Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Kesehatan Mental Harus Masuk Strategi Pertahanan Nasional?

11 Oktober 2025   09:01 Diperbarui: 11 Oktober 2025   01:24 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stres. (PIXABAY/FREE-PHOTOS via KOMPAS.com)

Setiap tahun, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia pada 10 Oktober. Tahun 2025 ini, peringatan itu terasa berbeda. Dunia sedang tidak baik-baik saja. 

Dari krisis iklim, perang yang berkecamuk, sampai ketegangan politik yang tak kunjung reda, semua membuat kita hidup dalam suasana penuh ketidakpastian. Di tengah situasi yang tidak stabil itu, kesehatan mental menjadi hal yang semakin rapuh dan terabaikan.

Kemajuan teknologi informasi membuat kita bisa mengakses berita dari seluruh dunia hanya lewat sentuhan jari. Namun, kemudahan itu juga berarti kita terpapar pada rentetan kabar buruk setiap hari --- tentang perang, bencana, kekerasan, dan ketidakadilan. 

Dalam jangka panjang, paparan seperti itu dapat menimbulkan kecemasan kolektif. Banyak orang merasa takut, lelah, atau bahkan mati rasa, tanpa sadar bahwa mereka sedang menghadapi tekanan psikologis.

Jika pertahanan nasional didefinisikan sebagai upaya menjaga keutuhan bangsa, bukankah jiwa yang tenang dan sehat juga bagian dari pertahanan itu? 

Saat masyarakat diliputi stres dan kehilangan harapan, maka rapuhlah benteng ketahanan sosial kita. Di sinilah pentingnya memandang kesehatan mental bukan sekadar urusan pribadi, tetapi sebagai strategi pertahanan nasional yang menentukan kekuatan bangsa di masa depan.

Kesehatan Mental yang Belum Diprioritaskan

Di Indonesia, perhatian terhadap isu kesehatan mental memang semakin meningkat, tetapi masih jauh dari kata cukup. Berdasarkan data Riskesdas 2018 dari Kementerian Kesehatan, sekitar 9,8% penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, sementara lebih dari 12 juta orang berisiko mengalami gangguan depresi (Riskesdes, 2019). 

Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang mendapat layanan kesehatan jiwa memadai.

Masalah terbesar ada pada akses dan stigma. Layanan kesehatan mental di tingkat puskesmas masih terbatas, dan tenaga profesional seperti psikiater maupun psikolog jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. 

Di banyak daerah, satu psikiater harus menangani ribuan pasien, terutama saat terjadi bencana atau krisis.

Selain keterbatasan sumber daya, stigma sosial juga masih kuat. Banyak orang enggan mencari bantuan karena takut dicap "lemah", "gila", atau "tidak beriman". 

Akibatnya, gangguan psikologis sering disembunyikan hingga memburuk. Kondisi ini diperparah oleh pandangan pemerintah dan lembaga publik yang masih menempatkan kesehatan mental sebagai isu sekunder, bukan prioritas strategis.

Padahal, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2023), kesehatan mental yang buruk berkontribusi langsung terhadap penurunan produktivitas dan meningkatnya risiko penyakit fisik. 

Dalam situasi darurat seperti bencana, perang, atau pandemi, efeknya bahkan lebih parah --- trauma psikologis bisa menghambat pemulihan sosial dan ekonomi masyarakat.

Psikiater dr. Andri, Sp.KJ, dalam wawancara dengan Kompas.com (10 Oktober 2025), menegaskan bahwa dalam banyak bencana, layanan psikologis sering tertinggal jauh dibanding bantuan fisik. Padahal dukungan psikososial dini dapat mencegah trauma menjadi kronis. 

Artinya, memperkuat sistem kesehatan jiwa bukan hanya untuk menolong individu, tapi juga untuk menjaga daya tahan sosial bangsa secara keseluruhan.

Mental Health sebagai Pilar Ketahanan Nasional

Konsep ketahanan nasional biasanya dikaitkan dengan kekuatan militer, ekonomi, atau sumber daya alam. Namun, di era modern, para ahli keamanan mulai menyoroti dimensi baru: ketahanan psikologis masyarakat. 

Negara yang warganya mudah panik, terpecah oleh disinformasi, atau kehilangan kepercayaan diri kolektif, sejatinya sedang mengalami krisis pertahanan dari dalam.

Kesehatan mental bukan hanya tentang individu yang bisa tersenyum setiap hari, tapi tentang kemampuan kolektif bangsa untuk berpikir jernih, bekerja sama, dan tetap berdaya saat menghadapi krisis. Di tengah tekanan global, resilience mental menjadi fondasi ketangguhan sosial.

Beberapa negara telah memahami hal ini. Finlandia menjadi salah satu negara yang memasukkan aspek ketahanan psikologis dalam strategi pertahanan nasionalnya. 

Dalam dokumen Security Strategy for Society yang diterbitkan Kementerian Pertahanan Finlandia (2010), disebutkan bahwa "pendidikan menumbuhkan solidaritas warga negara dan kemauan untuk membela negara, serta memperkuat ketahanan psikologis terhadap krisis." (Sumber: link)

Artinya, pendidikan tidak hanya membentuk kecerdasan akademik, tetapi juga kekuatan mental kolektif yang menjadi bagian dari strategi keamanan nasional. 

Begitu pula Filipina dan Sri Lanka yang memperkuat layanan psikologis berbasis komunitas setelah mengalami bencana besar. Mereka belajar bahwa pemulihan pasca-krisis tidak bisa hanya mengandalkan bantuan logistik; dukungan psikologis menjadi elemen penting agar masyarakat bisa bangkit dan berfungsi kembali. (researchgate.net) (journals.lww.com)

Indonesia sejatinya memiliki potensi besar untuk menempuh jalan serupa. Kita memiliki struktur sosial yang kuat, nilai gotong royong, dan jaringan puskesmas di hampir setiap daerah. 

Namun, tanpa kebijakan nasional yang memprioritaskan kesehatan jiwa, semua potensi itu akan sulit berkembang menjadi sistem yang tangguh.

Ketahanan nasional tidak bisa hanya diukur dari jumlah tank atau cadangan energi, tetapi juga dari seberapa sehat pikiran kolektif masyarakatnya. Negara dengan warga yang tenang dan berdaya memiliki kekuatan pertahanan yang tidak terlihat, tetapi sangat nyata.

Dari Tentara Hingga Relawan dan Masyarakat Sipil

Dalam situasi darurat, beban psikologis tidak hanya dialami korban, tetapi juga mereka yang bertugas menolong. Tentara, tenaga medis, relawan bencana, hingga jurnalis lapangan sering kali menghadapi tekanan emosional berat. 

Mereka menyaksikan kematian, kehilangan, dan penderitaan setiap hari, namun jarang mendapat dukungan psikologis yang layak.

Penelitian dari International Committee of the Red Cross (ICRC, 2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% tenaga kemanusiaan di zona konflik mengalami gejala burnout atau stres pascatrauma. 

Di Indonesia, data serupa mungkin belum lengkap, tetapi pengalaman relawan pascabencana di Palu dan Cianjur menunjukkan banyak dari mereka mengalami gejala cemas dan insomnia berbulan-bulan setelah bertugas.

Padahal, jika mereka tidak mendapat dukungan psikologis, efektivitas kerja di lapangan bisa menurun. Stres kronis dapat membuat pengambilan keputusan menjadi tidak rasional dan menurunkan empati terhadap korban. 

Inilah mengapa WHO merekomendasikan pelatihan Psychological First Aid (PFA) bagi semua tenaga darurat agar mampu memberikan pertolongan emosional dasar dan menjaga kestabilan mental sendiri. (Sumber: link).

Selain petugas, masyarakat sipil juga rentan. Di era media sosial, banyak orang mengalami "secondary trauma" akibat terus-menerus menonton atau membaca berita buruk. 

Fenomena doomscrolling membuat pikiran kita seolah ikut berada di zona krisis, meski tubuh sedang di rumah. Efeknya mirip seperti trauma tak langsung: muncul kecemasan, sulit tidur, dan kelelahan emosional.

Sayangnya, kesadaran akan hal ini masih minim. Banyak yang menganggap stres atau cemas hanyalah bagian dari hidup modern, padahal akumulasi tekanan bisa berdampak pada kesehatan fisik dan hubungan sosial. 

Di titik ini, penting bagi negara untuk tidak hanya fokus pada aspek fisik pertahanan, tetapi juga menciptakan sistem dukungan psikologis bagi seluruh lapisan masyarakat.

Jika pelatihan fisik diwajibkan bagi aparat keamanan, mengapa tidak melatih mereka juga untuk memahami dasar-dasar stabilitas emosional? Jika setiap desa memiliki pos keamanan, mengapa tidak disertai juga dengan pusat konseling atau edukasi mental health berbasis komunitas?

Pertahanan sejati bukan hanya kemampuan mengangkat senjata, tetapi juga kemampuan menenangkan diri dan orang lain ketika situasi chaos melanda. Dan itu, hanya bisa dicapai bila kesehatan mental dijadikan bagian dari strategi nasional.

Solusi dan Arah Kebijakan

Menjadikan kesehatan mental bagian dari strategi pertahanan nasional tentu memerlukan pendekatan lintas sektor. Pemerintah dapat memulainya dengan memperkuat layanan kesehatan jiwa di puskesmas, sebagaimana disarankan oleh dr. Andri (Kompas.com, 2025). 

Puskesmas bisa menjadi titik awal intervensi, terutama di wilayah terdampak bencana atau konflik sosial.

Langkah berikutnya adalah melatih tenaga medis, aparat, dan relawan dalam psychological first aid. Pelatihan ini relatif sederhana namun berdampak besar karena membekali mereka dengan kemampuan dasar mendengarkan, menenangkan, dan menilai kebutuhan emosional seseorang dalam situasi darurat.

Selain itu, integrasi kesehatan mental ke dalam kebijakan pertahanan dapat dilakukan melalui pendidikan karakter dan ketahanan sosial di sekolah-sekolah. Anak-anak perlu belajar mengelola stres, mengenali emosi, dan menumbuhkan empati sejak dini. Ini bukan semata pendidikan moral, tetapi investasi keamanan psikologis bangsa.

Kementerian Pertahanan dan Kementerian Kesehatan dapat bekerja sama membentuk unit riset khusus yang meneliti keterkaitan antara stres sosial, propaganda digital, dan daya tahan nasional. Dengan begitu, kebijakan yang diambil tidak reaktif, tetapi berbasis bukti ilmiah.

Media juga memiliki peran besar. Alih-alih hanya menyoroti isu kesehatan mental saat tragedi terjadi, media dapat berkontribusi dengan menyebarkan informasi positif, panduan praktis menjaga kesehatan jiwa, serta menyoroti kisah inspiratif tentang ketangguhan masyarakat.

Yang tak kalah penting, masyarakat harus diajak berbicara tentang mental health tanpa rasa takut atau malu. Dukungan keluarga, lingkungan kerja yang sehat, dan komunitas yang peduli dapat menjadi benteng sosial pertama melawan stres kolektif. 

Dengan demikian, pertahanan nasional tidak lagi hanya tanggung jawab militer, tapi juga menjadi gerakan sipil yang melindungi jiwa bersama.

Penutup

Kekuatan bangsa tidak hanya diukur dari jumlah senjata atau kekayaan alam, tetapi dari seberapa kuat warganya bertahan menghadapi tekanan tanpa kehilangan harapan. Kesehatan mental yang baik menciptakan masyarakat yang tenang, rasional, dan mampu bekerja sama menghadapi krisis --- inilah fondasi sejati dari ketahanan nasional.

Sudah saatnya Indonesia menempatkan kesehatan mental sebagai bagian penting dari strategi pertahanan negara. Karena bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang tak pernah goyah, melainkan bangsa yang mampu bangkit setiap kali jatuh, dengan hati yang tetap waras dan jiwa yang tenang.

Seperti kata pepatah lama, "Tidak ada ketahanan nasional tanpa ketenangan batin warganya." Dan di zaman yang penuh kegaduhan ini, menjaga kewarasan bersama mungkin adalah bentuk pertahanan paling mulia yang bisa kita lakukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun