Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negarawan dari Dapur Parpol atau Ponpes?

22 Oktober 2018   18:51 Diperbarui: 22 Oktober 2018   19:11 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tipologi mengenai kyai politik ini tentu memperjelas pemahaman kita bahwa karakteristik perilaku politik yang dilakukan kyai begitu beragam dan tidak dapat serta merta untuk memaknai secara general dan harfiah tentang hakikat perilaku politiknya. Membaca relasi antara moralitas kyai dan politik yang berkenaan dengan dirinya, dalam pandangan sosial kritis Anthony Gidden, menunjukan bahwa relasi ketiganya hendak dimaksudkan untuk menciptakan perilaku politik berbasis moralitas keutuhan, kendati pada akhirnya ada suatu bentuk hasrat untuk memperoleh reinforcement positif dari aktivitas politik, misalnya politik sedikit banyak akan memberikan masukan secara materiil untuk pesantrennya. Namun keseluruhan dinamika itu menunjukkan ketiganya memiliki relasi yang bersifat integratif (Siswanto, 2014).

Implikasi dari relasi antara ketiganya apa? Adalah mengakarnya moralitas yang spesifik dari perilaku politik yang nampak. Moralitas itu diantaranya; 1) Kyai Bermoral Mediatif-Transaksional, yakni mentalitas semacam ini menganggap politik sebagai media atau jaringan dari pesantren untuk mencapai kekuasaan dengan etika dagang atau jual-beli.

2) Kyai Bermoral Administratif-Manipulatif, mentalitas semacam ini menganggap aturan sebagai suatu yang arus ditaati dan disesuaikan, kendati pada akhirnya harus memanipulasi untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara-cara amoral.

3) Kyai Bermoral Pragmatis-Faksionis, mentalitas semacam ini mengandalkan modal finansial ekonomi pribadi dan golongan dalam perilaku politiknya. Sehingga sama sekali tidak nampak kesadaran atas moral ketuhanan dan moral kemanusiaan (Siswanto, 2014).

Kyai dalam pusaran politik, mungkin hari ini akan dinilai sama buruknya dengan politik yang lazimnya dipahami masyarakat. Akibat politik belakangan ini, hanya menyisahkan kepalsuan dan kemunafikkan, seorang kyai yang turut berpartisipasi dalam kancah politikpun tak luput dari getahnya. Kyai beberapa pandangan dinilai sebelah mata. Ada yang mengkritik, dengan alasan seorang kyai nampak tabu bermain dan turut serta berpolitik secara praksis, karena ada asumsi kyai tak memiliki basis pengetahuan soal ilmu politik atau politik dapat melunturkan citra sebagai sebagai alim ulama. Namun disatu sisi harapan terbesit, tentang politik yang kotor ini akan berubah seiring dengan partisipasi kyai dan santri untuk masuk mewarnai dunia politik bikrasi pemerintah (Azizah, 2013:73 dalam Siswanto, 2014).

Kendati demikian, jangan kemudian menyamakan pergulatan politik yang dilakukan para kyai hari ini dengan kyai era pra kemerdekaan. Menurut Azizah kecenderungan kyai untuk masuk dalam kancah politik telah dimulai jauh sejak pra-kemerdekaan. Kiai berperan dalam upaya mengusir penjajah dengan memberikan dukungan moral termasuk energi untuk bertempur langsung di medan peperangan. Dari dalam pesantren kyai turut pula menyusun strategi dan taktik melawan penjajah. Dan turut memberikan kontribusi pemikiran dan moral menjelang prosesi kemerdekaan (Azizah, 2013:60).


Politik Kyai-Santri Era Revolusi Kemerdekaan

Dahulu, bahkan hingga sekarang kita mengenang seorang ulama besar, Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama', merupakan salah seorang kyai yang turut membentuk pasukan militer muda berani mati bertempur fisik melawan penjajah, bernama Laskar Sabil li-Allah, Laskar Mujahidin dan Laskar Hizb Allah. Pembentukkan pasukan militer yang dikomandoi langsung oleh para kyai sepuh ketika itu, menandai bahwa kyai memiliki andil secara strategis dan taktis untuk menumpas kesewenang-wenangan penjajah. Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari dikenal sebagai seorang kyai yang keras ketika bersikap terhadap Belanda. Tahun 1937, kakek dari Abdurahman Wahid (Gus Dur) itu pernah menolak mentah-mentah anugerah bintang jasa yang diberikan dari Belanda. Dapat disebut, Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari kala itu sedang berpolitik. Tapi berpolitk dalam pengertian memperjuangkan kemerdekaan (al-Hurriyah) sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, tanpa campur tangan bangsa lain. Politik dalam pengertian semacam ini tentu, tidak dapat disamakan dengan pengertian politik yang berlakangan ini teredusir perlahan hingga sampai pada bukan makna aslinya. Yakni politik untuk kekuasaan. Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, selain turut andil dalam kancah politik di medan pertempuran, beberapa tokoh nasional seperti Jendral Soedirman dan Bung Tomo, seringkali melakukan konsolidasi langsung dengan Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari untuk memperoleh pertimbangan strategi melakukan perlawanan pada penjajah (Masyhuri, 2006:287 dalam Nofiaturrahmah, 2014).  

Adapun ulama lain, sejawat dengan Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, yakni KH. Wahab Chasbullah. Seorang ulama yang turut mengonsolidasikan kekuatan pasukan dari para santri untuk melakukan perlawanan pada Belanda, dibeberapa wilayah; Malang, Ambarawa, Mojokerto dan Magelang (Rifai, 2010:106 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Oktober 1945 muncul maklumat yang ditulis Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, Resolusi Jihad tentang "hubb al-watnn min al-iman" sontak mengilhami gerakan-gerakan perlawanan dari para santri untuk terlepas dari belenggu penjajahan. Munculnya Resolusi Jihad itu, sebenarnya menandakan akhir dari tesis Snouch Hurgronje, yang mengangap kaum santri muslim di tanah jajahan bumi nusantara, kurang lebih sama dengan kaum muslim Sunni yang pasif di timur tengah (Nofiaturrahmah, 2014). Yang lain, seorang ulama progresif muda NU, putra dari Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari, bernama KH. Wahid Hasyim, turut pula membidani lahirnya Negara Indonesia. Seorang cendikawan muda NU yang agamis dan nasionalis itu didapuk menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPKI) yang ketika itu dipimpin Soekarno, untuk urun rembuk (menyumbangkan pemikiran, red) dalam penyusunan teks mukaddimah UUD 1945 (Dhofier, 2011:150 dalam Nofiaturrahmah, 2014). 

Sejak kelahiran Negara Indonesia pada Agustus 1945, beberapa leading sector kekuasaan strategis birokrasi negara yang baru berdiri itu, pun diisi oleh para kyai dan ulama. Beberapa diantaranya; 1) KH. Wahab Chasbullah, ketika itu menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (Rifai, 2010:106 dalam Nofiaturrahmah, 2014). 2) KH. Wahid Hasyim, didapuk menjadi Menteri Agama pertama RI. 3) KH. Zainul Arifin mengisi pada posisi Wakil Perdana Menteri mendampingi Ali Sastroamijoyo. 4) KH. Mohammad Hanifah mengisi pada posisi Menteri Agraria. 5) Mr. Sunarjo menjadi Menteri Dalam Negeri. Dan, 6) KH. Fatah Yasin menjadi Menteri Sosial. Demikianlah catatan tentang kyai yang turut berkontribusi pemikiran dalam kancah politik tanah air di awal kemerdekaan (Fealy, 2011:359-360 dalam Nofiaturrahmah, 2014). NU mendaulat diri menjadi salah satu parti politik untuk mengikuti pemilu pertama yang diklaim menjadi pemilu paling demokratis dengan ragam Parpol yang membawa basis ideologi dan pemikirannya masing-masing, di tahun 1955. Tanpa diduga, setelah umpatan dan hujatan dari berbagai macam Parpol lainnya, yang menganggap partai NU tidak memiliki pengetahuan tentang politik, karena terlalu kolot dan tradisional. NU menempati posisi ketiga pendulang suara terbanyak, setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berada diurutan pertama dan Masyumi diurutan kedua, setelah Partai NU diposisi ketiga disusul kemudian pada urutan keempat PKI dan urutan kelima Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) (Salim, Fauzan & SHoleh, 1999:16 dalam Nofiaturrahmah, 2014). Perolehan hasil signifikan pada Pemilu pertama itu, menunjukkan bahwa NU sebagai basis Parpol atau organisasi keagamaan yang bergerak di masyarakat, turut mendukung terselenggaranya proses demokrasi di Indonesia (Rifai, 2010:118 dalam Nofiaturrahmah, 2014).

Politik Kyai-Santri di Era Orde Baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun