Mohon tunggu...
LUCKY PERMANA M.Si.
LUCKY PERMANA M.Si. Mohon Tunggu... Pemerhati Kebijakan

=Berpijak pada iman, ilmu, dan pengalaman nyata, memadukan latar statistik dan refleksi hukum untuk mendorong kebijakan publik yang adil dan berpihak pada kemanusiaan. = Adz-Dzariyat[51]:56 | Ali Imran [3]:74 | An-Nisa [4]:114

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Refleksi Surat Waris dan Pentingnya Integrasi Data Kependudukan

15 September 2025   10:52 Diperbarui: 15 September 2025   10:52 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga tahun lalu, ketika ayah wafat, keluarga kami berhadapan dengan kenyataan yang mungkin akrab bagi banyak keluarga Indonesia: mengurus administrasi kematian. Dokumen yang paling mendesak? Surat Keterangan Ahli Waris (Surat Waris) untuk meneruskan pensiun ayah kepada ibu.

Secara teori, ini urusan sederhana. Nama ahli waris tinggal dicatat, lalu diverifikasi lewat data kependudukan yang sudah tersimpan rapi. Tapi nyatanya, tidak sesederhana itu. Prosedur yang kami kira formalitas belaka malah berubah menjadi perjalanan birokrasi yang panjang dan, jujur saja, melelahkan bagi keluarga yang sedang berduka.

Sebabnya? Ahli waris kami tersebar di tiga wilayah administrasi berbeda. Satu di kecamatan lain, satu lagi bahkan di provinsi lain. Bukankah sekarang sudah serba digital, seharusnya jarak tidak lagi menjadi masalah?

Ketika Format Mengalahkan Substansi

Pengurusan dimulai di kelurahan tempat almarhum berdomisili. Surat Waris sudah dibuat lengkap dengan daftar ahli waris dan lampiran yang perlu disahkan camat serta lurah sesuai domisili masing-masing ahli waris. Di titik ini masalah mulai bermunculan:

  • Kelurahan di provinsi lain menolak menandatangani lampiran hanya karena format berbeda. Aneh, karena substansinya sama saja: pengesahan bahwa seseorang benar-benar penduduk setempat sekaligus ahli waris sah.
  • Kecamatan di provinsi yang sama tidak mempermasalahkan format, tapi menolak menandatangani lantaran Surat Waris tidak mencantumkan jenis asuransi secara spesifik. Padahal kelurahan dan kecamatan domisili ayah tak mempersoalkan hal ini, dan salinan sertifikat asuransi sudah terlampir.

Yang membuat heran, hampir di semua wilayah yang kami datangi, layanan satu pintu ternyata hanya slogan. Pengurusan Surat Waris ini harus lewat ruang pejabat, bukan meja layanan terpadu. Bukankah konsep layanan satu pintu justru dibuat untuk menghapus praktik seperti ini? Rasanya aneh melihat standar pelayanan yang tidak sama, bahkan untuk urusan yang sama pula.

Ketika Teknologi Belum Menyentuh Kebutuhan Dasar

Masalah ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: administrasi kita masih terfragmentasi. Formatnya berbeda, syaratnya berbeda, padahal ujung-ujungnya cuma satu: memastikan status kependudukan seseorang.

Ironisnya, proses sudah dimulai dari tingkat RT dan RW, level birokrasi paling dekat dengan warga, yang paling tahu kondisi riil keluarga. Tapi legitimasi dari bawah ini masih harus diulang-ulang di level atas, seolah tak cukup dipercaya.

Sekarang kita sudah punya NIK yang terintegrasi secara nasional. Seharusnya verifikasi hubungan keluarga bisa dilakukan jauh lebih efisien. Sistem ideal bukan hanya mengenali hubungan keluarga dalam satu Kartu Keluarga (KK), tapi juga menghubungkan keluarga lintas KK dan lintas daerah. Bukankah ini esensi digitalisasi layanan publik yang sering digembar-gemborkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun