak, tapi tak pernah melaksanakan kewajiban. Pandangan ini menandaskan jika politik kekuasaan adalah matinya humanisme, spiritualitas dan moralitas. Politik macam ini yang disebut Machiavelli sebagai politik gaya binatang, dan politik yang membentuk manusia menjadi serigala untuk memburu temannya (Homo Homini Lupus) kata Hobbes (Suhelmi, 2001 dalam Yusuf, 2012).

Namun berbeda bagi Ibn Khaldun, yang memandang politik sebagai suatu entitas masyarakat yang besar dalam sebuah negara, yang akan terikat dengan kedekatan yang sifatnya lebih sempit dan sederhana antar kelompok kecil (Ashabiyah) di dalamnya. Artinya solidaritas antar sesama dalam kelompok, lebih adaptif dan mampu menjadikan kedekatan itu sebagai basis otoritas politik. Ibn Khaldun menerangkan, jika otoritas politik inilah yang akan memudahkan urusan orang-orang di dalam kelompok menjadi lebih tertata. Dilain sisi, dampak buruk dari konsepsi bernegara yang tampuk kekuasaan didominasi oleh kelompok terkuat, akan selalu berhadapan dengan mereka kelompok-kelompok kecil lain yang akan berupaya merebut dan menggulingkan si penguasa. Kemungkinan terburuk itu, bukan sebatas menjadi suatu ramalan. Sebuah negara tak mustahil akan hancur, jika kelompok masyarakat didalamnya saling berebut kuasa (El-Affendi, 1994:7 dalam Hasan, 2014).

Pola semacam ini sering ditemui pada situasi birokrat disuatu pemerintahan yang terdiri dari faksi-faksi Parpol. Perseteruan dan konflik memperebutkan politik kekuasaan, mobilisasi politik hanya terpusat pada parlemen dan tidak menyentuh sama sekali pada kepentingan mendasar publik. Imbasnya, alienasi yang berbentuk hilangnya partisipasi publik dalam mengonsolidasikan kepentingan untuk menjadi dasar pertimbangan pembentukan kebijakan, adalah gejala awal dari demokrasi yang tengah sakit. Tidak mustahil yang tertinggal dari negara bernasib semacam itu, hanyalah reruntuhan sisa peradaban.

Otoritas politik kata Ibn Khaldun, menghendaki negara menjadi pelayan rakyat. Segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup rakyat negara tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah. Bukan semata-mata menggunakan kekuasan untuk mengonsolidasikan kepentingan pribadi atau tuntutan pragmatisme kelompok atau Parpol (Schaumann, 2005:101 dalam Hasan, 2014). Problematika dasar kita membaca aras dinamika politik negara Indonesia, terletak pada orientasi dasar bahwa politik kekuasaan menjadi kecenderungan yang tak terelakkan dan telah mengakar didalam pikiran bawah sadar (consiousness) individu kader Parpol. Oleh karenanya, John Stuart Mills (1950), justru menganggap lumrah jikalau para elit politisi akan mencurahkan energinya dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Negara akan berupaya sekeras mungkin secara hegemonik untuk meciptakan alat-alat produksi sebagai upaya mendulang surplus dan income pendapatan siluman yang akan masuk kantong pribadi atau kas Parpolnya sendiri. Kekuasaan yang menyajikan kemewahan semacam itu, tak ayal membuat elit birokrat akan berupa bagaimanapun caranya untuk mengukuhkan dominasi dan menjadikan setiap kebijakan adalah absolut. Upaya rasionalisasi semacam itu, sangat mungkin untuk dimanfaatkan oleh mereka yang berasal dari kelas penguasaan untuk senantiasa mengeruk untung dari aktivitas pasar komoditasnya dengan memanipulasi pemahaman nilai moralitas yang dibalut oleh argumen konstitusi negara (Maliki, 2004:17 dalam Hasan, 2014).

Politik kekuasan basis dasar pikirannya adalah sebagai alat, bukan tujuan. Kini dipersempit pengertiannya secara sporadis, menjadi politik yang bertujuan memperebutkan kekuasaan itu sendiri (Budiardjo, 2004:35 dalam Hasyim, 2009). Kekuasaan oleh elit politik akan dirawat sebaik mungkin untuk terus mempertahankan dan mengukuhkan dominasi.  Upaya rasionalisasi politik kekuasaan akan mewarnai gerak politis yang muncul, tak terkecuali mempengaruhi substansi tiap kebijakan yang diedarkan kepada publik. Rasionalisasi untuk memelihara aset politik, pada hakikatnya kerap bersinggungan dengan kepentingan publik. Artinya rasionalisasi politik kekuasaan sebenarnya tidak koheren, dan kerap berseberangan dengan kebijakan publik yang berorientasi pada kebaikan bersama. Max Webber menyebut pola politik kekuasaan ini dengan istilah "sangkar besi" yang mengurung dan menindas masyarakat sendiri (Althrusser, 2004 dalam Hasan, 2014). Membuat masyarakat tidak lagi mempercayai apa itu yang dimaksud cita-cita bersama yang muncul dari mulut penguasa (Hardiman, 1993 dalam Hasan, 2014).

Dalam cara pandang empiris, kemungkinan Parpol tanpa sadar berperilaku politik untuk mencapai kekuasaan didasari oleh dua kategori; 1) Adanya pragmatisme di dalam Parpol, suatu bentuk perilaku konkret dari para elit untuk memilih jalan lain yang berbeda dari Parpol asalnya. 2) Pudarnya orientasi ideologi dan mulai untuk berfikir pragmatis pada Parpol, disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; lemahnya pelembagaan, lemahnya disiplin Parpol, biaya politik tinggi, politik uang, rendahnya elektabilitas di mata masyarakat, dan tingginya tuntutan populis dimata media (Makhosin, 2016). Pembacaan pada kemungkinan nomor dua, sangat mendasar menjelaskan perilaku para elit Parpol. Secara metodologi, bagaimana Parpol berkoalisi didalam politik kekuasaan, menggunakan pendekatan office Seeking, kita akan mendapati bahwa politik kekuasaan yang diterapkan oleh Parpol cenderung bergerak dengan penuh pertimbangan dan kalkulasi mengenai untung rugi, dan hanya peduli pada usaha untuk mendapatkan kekuasaan (Back, 2005:2 dalam Makhosin, 2016).

Kendati demikian, bagi Anthonio Gramsci, kekuasan semacam itu sebenarnya dirawat oleh ide untuk memanipulasi kepercayaan masyarakat bahwa ada suatu bentuk argumen yang bersifat absolut tanpa boleh dikritik, yang muncul dari negara. Melalui politik, sosial budaya dan ekonomi, hegemoni tanpa sadar terjadi. Politik kekuasaan tidak menghendaki rasionalisasi nilai, bagi Jurgen Habermas, justru lebih menghendaki rasionalisasi politik kekuasaan untuk dijadikan sebagai totalitas historis yang memenjarakan rakyat (Maliki, 2004:24 dalam Hasan, 2014). Setelah pergulatan panjang itu, masyarakat mulai lelah, kebanyakan dari mereka mengetahui ada yang bermasalah dari negara yang digerakkan oleh para elitnya, tapi sayangnya mayoritas masyarakat tidak pernah mampu membacanya, karena masyarakat hakikatnya adalah bodoh, mudah ditipu, tak beraturan dan pelupa. Dalam arti lain, masyarakat punya kesibukkan yang lebih penting, menyita tenaga dan waktu, diluar memikirkan kondisi politik tanah air. Kendati demikian, kebohongan dan absurditas politik yang "meminjam tangan sebelah" rakyat itu telah diketahui seksama, sepertinya ada suatu kehendak yang mendesak bahwa entitas politik macam itu harus dibongkar, mengingat masih ada keniscayaan politik kekuasaan akan berganti. Yakni, dengan mobilisasi militer (Hasan, 2014). Pertanyaannya, apakah rakyat punya kuasa atas gerakkan melibatkan angkatan bersenjata disaat genting seperti sekarang? Tentu mustahil.

Alienasi merupakan fakta sosial dari dunia politik, yang mustahil kita menutup mata darinya. Suasana canggung dari perilaku politik kita, belakangan ditafsirkan "biasa saja" ketika warga negara mulai apatis dengan kehidupan politik. Entah dalam proses Pemilu atau penerapan kebijakan tertentu yang datangnya dari mulut birokrasi pemerintah. Masyarakat lambat laun akan menganggap apatisme dan ketidakpedulian soal politik menjadi lumrah dan tak masalah. Namun pembacaan lain, akan menyebutkan perilaku demikian adalah ancaman bagi terselenggaranya demokrasi di negara ini. Lantas siapa yang salah?

Kita persempit saja. Yang salah adalah para elit birokrat pemerintahan. Etika politik pejabat publik makin merosot, tantangan di masa depan begitu menuntut keberanian; untuk menjawab kritik dari kelompok Islam dengan pemahaman ajaran agama fundamental, yang belakangan tak lagi sungkan menawarkan, bahkan meneriakkan Khilafah sebagai pengganti Pancasila. Lalu kita mau apa?

Terjadinya alienasi ini, tentu kita dapat menafsirkan itu sebagai suatu bentuk penurunan gairah partisipasi publik dengan segala bentuk kehidupan politik yang ada. Menurunnya kegairahan itu, tak lama lagi akan berubah menjadi kebencian. Ketika itu terjadi, pada saat itulah demokrasi akan berhenti, dan kekacauan, konflik, pertumpahan darah pasti terjadi. Karena alienasi adalah pertanda, publik tidak lagi mau buka mulut untuk bersuara, untuk  sekedar meluapkan aspirasi, apresiasi atau keluhan. Lalu apa yang membuat mereka tak mau bersuara? Adalah karena tak lagi ada yang mau mendengar (Gerung, 2008). Artinya negara dan elit birokrasinya disinyalir telah gagal merawat pohon bernama demokrasi, yang mana partisipasi penuh publik menjelma sebagai pupuk komposnya agar tanaman demokrasi bisa tetap tumbuh dan menjadi rindang. Bagi Offe dan Preuss, alienasi yang menyebabkan partisipasi publik luntur, diakibatkan adanya jarak sosial yang panjang, dan tentunya mengganggu antara rakyat dan para politisi. Jarak itu yang mengakibatkan mandat yang berisikan suara hati rakyat begitu lambat menjadi keputusan secara konstitusional oleh parlemen dan legislatif sebagai perwujudan upaya untuk mencapai kebijaksanaan dalam suatu Polis (Held, 1991: 164-165 dalam Gerung, 2008).

Alienasi politik yang terjadi pada masyarakat kita beragam bentuknya. Bagi meraka yang tak pernah memiliki kesempatan untuk mengakses langsung birokrasi politik, menjadi lumrah jika pada akhirnya memilih Golput dalam setiap kali Pemilu terselenggara. Namun bagi mereka yang juga termasuk pelaku birokrasi pemerintahan secara non-partisipatoris, beberapa diantaranya memilih untuk menjadi oposisi. Tanpa bermaksud, mengindahkan pembacaan secara struktural tentang dua potensi perilaku alienasi politik tersebut, namun secara terang bahwa itu petanda, bila demokrasi telah tiba pada kehancurannya.

Politik Masa Depan Butuh Entitas Baru, tapi Bukan Partai Politik

Problematika yang makin hari makin kusut, hingga kita menjadi bingung dan limbung bagaimana cara mengurainya, ketika mentalitas itu menjadi sistem berfikir baku yang memaknai politik sebagai aktivitas berebut kekuasaan. Masyarakat mungkin trauma, dan pada memaknai kata politik, yang kini identik dengan kebohongan. Ide tentang politik sebagai etika untuk mengonsolidasikan gagasan dan mendistribusikan keadilan makin jarang beredar. Rakyat memilih menjauhi politik, atas dasar mengobati diri dari penyakit traumatik. Dan para elit birokratik tetap menjadi seorang autis, memainkan peran dan mainan politik dengan tatacara etika semau sendiri. Sepertinya sudah saatnya kita berhenti menghujat kegelapan dan berupaya untuk menyalakan lilin. Seorang akademis atau cendikiawan hendaknya berhenti menyuplai ide yang bermuatan kritik sarkasme yang tak membangun tentang politik dan silang-sengkarut yang mengular dibelakangnya. Dan mulai nyalakan lilin gagasan, dengan berfikir ulang, secara radikal bahkan, kalau perlu dengan itikad membongkar (dekonstruktif) pemahaman politik dan implementasi praksisnya dimasyarakat.

Sepertinya kita butuh, entitas lain yang fungsinya mirip Parpol, tapi bukan Partai Politik itu sendiri. Sebuah entitas yang muncul dari akar rumput dimana masyarakat tumbuh, membawa nilai-nilai murni dari kondisi psikososiologis masyarakat itu berada dan mampu mengonsolidasikan kepentingan bersama, mendistribusikan keadilan sekaligus menciptakan fungsionalisme struktural, tentu tanpa unsur politik kekuasaan didalamnya. Yakni pesantren, kyai dan santri.

Apa dasar berfikirnya? Bagaimana entitas baru semacam itu mampu disandingkan secara metodologi dan subtantif dengan fungsi Parpol an sich. Merujuk kembali pada apa yang telah kita sintesiskan diawal, kita coba melacak secara deduktif, apa kiranya dasar berfikir dari adanya Parpol, untuk masuk ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat. Carl Fresrich akan dengan lugas menandaskan, Parpol adalah sekelompok orang yang terorganisir dan terstruktur untuk memperebut dan mempertahankan kekuasaan, tentu dengan suatu hasrat materiil dan idiil bagi para anggotanya, entah berupa tercapainya tujuan ideologi, kesepakatan, atau perjuangan bersama. Landasan teoritik, munculnya Parpol secara teoritik, menurut Ramlan Surbakti (1993) dapat didasarkan pada; 

1) Teori kelembagaan, yang mana adanya kebutuhan dari masyarakat untuk menjalin komunikasi dengan Parlemen, maka Parpol dibuat untuk menjembatani itu. Pemahaman atas adanya Parpol berdasarkan Teori Kelembagaan, memberikan penjelasan bahwa Parpol menjadi sarana penting untuk membawa kepentingan rakyat untuk dipercakapkan di dalam meja Parlemen, dengan harapan menjadi suatu bentuk kebijakan yang positif bagi rakyat. Tentu partisipasi rakyat, dengan adanya Parpol menjadi kunci mendasar bergeraknya demokrasi.

2) Teori Situasi Historis, yang mana Parpol menjadi sistem yang mengatasi krisis, yang muncul atas inisiasi masyarakat. Artinya Parpol dibuat atas dasar, urgensi masalah yang dialami rakyat dan masalah tersebut berkenaan dengan pembuatan kebijakan di Parlemen.

3) Teori Pembangunan, adanya Parpol menjadi produk dari upaya modernisasi ekonomi. Artinya Parpol ada, akibat anomali yang terjadi pada masyarakat (Surbakti, 1993 dalam Nur Syam, 2010).

Pandangan demikian, menggarisbawahi bahwa Parpol menjadi entitas penting dan mendasar dari terselenggaranya proses politik, proses demokrasi di Negara Indonesia. Namun, beberapa konklusi diawal bahwa Parpol hanya berfikir untuk menjadikan kekuasaan sebagai komoditas, dan rakyat belakangan hanya menjadi partisipatif pasif yang dibutuhkan pada momentum-momentum temporal, misalnya dalam Pemilu, kampanye dan statistik Pemilu yang politis. Belum lagi problem etika politik para elit pejabat publik yang amoral perilakunya, sepertinya tak salah masyarakat kini menjadi apatis dan teralienasi. Apa yang dimaksud dengan "butuh entitas baru" adalah upaya untuk mencari entitas yang mampu berfungsi layaknya Parpol, bukan dalam partisipasi politik dan prevailage-nya untuk bertatapan langsung dengan Parlemen, tapi yang lebih mendasar yakni perjuangan mencapai kemaslahatan bersama, dengan cara pengembangan pendidikan masyarakat dan pemberdayaan berbagai macam sektor kehidupan masyarakat, yang tak mampu diemban oleh Parpol. Upaya macam ini hanya dapat dilakukan oleh entitas yang bernama pesantren.

Bukankah pesantren merupakan sarana pendidikan ajaran Agama Islam semata? Bagaimana mungkin bisa berfungsi sebagaimana Parpol lakukan? Konsepsi mengganti Parpol dengan pesantren, bukan terletak pada fungsinya sebagai partisipasi langsung yang memiliki prevailage untuk bertatap muka dengan Parlemen, namun lebih mendasar dari pada sebatas itu; yang rentan pada politik kekuasaan dan menyisahkan alienasi politik pada masyarakat. Yakni fungsi substansi sebagai entitas yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat, mengurai masalah dan memberikan pendidikan bagi masyarakat. Pesantren sebagai pengejawantah sistem pendidikan Agama Islam, mampu menopang pembangunan nasional, dalam berbagai macam bidang agama, pendidikan formal atau non-formal. Pesantren menjadi entitas berpengaruh mengganti fungsi Parpol yang tak mampu terakomodir, selain sebagai entitas penerjemah dan penyebar ajaran Islam universal yang berwatak pluralis. Pesantren juga bertindak sebagai pembawa perubahan transformatif dalam kehidupan masyarakat, termasuk hadir sebagai pengurai masalah (Mardliyah, 2011). Bukan menjadi sumber masalah, sebagaimana adanya Parpol.

Secara garis besar pesantren memiliki potensi mendukung pembangunan dalam hal agama, sosial kemasyarakatan termasuk akhlak atau perilaku generasi bangsa (Steenbrink, 1986:44 dalam Mardliyah, 2011). Tentu memahami pesantren, hendaknya kita menghindari mitos-mitos gaya Arkadian yang memandang aneh keberadaan orang desa, dengan menganggap pesantren sebagai lembaga sosial yang Rural, Pastoral, dan Idelik (Mardliyah, 2011). Pesantren tidak demikian. Pesantren bukanlah suatu gejala subkultur unik yang terjadi diluar dan terpisah dari dunia (Wahid, 1987 dalam Mardliyah, 2011). Justru pesantren memiliki karakter sendiri dalam memfasilitasi upaya mencapai tujuan kebaikan bersama di tengah-tengah masyarakat dimana pesantren itu berdiri dan pesantren juga terbuka dengan pengaruh diluar institusinya (Raharjo, 1985 dalam Mardliyah, 2011).

Dilihat dari posisinya di dalam struktur kemsyarakatan, pesantren mendapati posisi strategis dan cukup berperan melancarkan pembangunan secara fisik, pemberdayaan ekonomi, pengamat gejala psikososiologis-budaya masyarakat, termasuk kesehatan masyarakat (Nugroho, 2005:102 dalam Muhid, 2011). Pesantren juga mampu menjadi lembaga pencetak sumber daya manusia (human resource) dan lembaga yang mampu memberdayakan masyarakat (agent of development) (Faozan, 2006:88 dalam Muhid, 2011). Dalam arti lain, justru ketika disandingkan antara Parpol, pesantren merupakan agen pembantu paling penting dan tepat sasaran bagi pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan menyebarluaskan inovasi pembangunan masyarakat (Saifuddin, 1998:90 dalam Muhid, 2011).

Jika pesantren menjadi dasar pembangunan bagi masyarakat, setelah lembaga-lembaga birokratis atau politik tak mampu secara komprehensif menuntaskan kewajiban itu. Bagaimana strategi konkret untuk mengimplementasi suksesi pembangunan. Dalam penelitian yang dilakukan Abdul Muhid (2011), pesantren menjadi sentral baru yang strategi memberi suntikan progresivitas pembangunan, salah satunya dalam hal pemberdayaan sektor ekonomi masyarakat yang dimulai dari dalam pesantren. Dasar argumen ini, Muhid menggunakan beberapa teori pembangunan untuk mencari pemaknaan yang presisi tentang gejala pesantren menjadi entitas yang mampu memberdayakan masyarakat, diantaranya;

1) Teori Pengembangan Berbasis Masyarakat (People-Centered Development) (Corten & Klauss, 1984 dalam Muhid, 2011). Teori ini menempatkan manusia dan lingkungan menjadi variabel utama perencanaan pembangunan. Kesejahteraan sosial dan spiritual sebagai tujuan pembangunan. Pesantren mampu menempatkan diri sebagaimana teori ini menghendaki. Pesantren merupakan unit sosial-kultural sesuai dengan people centered development dengan pendekatan ecology.

2) Teori Pembangunan Lembaga (Institution Development) (Corten, 1984 dalam Muhid, 2011). Suatu konsep pembangunan yang menerapkan model pembangunan yang berpusat pada kelembagaan sosial yang ada. Pesantren, berada dalam posisi yang tepat untuk memberdayakan masyarakat karena pesantren tumbuh dari akar rumput masyarakat, tentunya nilai-nilai yang tumbuh bersamaan dengan pesantren tersebut turut mengakomodir munculnya kebijakan yang menuju arah pembangunan masa depan

3) Teori Kemandirian. Pembangunan menititekankan bahwa inisiasi masyarakat sendiri dalam mengorganisir kebutuhan dan merealisasi sumber daya yang ada sebagai modal menghadapi tantangan di masa depan. Konsep pembangunan ini, akan menciptakan ketergantungan diantara masyarakat. Pesantren mampu menjalin hubungan secara struktural maupun fungsional antara masyarakat untuk menciptakan kemandirian.

4) Teori Kelestarian (Suistainability). Konsep ini dapat diidentifikasi dari adanya revolving rate, stability of membership, continuity of commitment dan rescue mobilization. Pesantren lebih berperan pada upaya revolving rate. Artinya lulusan pendidikan pesantren, yakni para santri cenderung memiliki dorongan moral untuk mendirikan jenis pesantren yang sama ditempat lain atau di desanya sendiri.

5) Teori Value-Oriented Development. Menurut Kuntowijoyo, pembangunan masyarakat juga ditekankan pada internalisasi etika, moralitas dan sistem nilai yang ada. Pesantren mampu memenuhi kebutuhan itu melalui implementasi ajaran Agama Islam universal, plural dan moderat (Muhid, 2011).

Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren, memiliki modal dasar yang potensial dan strategis untuk memulai pembangunan masyarakat. Hubungan pesantren dengan pemerintah dalam pembangunan bersifat sebagai mitra, bukan sub sistem birokrasi (Kholil,2011). Bahkan tanpa partisipasi konstitusional politik berbasis kekuasaan, pesantren justru sudah melampaui sistem birokrasi untuk mencapai politik yang berbasis kebangsaan dan kerakyatan.  

Pesantren, jika menilik secara rigid, ada unsur pendorong fungsi progresifitas didalamnya, ternyata didasari pada beberapa elemen dasar, yakni masjid atau mushola, kyai atau pengasuh pesantren, pondok atau asrama, dan pengajaran salah satunya mengandalkan kitab kuning (Kholil, 2011). Pesantren, menjadi begitu nyata perannya, sebenarnya dilatarbelakangi oleh peran pemegang tampuk tertinggi struktur yang menjalankan pranata dan fungsional pendidikan pesantren yakni kyai atau ulama pengasuh pesantren. Lalu bagaimana peran kyai dalam pesantren untuk turut dalam dinamika politik kebangsaan beberapa dekade belakangan? Dan bagaimana isu terkini tentang sosok kyai yang masuk dalam pusaran politik kenegaraan maupun wilayah? Sebelum itu, agar percakapan kita menjadi basah dan berasap. Sepertinya kita harus menarik kebelakang secara historis tentang peran politik yang turut pula diemban oleh seorang kyai atau ulama, yang kita tahu identik sebagai tokoh masyarakat yang hanya bergerak pada wilayah keagamana Islam semata.

Romantisme Lama, Kyai dan Santri dalam Kancah Politik Awal Merdeka Hingga Hari Ini 

Membuka mata dengan jeli dan keberanian berfikir secara radikal dan mendasar untuk membaca politik masa depan yang akan datang. Menjelang kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 dan Pemilu RI 2019, pesantren dan santri sebagai bagian dari masyarakat banyak dilirik oleh para kandidat calon baik calon Kepala Daerah tingkat Kabupaten, Provinsi hingga Presiden. Seakan, restu dan rekomendasi dari kelompok santri dan pesantren sangat menentukan bagi keberlanjutan dalam kesuksesan sang calon meraih kekuasaan. Misalnya pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018, beberapa calon melakukan safari politik ke pesantren-pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur dan bahkan restu serta rekomendasi dari kelompok santri dan pesantren digunakan sebagai legitimasi dukungan politik untuk mendapatkan tiket dari partai politik.

Kyai, tanpa bermasuk mengindahkan penjelasan definisi istilah dan bahasa. Sosoknya identik bagi pemahaman dalam kesadaran kolektif masyarakat, sebagai seorang tokoh sentral ditengah masyarakat yang dituakan dan diteladani karena tingginya ilmu dan arifnya kepribadian. Sebagai pewaris keilmuan dan spiritualitas para nabi, kyai atau ulama dalam tatanan sosial fungsional bertindak sebagai sosok yang mengarahkan santri untuk menjadi pribadi kuat dan berkarakter akhlakul karimah, memahami nilai norma etika yang ada dimasyarakat, bersikap moderat untuk menghargai tradisi suatu masyarakat, sebagaimana fitrah dirinya yang menjelma menjadi hamba Tuhan dan khalifah (Kholil, 2011).

Kyai, dalam perannya mengarahkan pesantren untuk menjadi motor pemberdaya masyarakat (Horokhosi, 1987 dalam Siswanto, 2014). Didasari pada 2 entitas utama yakni, karena kyai memiliki otoritas dan kharisma. Menurut Turmudi, hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh generasi kyai mungkin telah dicetak untuk memiliki karakter modern, progresif, berani, kritis-evaluatif terhadap segala bentuk gejala sosial politik kebangsaan dan kerakyatan (Turmudi, 2003:3-4 dalam Siswanto, 2014). Kharisma yang dimaksud bisa dilatarbelakangi oleh kealiman perilaku iman Islam, luasnya wawasan keilmuan, nama besar pesantren, jumlah santri bahkan kemampuan supranatural (Turmudi, 2004:94 dalam Siswanto, 2014). Menurut Azizah (2013) terdapat pembagian beberapa kategori kyai, meliputi; kyai pesantren, kyai tarekat, kyai politik dan kyai mimbar. Bagaimana dengan kyai politik? Ternyata didalam kategori kyai politik, terdapat tipologi baru yang membagi kategori kyai politik, menurut Ali Hasan Siswanto (2014), yakni; 1) Kyai Makelar Politik (Political Broker). Tipologi ini menunjukkan kecenderungan perilaku politik kyai yang kerap mencari untung sendiri dalam setiap kepentingan. 2) Kyai Pejabat, seorang kyai yang memiliki cara pandang untuk mencari kecukupan materi secara pribadi semata. 3) Kyai Terjerat Kasus, tipologi ini menandai bahwa kyai juga ada yang terjerat perkara pidana, karena perilaku politiknya yang mementingkan golongan atau individu dengan cara melakukan korupsi (Siswanto, 2014).

Tipologi mengenai kyai politik ini tentu memperjelas pemahaman kita bahwa karakteristik perilaku politik yang dilakukan kyai begitu beragam dan tidak dapat serta merta untuk memaknai secara general dan harfiah tentang hakikat perilaku politiknya. Membaca relasi antara moralitas kyai dan politik yang berkenaan dengan dirinya, dalam pandangan sosial kritis Anthony Gidden, menunjukan bahwa relasi ketiganya hendak dimaksudkan untuk menciptakan perilaku politik berbasis moralitas keutuhan, kendati pada akhirnya ada suatu bentuk hasrat untuk memperoleh reinforcement positif dari aktivitas politik, misalnya politik sedikit banyak akan memberikan masukan secara materiil untuk pesantrennya. Namun keseluruhan dinamika itu menunjukkan ketiganya memiliki relasi yang bersifat integratif (Siswanto, 2014).

Implikasi dari relasi antara ketiganya apa? Adalah mengakarnya moralitas yang spesifik dari perilaku politik yang nampak. Moralitas itu diantaranya; 1) Kyai Bermoral Mediatif-Transaksional, yakni mentalitas semacam ini menganggap politik sebagai media atau jaringan dari pesantren untuk mencapai kekuasaan dengan etika dagang atau jual-beli.

2) Kyai Bermoral Administratif-Manipulatif, mentalitas semacam ini menganggap aturan sebagai suatu yang arus ditaati dan disesuaikan, kendati pada akhirnya harus memanipulasi untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara-cara amoral.

3) Kyai Bermoral Pragmatis-Faksionis, mentalitas semacam ini mengandalkan modal finansial ekonomi pribadi dan golongan dalam perilaku politiknya. Sehingga sama sekali tidak nampak kesadaran atas moral ketuhanan dan moral kemanusiaan (Siswanto, 2014).

Kyai dalam pusaran politik, mungkin hari ini akan dinilai sama buruknya dengan politik yang lazimnya dipahami masyarakat. Akibat politik belakangan ini, hanya menyisahkan kepalsuan dan kemunafikkan, seorang kyai yang turut berpartisipasi dalam kancah politikpun tak luput dari getahnya. Kyai beberapa pandangan dinilai sebelah mata. Ada yang mengkritik, dengan alasan seorang kyai nampak tabu bermain dan turut serta berpolitik secara praksis, karena ada asumsi kyai tak memiliki basis pengetahuan soal ilmu politik atau politik dapat melunturkan citra sebagai sebagai alim ulama. Namun disatu sisi harapan terbesit, tentang politik yang kotor ini akan berubah seiring dengan partisipasi kyai dan santri untuk masuk mewarnai dunia politik bikrasi pemerintah (Azizah, 2013:73 dalam Siswanto, 2014).

Kendati demikian, jangan kemudian menyamakan pergulatan politik yang dilakukan para kyai hari ini dengan kyai era pra kemerdekaan. Menurut Azizah kecenderungan kyai untuk masuk dalam kancah politik telah dimulai jauh sejak pra-kemerdekaan. Kiai berperan dalam upaya mengusir penjajah dengan memberikan dukungan moral termasuk energi untuk bertempur langsung di medan peperangan. Dari dalam pesantren kyai turut pula menyusun strategi dan taktik melawan penjajah. Dan turut memberikan kontribusi pemikiran dan moral menjelang prosesi kemerdekaan (Azizah, 2013:60).

Politik Kyai-Santri Era Revolusi Kemerdekaan

Dahulu, bahkan hingga sekarang kita mengenang seorang ulama besar, Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama', merupakan salah seorang kyai yang turut membentuk pasukan militer muda berani mati bertempur fisik melawan penjajah, bernama Laskar Sabil li-Allah, Laskar Mujahidin dan Laskar Hizb Allah. Pembentukkan pasukan militer yang dikomandoi langsung oleh para kyai sepuh ketika itu, menandai bahwa kyai memiliki andil secara strategis dan taktis untuk menumpas kesewenang-wenangan penjajah. Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari dikenal sebagai seorang kyai yang keras ketika bersikap terhadap Belanda. Tahun 1937, kakek dari Abdurahman Wahid (Gus Dur) itu pernah menolak mentah-mentah anugerah bintang jasa yang diberikan dari Belanda. Dapat disebut, Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari kala itu sedang berpolitik. Tapi berpolitk dalam pengertian memperjuangkan kemerdekaan (al-Hurriyah) sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, tanpa campur tangan bangsa lain. Politik dalam pengertian semacam ini tentu, tidak dapat disamakan dengan pengertian politik yang berlakangan ini teredusir perlahan hingga sampai pada bukan makna aslinya. Yakni politik untuk kekuasaan. Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, selain turut andil dalam kancah politik di medan pertempuran, beberapa tokoh nasional seperti Jendral Soedirman dan Bung Tomo, seringkali melakukan konsolidasi langsung dengan Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari untuk memperoleh pertimbangan strategi melakukan perlawanan pada penjajah (Masyhuri, 2006:287 dalam Nofiaturrahmah, 2014).  

Adapun ulama lain, sejawat dengan Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, yakni KH. Wahab Chasbullah. Seorang ulama yang turut mengonsolidasikan kekuatan pasukan dari para santri untuk melakukan perlawanan pada Belanda, dibeberapa wilayah; Malang, Ambarawa, Mojokerto dan Magelang (Rifai, 2010:106 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Oktober 1945 muncul maklumat yang ditulis Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, Resolusi Jihad tentang "hubb al-watnn min al-iman" sontak mengilhami gerakan-gerakan perlawanan dari para santri untuk terlepas dari belenggu penjajahan. Munculnya Resolusi Jihad itu, sebenarnya menandakan akhir dari tesis Snouch Hurgronje, yang mengangap kaum santri muslim di tanah jajahan bumi nusantara, kurang lebih sama dengan kaum muslim Sunni yang pasif di timur tengah (Nofiaturrahmah, 2014). Yang lain, seorang ulama progresif muda NU, putra dari Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, bernama KH. Wahid Hasyim, turut pula membidani lahirnya Negara Indonesia. Seorang cendikawan muda NU yang agamis dan nasionalis itu didapuk menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPKI) yang ketika itu dipimpin Soekarno, untuk urun rembuk (menyumbangkan pemikiran, red) dalam penyusunan teks mukaddimah UUD 1945 (Dhofier, 2011:150 dalam Nofiaturrahmah, 2014). 

Sejak kelahiran Negara Indonesia pada Agustus 1945, beberapa leading sector kekuasaan strategis birokrasi negara yang baru berdiri itu, pun diisi oleh para kyai dan ulama. Beberapa diantaranya; 1) KH. Wahab Chasbullah, ketika itu menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (Rifai, 2010:106 dalam Nofiaturrahmah, 2014). 2) KH. Wahid Hasyim, didapuk menjadi Menteri Agama pertama RI. 3) KH. Zainul Arifin mengisi pada posisi Wakil Perdana Menteri mendampingi Ali Sastroamijoyo. 4) KH. Mohammad Hanifah mengisi pada posisi Menteri Agraria. 5) Mr. Sunarjo menjadi Menteri Dalam Negeri. Dan, 6) KH. Fatah Yasin menjadi Menteri Sosial. Demikianlah catatan tentang kyai yang turut berkontribusi pemikiran dalam kancah politik tanah air di awal kemerdekaan (Fealy, 2011:359-360 dalam Nofiaturrahmah, 2014). NU mendaulat diri menjadi salah satu parti politik untuk mengikuti pemilu pertama yang diklaim menjadi pemilu paling demokratis dengan ragam Parpol yang membawa basis ideologi dan pemikirannya masing-masing, di tahun 1955. Tanpa diduga, setelah umpatan dan hujatan dari berbagai macam Parpol lainnya, yang menganggap partai NU tidak memiliki pengetahuan tentang politik, karena terlalu kolot dan tradisional. NU menempati posisi ketiga pendulang suara terbanyak, setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berada diurutan pertama dan Masyumi diurutan kedua, setelah Partai NU diposisi ketiga disusul kemudian pada urutan keempat PKI dan urutan kelima Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) (Salim, Fauzan & SHoleh, 1999:16 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Perolehan hasil signifikan pada Pemilu pertama itu, menunjukkan bahwa NU sebagai basis Parpol atau organisasi keagamaan yang bergerak di masyarakat, turut mendukung terselenggaranya proses demokrasi di Indonesia (Rifai, 2010:118 dalam Nofiaturrahmah, 2014).

Politik Kyai-Santri di Era Orde Baru

Pemilu tahun 1971, Partai NU masih tetap dominan, menjadi runner up dengan 17% suara pemilih. Namun tak lama pemberlakuan kebijakan fusi penyederhanaan partai menjadi batu sandungan kancah politik Parpol NU yang sedang dipijaki. PSII, NU, Parmusi dan Perti harus bergabung menjadi satu di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka yang basis ideologinya nasionalis bergabung menjadi satu di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kemudian, untuk representasi orang-orang pemerintahan ketika itu Parpol Golongan Karya (Golkar) dibentuk (Dhakiri, 2013:55 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Gerak kehidupan politik selama fusi partai diberlakukan, NU didalam tubuh PPP merasa tak nyaman, karena sering kali tak digubris dalam setiap urun rembuk pemikiran dan program kerja Parpol. Nasib demikian, sepertinya tak jauh beda ketika NU sama tak digubrisnya dalam Masyumi oleh kaum Islam modernis (Rifai, 2010 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Pola komunikasi Parpol NU di tiap orde kepemimpinan berbeda, dulu ketika orde lama NU dianggap sebagai mitra strategis bagi elit birokrat. Tapi di era orde baru, elit birokrat justru menjauhi NU. Disitu mulailah, keretakkan antara NU dan pemerintah orde baru (Fealy, 2011:344 dalam Nofiaturrahmah, 2014).

Orde baru makin represif, NU makin dimusuhi, posisi tak menguntungkan di dalam PPP, diperparah kemudian oleh carut marutnya pola perilaku dan komunikasi politik yang dimainkan para kyai. Di tahun 1971, NU memutuskan kembali ke khittah NU 1926 (Salim, Fauzan & Sholeh, 1999:71 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Berdasarkan ketepan Musyawarah nasional alim ulama NU no.11/MAUNU/1404/1983. Diperkuat kemudian oleh Hasil Putusan Muktamar NU ke 27 di Situbondo XXVII No.02/MNU/27/1984, NU resmi melepas identitas sebagai Parpol untuk kembali melanjutkan perjuangan yang sempat berhenti sejak tahun 1950 karena berpolitik, yakni pengabdian pada masyarakat (Feillord, 1999:282 dalam Warid, 2009).

Keretakan hubungan antara pemerintah orde baru dan NU makin runyam. Berbagai macam kebijakan muncul dari birokrasi orde baru cenderung merugikan masyarakat termasuk bagi NU sendiri. Beberapa kali, konstituen dari PPP yang berasal dari latar belakang NU dalam rapat paripurna di parlemen melakukan walk out (Achmad & Hendrawinoto, 2000:69 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Akhirnya pemerintah geram, sisa-sisa politisi NU yang masih berada di PPP dibuang perlahan-lahan secara sistemik melalui orang dalam PPP yang berafiliasi erat dengan orde baru. Beberapa kali upaya represi itu ternyata orde baru menghendaki NU terpecah, salah satu kasusnya adalah ketika Muktamar NU tandingan yang dipimpin Abu Hasan (Rifai, 2010 dalam Nofiaturrahmah, 2014). 

Pendanaan untuk fasilitas NU yang telah dikucurkan semasa orde lama, mendadak diputus. Pos leading sector yang dikuasai NU seperti Kementerian Agama perlahan oleh orde baru dibersihkan dari orang-orang NU. Dan rentetan represi pemerintah lainnya, NU pada akhirnya memutuskan untuk mengambil prinsip menjadi oposisi dari orde baru (Fealy, 2011:344 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Keteguhan prinsipil semacam itu, dipilih oleh NU dalam rangka untuk menerapkan fungsinya sebagai implementasi fungsi kontrol kebijakan pemerintah orde baru. Karena hanya dengan cara demikian, kritik tajam untuk mengawasi kebijakan dapat dilakukan. Selama orde baru mengakar 32 tahun lamanya, NU tak pernah punya tempat dan kesempatan untuk menawarkan ide dan gagasan tentang politik kebangsaan dan kerakyatan. Semua itu tertutupi oleh politik trah kekuasaan, Soeharto adalah orang yang paling bertanggungjawab atas semuanya.

Politik Kyai-Santri Era Reformasi

Tahun  1998 hura-hara gelombang besar menuntut Soeharto mundur tak terkendali. Bahkan, kalangan cendekiawan yang kalangan elit politisi diluar lingkar orde baru menyingsingkan lengan baju untuk bersiap-siap membaca sekaligus mampu menerima segala bentuk kemungkinan yang terjadi. Gus Dur salah satu tokoh sentral, sekaligus Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama' (PBNU) waktu itu, menjelang masa genting yang tak lagi mampu membendung kerusuhan ibukota, tepatnya di Ciganjur mulai mengonsolidasikan pemikiran dan strategi untuk mempersiapkana diri menjelang jatuhnya orde kepemimpinan terlama itu dan menatap reformasi. Bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X, Megawati, Akbar Tanjung dan Amin Rais konsolidasi bulat bagi kalangan akademis dan politis muda untuk menentukan sikap pada orde baru. Kalangan ulama, kyai, sesepuh, cendikiawan NU, badan otonom (Banom) NU taktis bersiap membaca keadaan. Hasilnya para kyai dan ulama sepuh tak tinggal diam, di Jawa Timur tepatnya di Pondok Pesantren Langitan dipimpin langsung oleh KH. Abdul Faqih, sepakat untuk memberikan pandangan tentang huru-hara 1998 di Jakarta, bahwa Pak Harto harus legowo (rela, red) mencopot jabatan presidennya itu (Rifai, 2010 dalam Nofiaturrahmah, 2014).  

Sekelumit kisah menjelang detik-detik reformasi, peran kyai dan santri begitu progresif dalam membaca keadaan dan potensi terburuk yang kemungkinan besar akan terjadi. Politik gaya otoritarianisme, telah membuat jenuh masyarakat ditengah krisis moneter, mendadak merubah manusia yang perutnya lapar menjadi serigala. Kendati ketika itu politik NU meneguhkan diri untuk menjadi entitas oposan, NU tetap berupaya untuk memberikan yang terbaik bagi terselenggaranya politik kebangsaan dan kerakyatan di masa depan.

Episode Terakhir Politik Islam Gaya Kyai-Santri Pemilu 2009 

Dominasi konstituen paska orba jatuh, ormas NU yang diwakili oleh PKB seringkali mengalami konflik internal di dalamnya. Perseteruan antar pimpinan yang notabene adalah ulama atau kyai, yang tentunya memiliki basis massa dari kalangan santri-santri pesantrennya, turut memperparah pecahbelahnya PKB. Muncul kemudian Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), berisikan kyai-kyai sepuh dengan asumsi partisipasi warga NU makin semarak, namun tidak demikian adanya. Justru prosentase suara pemilu Parpol Islam jeblok (turun drastis, red) diluar kalkulasi diatas kertas. Kenyatan demikian, menandai Parpol Islam tidak lagi diminati masyarakat. Publik mengasumsikan bahwa Parpol Islam ternyata tidak mampu mengolah partai. Hal ini sekaligus menjadikan Parpol Islam tidak memiliki modal sosial yang mumpuni dimata masyarakat (Dhakiri, 2013 dalam Nofiaturrahmah, 2014).

Politik Kekuasaan Kyai-Santri Cara Meraih Politik Kebangsaan dan Kerakyatan 

Syafiq Hasyim (2010) menyuplik dawuhnya KH. Sahal Mahfud yang menjelaskan tentang tiga jenis politik di NU. Dalam pertemuan di Rembang Jilid 2 itu, dengan dihadiri oleh sejumlah ulama NU struktural dan kultural, menyampaikan tujuh seruan kepada warga Nahdliyin sebagai panduan untuk menyikapi kondisi politik dalam tubuh organisasi yang akhir-akhir ini mengalami krisis. Pada butir pertama seruan tersebut menyebutkan tiga model politik yang selama ini dilakukan NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan (Indo Pos, 1 Juli 2004) (Hasyim, 2010:3). Dalam pandangan NU, politik kerakyatan menempati posisi yang utama dibanding dua jenis politik yang lain. Menjelang pemilihan Presiden Juli 2004 terdapat fakta politik yang menampilkan gerakan dukung-mendukung kelompok santri pada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Kelompok santri yang mengaku dari sebelas Pesantren besar di Jawa Timur tergabung dalam Barisan Santri Pendukung Wiranto-Gus Sholah (BSPWGS) dan Asosiasi Santri Indonesia (ASI) yang beranggotakan para santri dari 100 pondok pesantren mendukung Mega-Hasyim. Hal ini menunjukkan bahwa poros yang jelas antar kyai dan santri NU dalam kancah politik begitu adaptif mewarnai pergolakan politik negeri ini.

Selayang pandang dinamika politik yang dilakukan oleh para kyai-santri dari awal kemerdekaan hingga beberapa tahun terakhir. Dapat kita lihat pada satu pesan konkret tentang pesan politik para kyai dan santri. Yakni keberanian diri dalam berkontribusi penuh untuk perbaikan bangsa dan kesejahteraan masyarakat, kendati harus menjadi entitas yang dibuang sebagai oposisi. Kekuasaan menjadi basis tegaknya politik, melaluinya distribusi kebijaksanaan dan keadilan bisa tersalurkan secara merata pada publik. Namun kekuasan cenderung mengubah politik itu sendiri untuk menjadi diam ditempat, bukan sebagai "kekuasaan  untuk" tapi "untuk kekuasaan". Lalu bagaimana peran kyai, santri dan pesantren untuk mengubah implikasi negatif politik kekuasaan menjadi politik kebangsaan?

Tentunya kita harus kembali membaca kiranya, apa pesan dari para alim ulama, kyai dan sesepuh jauh dibelakang sejarah bangsa Indonesia. Pemikiran KH. Muchith Muzadi cukup menarik untuk mengubah pandangan melenceng dari politik yang tak lagi mengindahkan orientasi kemaslahatan bersma. Yakni, politik kebangsaan meneguhkan diri kita sebagai entitas kewarganegaraan untuk berkomitmen aktif dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Pandangan ini dimaksudkan bahwa elemen kemasyarakatan memiliki andil penting dalam upaya menjaga negara dari ancaman yang bersifat nasional maupun transnasional, dalam dimensi fisik maupun ideologi. Tentu pandangan ini hendak juga menyasar gejala kekinian bagaimana idoelogi Islam transnasional yang mulai kembali lagi menunjukkan gaungnya untuk memberi antitesis keislaman gaya nusantara atau Islam yang berbasis Ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyin, diganti Islam gaya arab. Kemudian, atas dasar kemajemukan suku agama dan ras masyarakat Indonesia, melaui politik kebangsaan diharap masyarakat Indonesia tidak berupaya untuk mencari perbedaan atas identitas-identitas tentu yang beragam dari masyarakat. Dengan semangat pluralisme, upaya untuk mencari kesamaan adalah cara pandang yang lebih menguntungkan ketimbang berupaya mencari pembeda-pembeda yang ada. Selanjutnya cara berfikir masyarakat dalam upaya mewujudkan politik kebangsaan, hendaknya bertumpu pada suatu kontruk teoritis Politik Simbolis Mutualis. Konstruk teori itu akan berimplikasi pada pemaknaan mendasar tentang apakah penting untuk menetapkan bentuk suatu negara dan ideologi yang mendasarinya. Melaui cara pandang demikian, posisi Islam akan ditempatkan sebagai sistem nilai yang baku dan tidak tergantikan dalam mewarnai gerak hidup masyarakat Indonesia (Muzadi, 2006 dalam Rofi'I, 2014).  

Metode berfikir KH. Muchith Muzadi yang berorientasi fiqh siyasah, artinya menjadikan nilai-nilai agama sebagai nuansa negara dan cara pandang masyarakat didalamnya. Beberapa hak-hak umum warga negara berdasarkan fiqh siyasah tersebut, meliputi; 1) Hak Persamaan (al-musawat). 2) Hak Kebebasan (al-hurriyat). 3) Hak kebebasan individu (al-hurriyat al-syakhsiyyat). 4) Kebebasan berkeyakinan. 5) Kebebasan tempat tinggal. 6) Hak mendapat pengajaran. 7) Hak untuk mendapat tanggungan dari negara (Al-kafalat) (Djazuli, 2003:98-100 dalam Rofi'I, 2014).

Jika ditilik secara historis, darimana dasar epistemologi dari cara berfikir KH. Muchith Muzadi merumuskan konsep tersebut? Sebenarnya terletak pada pemaknaan mendalam dari fiqh politik NU. Fiqh politik tersebut lebih kepada aturan sekaligus pemaknaan atas aktivitas politik kyai yang tak lepas dari kultur, nalar syariah dan sufistik kyai. Artinya, fiqh politik NU adalah konsepsi dasar tentang perilaku politik kyai yang terjadi di tengah masyarakat. Dahulu di era orde lama, fiqh politik NU berbentuk; Resolusi Jihad menjadi gerakan politik untuk menentang, melawan dan memberontak dari penjajahan. Kemudian, mendesak pemerintah ketika itu untuk membubarkan PKI. Dan penerimaan asas Pancasila sebagai dasar pijakan bersama warga negara Indonesia (Ismail, 1999:17 dalam Warid, 2009).

Teori politik kebangsaan NU, yang selama ini menjadi dasar pijakan warga NU yang bergerak dalam wilayah politik, agama, budaya, sosial kemasyarakatan, meliputi; 1) Penetapan sikap dan cara pandang nasionalisme dan patriotisme sebagai rujukan bagi warga NU, untuk senantiasa ingat kembali pada gerakan politik kebangsaan, dan sebisa mungkin untuk terhindar dari jebakan-jebakan politik praksis yang oportunis menggapai kekuasaan semata. 2) Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 yang lazim disimplisitkan menjadi PBNU, adalah ruh, jiwa atau entitas murni yang patut dijaga dirawat, bahkan dengan pertumpahan darah jika dimungkinkan. 3) Ahlusunnanwaljamaah an-nahdliyin (Aswaja) secara cara pandang, cara bersikap dan cara berperilaku secara sosiologis dan keagamaan bagi kalangan warga NU (Rofi'i, 2014).

Pesantren, Kyai and Santri The New Kind Institutional of Civil Soceity in Indonesian Politic

Civil society kita butuh itu. Bukan lagi ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau banom Parpol yang gemar membawa proposal ke dinas-dinas pemerintah dimana induk semang organisasinya tengah menguasai sektor birokrat tersebut. Tapi pesantren, kyai dan santri yang memobilisasi jalannya demokrasi melalui politik gagasan atau politik praksis. Civil society merupakan wilayah yang menjamin murninya perilaku dan refleksi kritis mandiri, yang tidak terkungkung oleh ketetapan konstitusional yang dibuat oleh lembaga-lembaga politik. Kemandirian kelompok atau individu civil society saat berhadapan dengan negara, memudahkan terciptanya ruang-ruang publik terlibat dalam diskusi wacana atau isu tentang kebijakan publik yang dibuat oleh masyarakat (Hasyim, 2009).

Tujuannya adalah melakukan upaya backup atau perlindungan dari negara jika sewaktu-waktu negara secara ankonstitusional sewenang-wenang menciptakan kebijakan tanpa dasar moral atau etika publik. Kemudian civil society bertindak menjadi kekuatan moral penyeimbang negara. Yang artinya civil society memiliki kekuatan dan modal intelektual untuk menyeimbangkan kekuatan negara yang bermodalkan senjata, undang-undang dan statistik survei. Tentunya dengan segala bentuk persiapan itu, civil society tidak dalam rangka untuk mencapai kekuasaan itu sendiri. Artinya civil society tidak berkepentingan untuk mendulang jumlah suara pemilih momentum pemilu atau mencari celah agar masuk dikonstituen parlemen, namun civil society dikatakan hanya bertugas ketika problematika yang diadvokasikan telah terwujud terurai atau terselesaikan dengan baik. Kesemuanya itu menandakan bahwa adanya civil society, tubuh demokrasi kita yang ringkih dan rentan penyakit kolusi, korupsi dan nepotisme sembuh dan membaik. Lantas siapa mereka yang berpotensi menjadi entitas mulia bernama civil society? Yakni mereka yang disebut santri dan mereka yang disebut akademis perguruan tinggi (Hasyim, 2009).

Para santri dan akademis perguruan tinggi, bertindak sebagai pengawas pelaksanaan program pemerintah, entah dalam bentuk kontrol sosial, rekayasa sosial yang sebelumnya didahului analisis sosial. Hal itu disadari dengan itikad agar tercapainya good governonce dan civil society. Dasar fikiran good governance itu, ketika implentasi nilai keislaman dan demokrasi Indonesia bersinergi kedalam bentuk baku hukum, maka diharap yang tercipta adalah; 1) Perlindungan konstitusional atas hak individu. 2) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak. 3) Pemilihan umum yang bebas. 4) Kebebasan berpendapat. 5) Kebebasan untuk berserikat, berorganisasi dan beroposisi. 5) Pendidikan kewarganegaraan (Hasyim, 2009).

Problem lama, Politisasi Agama oleh Elit Politik dan Ulama

Berangkat dari tipologi kyai politik yang didalamnya jenis kyai yang terjerat kasus hukum, menandai implikasi negatif keterlibatan kyai pesantren dan politik. Politik menjadi bernilai positif bagi para kyai atau entitas pesantren ketika politik diijtihadkan sebagai sarana penting untuk menjadi bangsa yang adil, aman dan sejahtera (baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur). Dengan cara mengangkat orang terpercaya untuk dijadikan pemimpin dalam arti negara sekuler, bukan pemimpin agama.  Politik juga dapat diartikan sebagai investasi jasa amal soleh kaum santri (ahli ilm wal khoir). Oleh karenanya pesantren yang disebut diawal menjadi entitas baru yang lebih bermanfaat dalam politik daripada partai politik. Namun politik bisa bernilai negatif, ketika tidak ada pembeda secara filosofis antara politik dan agama. Akhirnya yang terjadi adalah politisasi agama, entah dilakukan oleh kyai pesantren terhadap politik atau elit politik terhadap kyai pesantren. Politik adalah perkara duniawi, dan ajaran Agama Islam merupakan sistem nilai yang mampu memaknai perkara dunia. Dari sini cukup terang pemahaman kita tentang politisasi agama, yakni cara pandang tidak mendasar tentang agama itu sendiri dan cara pandang keliru tentang politik itu sendiri (Alfa-SA, 2014).

Namun secara akademis, dilarang terjebak pada penafsiran istilah yang variabel teorinya tidak jelas, tentang politisasi agama. Lalu bagaimana mensiasatinya, ketika sudah menggejala menjadi fakta sosial yang marak dimasyarakat?

Menurut Munawir Sjadzali, ada 3 jenis pandangan yang munculnya dari kelompok ulama sekaligus cendikiawan atau filsuf yang memiliki karakteristik pemahaman tentang Islam dan negara, yakni; 1) Kelompok yang berisikan tokoh seperti Rashid Rida, Sayyid Qutb dan Al-A'la Al Maududi. Memandang Islam merupakan ajaran yang menyangkut ketuhanan termasuk menyangkut pula seluruh entitas alam dan agama-agama. 2) Kelompok yang berisikan tokoh seperti Ali Abd al-Raziq dan Toha Husayn. Berpandangan bahwa Islam hanyalah urusan tentang perkara agama semata, tanpa menghiraukan perkara politik. 3) Kelompok yang diisi oleh tokoh Husayn Haykal. Berpandangan bahwa Islam memang diakui sebagai ajaran yang tidak lengkap, namun tidak serta merta memisahkan masalah kehidupan manusia, termasuk ketika hidup bernegara (Sukardjo, 2002:191-223 dalam Hasan, 2014).

Ketiga kelompok tersebut, berpandangan secara berbeda tentang bagaimana penyikapan Islam terhadap politik, tentu pandangan ketiga kelompok tersebut memahami keberadaan politik dan negara di dunia ini sebagai salah satu perkara yang patut diperbincangkan dengan nas al-Quran dan nalar berfikir Islam. Artinya secara garis besar, jika memilih kedua pandangan yang pro terhadap implementasi nilai islam untuk diterapkan dalam kehidupan berpolitik dan bernegara, Islam sebagai sistem nilai universal dalam ukuran khusus yang terus menerus diijtihadkan oleh para ulama dan ditafsirkan terus-menerus mengikuti kontek zamannya, Islam menjadi sistem nilai yang ideal dalam memandu cara berfikir manusia untuk mengerti, memahami sekaligus memaknai politik dan negara.

Apabila, staus ontologi dari kedua entitas universal itu telah terurai, maka sekarang, bagaimana Islam sendiri berfikir secara teoritik tentang penerapan proses politik kenegaraan. Agama dan kekuasan dalam perspektif politik Islam, menurut Ignas Kleden (2000) meliputi; 1) Kekuasaan dan ideologi bersifat saling menguatkan. 2) Ideologi adalah upaya mereligiofikasi konsep ideologi. Dan religiusitas adalah upaya mengideologisasikan ajaran agama. 3) Hubungan politik dan agama jika terjadi sungguhan, dapat dipastikan akan muncul perluasan sosial. 4) Hubungan politik dan agama, juga menandai persaingan antara keduanya dalam hal peran dan fungsi di dalam negara. 5) Agama didalam negara akan memiliki fungsi ganda menjadi corak berfikir negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, keadilan atau pengurai konflik. Ketika berada dalam ruang-ruang personal peribadatan, membuat psikologis manusia tenang, arif dan bijaksana dalam kehidupan. 6) Ketika muncul konflik, agama mampu berperan sebagaimana situasi konflik menghendaki, entah untuk berwatak ideologis mirip seperti negara. Ataupun berwatak utopia menyelesaikan konflik dengan cara-cara baru yang mustahil bisa dilakukan negara (Kleden, 2000:21-32 dalam Hasan, 2014). Secara garis besar, upaya ijtihad menggunakan akal untuk membaca nas agama, dalam memberi tafsir pertimbangan tentang baik buruknya Islam bersentuhan dengan politik. Agama turut meredusir menjadi satu kebaikan-kebaikan yang ada, dan mengijtihadkan kembali kemungkinan mudharat yang diprediksi akan muncul. Artinya agama, politik dan ketatanegaraan dalam arti universal saling berkelindan satu sama lain sesuai pemaknaan yang diinginkan suatu masyarakat di sebuah negara.

Bukan Mental Intelektual Bila Masih Meminta Tips dan Solusi Ces-Pleng Atasi Kronik Politik di Negeri Ini

Tiba saatnya kita pada gerbang bibir post-modern. Disadari atau tidak kita telah menuju jauh kebelakang kerongkongannya. Era post-modern, suka atau benci, senang atau muak, tahu atau tidak, belakangan memporak-porandakan sistem sosial, tata nilai, produk hukum, pemaknaan normatif dan lain sebagainya, yang semula kita pahami telah baku, paten, absolut dan tak akan pernah berubah sampai kapanpun, kini berubah menjadi tidak baku, relatif, temporal, elastis dan moderat. Begitu halnya dengan politik, yang mana didalamnya bukan sekedar tata nilai, etika dan konsep dasar para ilmuwan, mendadak berubah menjadi sesuatu yang lain, tak dikenal, kontroversial, aneh bahkan absurd. Gerak kehidupan zaman, dari segala sisi makin relatif, konstruk teoritik yang semula paten dalam ilmu pengetahan, seni, politik bahkan agama, terus-menerus diijtihadkan kembali, ditafsirkan ulang lagi, dengan cara pemaknaan baru yang berbeda sama sekali, post-modern adalah era dimana cara berfikir lama, mendadak menjadi tak bergairah untuk memaknai realitas baru dimana dirinya berada (Best & Kellner, 1991:5 dalam Ritzer & Goodman, 2011).

Dalam keluh kesah kita soal politik, bibir jaman itu, telah mengoyak lantas menelan kita hingga membuat kita menjadi lupa akan nilai-nilai etika politik yang semula telah baku, kini berupa menjadi tidak baku, esensial kini menjadi non-esensial. Yang semula kita paham, tanpa berbelit pakai paradigma agama atau hukum pidana, cukup dengan nalar normatif biasa, bahwa mencuri ayam adalah suatu tindakan yang merugikan orang lain, juga diri sendiri, kini telah berubah bahwa mencuri ayam adalah biasa, selama tidak ketahuan, selama si pencuri sesegera mungkin menjual hasil curiannya. Mencuri tidaklah masalah. Sama halnya dengan korupsi, kini diartikan bukan sebagai perilaku pencurian, selama rasionalisasi melalui laporan pertanggungjawaban (LPJ) dan manipulasi surat menyurat bisa dibuktikan secara sah mirip surat aslinya dan rasional penggunaan anggarannya. Kata korupsi tidaklah ada. Berarti, kesimpulannya adalah mencuri ayam atau korupsi uang rakyat adalah lumrah biasa dan tak masalah.

Mengapa kita sebut pengecut, naif dan absurd jika ada seorang akademis atau intelektual yang gemar meminta pendapat secara konkret, tergesa-gesa, inginya ces pleng untuk mengetahui bagaimana caranya memungkasi problem politik bangsa ini yang terjadi beberapa hari ini. Jawabannya gampang. Baca buku-buku dasar ilmu politik, disana tertera semua. Artinya jawabannya atas masalah anda, selesai. Tentunya bukan itu yang hendak kita maksud. Cendikiawan adalah seorang yang berani mengurai realitas yang bermasalah, ketika masyarakat yang bukan akademis takut  memahami realitas itu. Kondisi yang tak pernah ada tentang politik amoral hari ini, bagi kalangan cendikiawan hendaknya secara fundamental dan berani untuk mendalami itu lebih dalam, untuk menemukan apa kiranya problem mendasar dari perilaku para elit secara individu dan kelompok begitu amoral cara berpolitiknya. Atau, jika dimungkinkan, butuh suatu bentuk kesadaran yang mati-matian dipupuk agar membuat nyali diri anda berani, ketika masuk kedalam politik praksis menjadi partisipan konstituen di parlemen entah melalui Parpol atau tidak, lalu didalamnya anda mengubah secara radikal traktat dan dasar hukum dengan mencabut UU  dan menariknya peraturan-peraturan pemerintah yang saat ini, yang dinilai tidak pro-rakyat. Pertanyaan ini harus dijawab oleh para akademis, bagi yang kebetulan membaca atau mendengar ini; Anda berani atau tidak?

Satu temuan menarik dari dinamika politik ulama NU dalam historisitas yang pernah terjadi di era orde baru, dengan berani menjadi oposisi. Bagi penulis, merupakan satu pesan politik yang biasa saja dalam kancah politik nasional, namun sarat akan makna.

Oposisi, jika kita membaca status ontologinya. Adalah suatu bentuk kegiatan parlementarian yang paling terhormat dalam negara demokrasi (Gerung, 2008). Mengapa? Karena secara terang-terangan pihak oposan memilih untuk keluar dari parlemen, menghindar dari jaring laba-laba kekuasaan, untuk duduk di kursi tribun stadion dan menonton. Apa yang ditonton? Adalah demokrasi negara yang sedang dirawat oleh segelintir elit yang merepresentasi mayoritas publik di parlemen. NU ketika itu dapat diartikan, memahami betul, dan memiliki prediksi panjang untuk masa depan bahwa demokrasi di Indonesia tengah berada pada keadaan buruk, karena dipelihara oleh cara otoritarianisme kekuasaan. Oleh karenanya NU memilih untuk keluar dan meneguhkan diri sebagai oposisi. Demokrasi itu sebenarnya rentan akan mayoritarianisme, entah dalam pengertian mayoritarianisme agama atau mayoritarianisme kelompok kesukuan. Yang jelas, cara menyelamatkan demokrasi yang mengalami kekacauan macam itu, hanya mampu diselesaikan dengan keluar dari rumah besar itu dan berdiri tepat diluar batas pagar, untuk menjadi oposisi.

Tentu yang dilakukan NU ketika itu, bukan semata-mata akibat rasa geram dan keinginan balas dendam atas beberapa konstituennya di tendang pelan-pelan oleh orde baru lewat orang dalam kader PPP, atau hilangnya penguasaan leading sector utama, yakni kementerian agama yang pelan-pelan orang NU ditelanjangi oleh orde baru menggunakan tangan orang-orang Islam modern. Atau karena beberapa kali Soeharto, ikut campur acara sakral ke-NU-an di prosesi Muktamar NU, dengan maksud memecah belah NU dari dalam. Tapi satu hal, yang kita pahami betul hanya dengan cara itu demokrasi terjamin netralitasnya dan terhindar dari mayoritas yang memonopoli kebenaran. Artinya, NU memilih oposisi dalam rangka agar fungsi kontrol terhadap pemerintah dapat senantiasa menyeimbangkan tendensi otoriter yang terjadi pada orde baru. Namun tidak semata-mata oposisi dapat diartikan sebagai legalnya hak untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa, namun agar terjamin pula partisipasi popular publik dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan parlemen (Gerung, 2008).

Lalu, dengan cara apa politik oposisi bisa berjalan? Hanya satu prinsip dasarnya yakni filsafat falibilisme. Falibilis, merupakan sikap seorang intelektual untuk tidak pernah, bahkan dilarang berhenti pada suatu jawaban atau anggapan yang muncul. Filsafat falibilisme, epistemologi dasarnya menempatkan diri manusia sebagai makhluk yang terus menerus berbuat salah dan kesalahan itu sifatnya permanen. Oleh karenanya, dibutuhkan kritik tanpa henti agar si manusia senantiasa terjaga dan menjaga segala aktivitas hidupnya dengan baik dan benar. Dasar berfikir filsafat falibilis ketika digunakan membaca demokrasi dan politik suatu negara, menempatkan negara dan segala bentuk sistem yang digunakannya sebagai sasaran kritik terus-menerus. Karena kita tahu, status ontologi dari demokrasi adalah suatu sistem politik yang paling buruk, karena demokrasi adalah mengumpulkan orang-orang bodoh, dengan satu prinsip dasar tentang teori kesetaraan; isinya publik memiliki kesempatan dan hak yang sama berpartisipasi dalam kancah politik di parlemen. Tentu, jika secara harfiah memahami demokrasi sebagai sistem yang buruk hingga menjadi implementasi bentuk baku sistem pemerintahan, maka yang sering terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa adalah demokrasi menjadi pijakan bagi otoritarianisme. Oleh karena itu, filsafat falibilisme hadir untuk mengoreksi terus-menerus, mengkritik tanpa henti, berdebat terus-menurus dengan satu itikad paling mulia, dan tentunya tanpa unsur politik, agar demokrasi terus berubah dan berkembang menjadi sistem yang mampu mengatur gerak kehidupan manusia didalamnya (Gerung, 2008).

Itikad dasar untuk menjadi oposisi, dengan berfikir secara falibilis, telah kita pahami. Oposisi selain menjamin bebasnya mengkritik, juga menjamin partisipasi penuh publik tidak boleh dibatasi oleh apapun termasuk agama, ketika menyangkut kepentingan publik. Karl Jaspers, menegaskan pada kita bahwa manusia memiliki rasionalitas, dan rasionalitas itu dibutuhkan sebagai alat untuk berpolitik. Rasionalitas yang menjadi hak bagi setiap warga negara, didalam negara demokrasi hendaknya membuka seluas-luasnya partisipasi publik di dalam negara. Dengan kata lain, setiap warga negara memiliki hak atas dirinya untuk menjadi setara dimata negara (Bronner, 1997 dalam Gerung, 2008). Bentuk kesetaraan itulah yang dimanfaatkan oleh cendikiawan dan para civil society untuk menegaskan diri dimata negara bahwa mereka patut didengar. Ketika selama ini politik hanya milik para elit, dan partisipasi publik sebatas dalam pemilu. Maka yang bisa dilakukan bagi para akademisi, cendikiawan, mahasiswa, santri dan entitas pesantren adalah menjadi oposisi untuk melakukan fungsi kontrol sebagai civil soceity. Dengan cara, menyelenggarakan debat, diskusi atau simposium yang isinya mempercakapkan atau mendiskusikan ulang setiap isu atau kebijakan publik yang munculnya dari pemerintah. Kemudian, melakukan pengawasan terhadap proses distribusi kekuasaan yang ada diparlemen, apakah representatif mewakili kepentingan publik atau tidak. Dibutuhkan lembaga independen yang dapat melakukan counter terhadap hegemoni kekuasaan yang munculnya dari civil society, seperti kampus, pers dan pesantren. Karena hanya lembaga yang muncul dari civil society yang secara lugas tidak berhubungan dengan kekuasaan manapun dan ada jaminan untuk terus menerus melakukan kontrol, koreksi dan kritik terhadap penguasa (Gerung, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Matondang, D. (Juli 20, 2017). Survei Kepercayaan Publik: KPK-Presiden Tertinggi, DPR Terendah. Retrived from http://www.detikNews.com

Faiz, A. (Maret 23, 2017). Survei: Partai Politik Makin Tidak Dipercayai Masyarakat. Retrived from http://www.Tempo.co

Muluk, Hamdi. 2010. Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta: PT. Raja. Grafindo Persada.

Syafiq, Hasyim, Tiga Jenis Politik NU dalam Nahdlatul Ulama; Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara

Harian Indoprogress. (Februari 28, 2014). Golongan Putih: Dari Alienasi ke Oposisi.  Retrieved from: http://indoprogress.com/

Makhosi, L. 2016. Orientasi Ideologis dan Pragmatisme Politik Mode Pembentukan Koalisi Pilkada Serentak Jateng 2015. Jurnal Fisip, Vol. 19 No. 3 Maret 2016

Hasan, N. 2014. Agama dan Kekuasaan Poltik Negara. Jurnal KARSA Fakultas Tarbiyah STAIN Pamekasan Vol. 22 No. 2, Desember 2014

Gerung, R. 2008. Etika Politik Oposisi. Jakarta: Universitas Indonesia Depok.

Syam, Nur. 2010. Partai Politk di Iran Paska Revolusi Paradigma Jarak Ideologi. Jurnal Ilmu Dakwah No. 3 Tahun III Juni 2010

Masdliyah, S. 2011. RB3 dan Pondok Pesantren Sebuah Potret Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jurnal Masyarakat Berdaya, Vol. 1 No. 1 Mei 2011

Muhid, A. 2011. Pondok Pesantren Agrobisnis: Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui usaha agrobisnis berbasisi kerakyatan di pondok pesantren sunan drajat paciran lamongan. Jurnal Masyarakat Berdaya, Vol. 1 No. 1 Mei 2011

Hasyim, M. 2009. Nilai Islam dan Transformasi Demokrasi di Indonesia. Congres Proceeding; Dakwah dan Pembangunan bangsa. Asosiasi Profesi Dakwah (APDI) Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya Mei 2009

Napir, S. 2014. Urgensi Etika Politk Indonesia. Opini Kompasiana. Retrieved from http://kompasiana.com/

Kholil, M. 2011. Menggagas Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Muslim Indonesia. Jurnal Media Akademika, Vol. 26 No. 3, Juli 2011

Yusuf, H. 2012. Pergumulan Pemikiran Politik Kontemporer. Jurnal TAPIs, Vol 8 No. 2 Juli-Des 2012

Siswanto, A., H. 2014. Moral Kiai Politik: Studi Relasi Kyai Politik Di Jawa Timur. Disertasi Doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya

Nofiaturrohmah, F. 2014. Melacak Peran kyai-santri dalam politik kebangsaan. JIE, Vol. III No.1 April 2014

Wiwoho, B. (September 1, 2017). 32 Persen Politikus Terjerat Hukum, KPK Sambangi Parpol. Retrived from http://www.CNNIndonesia.com

Felisiani, T. (November 18, 2017). Bekas Fungsionaris Golkar: Hati-Hati Kena UU ITE Menyebarkan Meme Setya Novanto. Retrieved from: www.tribunnews.com

Warid, A. 2009. Fiqh Politik NU: Studi Pergeseran dari Politik Kebangsaan ke Politik Kekuasaan. Jurnal Asy-Syari'ah, Vol 43 No.1 Tahun 2009

Rofi'i, A. 2014. Politik Kebangsaan NU perspektif pemikiran KH Abdul Muchith Muzadi. Jurnal Al-Daulah, Vol. 4 No.2 Oktober 2014

 Ritzer, G., & Goodman, D., J. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun