Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Kesehatan Mental Harus Masuk Strategi Pertahanan Nasional?

11 Oktober 2025   09:01 Diperbarui: 11 Oktober 2025   01:24 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stres. (PIXABAY/FREE-PHOTOS via KOMPAS.com)

Artinya, pendidikan tidak hanya membentuk kecerdasan akademik, tetapi juga kekuatan mental kolektif yang menjadi bagian dari strategi keamanan nasional. 

Begitu pula Filipina dan Sri Lanka yang memperkuat layanan psikologis berbasis komunitas setelah mengalami bencana besar. Mereka belajar bahwa pemulihan pasca-krisis tidak bisa hanya mengandalkan bantuan logistik; dukungan psikologis menjadi elemen penting agar masyarakat bisa bangkit dan berfungsi kembali. (researchgate.net) (journals.lww.com)

Indonesia sejatinya memiliki potensi besar untuk menempuh jalan serupa. Kita memiliki struktur sosial yang kuat, nilai gotong royong, dan jaringan puskesmas di hampir setiap daerah. 

Namun, tanpa kebijakan nasional yang memprioritaskan kesehatan jiwa, semua potensi itu akan sulit berkembang menjadi sistem yang tangguh.

Ketahanan nasional tidak bisa hanya diukur dari jumlah tank atau cadangan energi, tetapi juga dari seberapa sehat pikiran kolektif masyarakatnya. Negara dengan warga yang tenang dan berdaya memiliki kekuatan pertahanan yang tidak terlihat, tetapi sangat nyata.

Dari Tentara Hingga Relawan dan Masyarakat Sipil

Dalam situasi darurat, beban psikologis tidak hanya dialami korban, tetapi juga mereka yang bertugas menolong. Tentara, tenaga medis, relawan bencana, hingga jurnalis lapangan sering kali menghadapi tekanan emosional berat. 

Mereka menyaksikan kematian, kehilangan, dan penderitaan setiap hari, namun jarang mendapat dukungan psikologis yang layak.

Penelitian dari International Committee of the Red Cross (ICRC, 2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% tenaga kemanusiaan di zona konflik mengalami gejala burnout atau stres pascatrauma. 

Di Indonesia, data serupa mungkin belum lengkap, tetapi pengalaman relawan pascabencana di Palu dan Cianjur menunjukkan banyak dari mereka mengalami gejala cemas dan insomnia berbulan-bulan setelah bertugas.

Padahal, jika mereka tidak mendapat dukungan psikologis, efektivitas kerja di lapangan bisa menurun. Stres kronis dapat membuat pengambilan keputusan menjadi tidak rasional dan menurunkan empati terhadap korban. 

Inilah mengapa WHO merekomendasikan pelatihan Psychological First Aid (PFA) bagi semua tenaga darurat agar mampu memberikan pertolongan emosional dasar dan menjaga kestabilan mental sendiri. (Sumber: link).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun