Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Masjid Raya Baiturrahman dan Pesan Rahasia di Balik Doa

10 Oktober 2025   13:44 Diperbarui: 10 Oktober 2025   13:44 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Jumat, 10/10/2025. Dok. Pribadi/Julianda Boang Manalu 

Langit Banda Aceh siang itu sedikit mendung, seolah sedang memayungi ribuan langkah yang perlahan menuju satu arah: Masjid Raya Baiturrahman. Udara hangat terasa lembut menyentuh wajah, bercampur aroma khas kain sarung yang baru disetrika, minyak rambut para jamaah, dan wangi karpet masjid yang selalu bersih. 

Di antara dentuman langkah dan gumam lirih, gema azan dari menara putih menjulang tinggi memanggil setiap hati untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia.

Masjid Raya Baiturrahman bukan sekadar bangunan bersejarah. Ia adalah saksi bisu keteguhan iman orang Aceh, terutama ketika gelombang tsunami meluluhlantakkan sebagian besar kota ini dua dekade silam. 

Dari reruntuhan dan tangisan, masjid ini tetap berdiri tegak, seolah ingin berkata bahwa yang hancur hanyalah dunia, bukan keyakinan. Maka setiap kali saya menjejakkan kaki ke pelatarannya, selalu ada rasa teduh yang sulit dijelaskan---seolah-olah waktu berjalan lebih lambat, dan setiap napas menjadi tasbih.

Hari itu adalah hari Jumat, hari yang selalu disebut sebagai sayyidul ayyam---penghulu dari semua hari. Ribuan jamaah dari berbagai penjuru datang, memenuhi setiap barisan hingga ke serambi. 

Saat takbir berkumandang, gema doa dan dzikir bersatu membentuk irama batin yang menenangkan. Namun, seperti biasa, puncak pertemuan spiritual itu hadir dalam khutbah---momen di mana setiap kata bisa menjadi cermin bagi jiwa yang tengah mencari arah.

Khutbah yang Menyentuh: Doa yang Menyembuhkan, Bukan Melukai

Khatib hari ini membuka khutbahnya dengan suara lembut tapi tegas. Ia tidak memulai dengan ancaman, melainkan dengan pertanyaan yang membuat banyak orang menunduk: "Berapa banyak dari kita yang berdoa, tapi isi doa itu justru menyakiti saudara kita sendiri?"

Kalimat itu menancap kuat di benak saya. Selama ini saya selalu menganggap doa sebagai hal yang netral---sebuah amalan spiritual yang tak mungkin menimbulkan keburukan. Tapi khatib menjelaskan bahwa doa, seperti halnya kata-kata, bisa menjadi sumber kebaikan atau sebaliknya, tergantung dari niat di baliknya. 

Ia mengingatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Janganlah kalian saling mendoakan keburukan, karena bisa jadi doa itu dikabulkan dan kembali kepada kalian sendiri." (HR. Muslim).

Pesan ini terasa menampar, karena tanpa sadar, banyak di antara kita yang pernah berdoa agar orang lain "mendapat balasan" atas perlakuannya kepada kita. Kita lupa bahwa dalam Islam, bahkan doa yang buruk terhadap sesama muslim bisa menjadi bentuk kezhaliman batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun