Bangsa kita juga sangat memperhatikan relasi antar generasi dan penghormatan kepada orang tua atau mertua. Keputusan lansia bercerai bisa dianggap sebagai pengkhianatan norma kolektif dan menyebabkan tekanan emosional bagi pihak keluarga yang tersisa.Â
Stigma "orang ketiga", "egois di usia tua", bahkan rumor keburukan bisa muncul, menyebarkan rasa malu dan isolasi bagi yang bersangkutan.
Faktor kelas sosial juga tak bisa dilepaskan. Menurut riset tentang narasi perceraian di Indonesia, keputusan untuk menceraikan atau bertahan sangat dipengaruhi latar ekonomi dan akses terhadap sumber daya hukum serta dukungan sosial. (ResearchGate).Â
Dalam komunitas dengan akses terbatas, lansia penceraian mungkin tidak punya peluang yang sama untuk memulai kehidupan baru dibanding mereka dengan sumber daya finansial memadai.
Belum lagi tekanan keluarga besar: anak, menantu, dan saudara bisa menyuarakan protes atau memandang bahwa keputusan tersebut "membuang masa lalu," sehingga orang lansia menjadi korban komentar pedas dan penilaian moral. Tak jarang mereka menyimpan rahasia atau tidak mau membagikan alasannya demi menjaga imej.
Di tengah tekanan itu, pilihan melakukan perceraian sebagai bentuk self-love menjadi sangat radikal. Ia menantang norma lama dan menyuarakan: "Saya berhak memilih bahagia, meski usia sudah senja."Â
Seiring berubahnya paradigma sosial, kiranya kita perlu membuka ruang empati dan pemahaman lebih luas terhadap orang lansia --- bahwa mereka juga memiliki hak atas kebahagiaan dan kemandirian batin.
Membangun Support System untuk Self-Love Lansia
Langkah pertama dalam dukungan praktis adalah kehadiran profesional psikolog atau konselor yang memahami dinamika lansia --- bukan hanya krisis pernikahan umum, tapi konteks kehilangan identitas, rasa bersalah, dan penyesuaian di usia lanjut.Â
Terapi berbasis compassion-focused dan acceptance commitment therapy telah menunjukkan efektivitas dalam meningkatkan adaptasi pasca perceraian. (jhsss.sums.ac.ir).
Komunitas dan kelompok sebaya juga sangat berperan. Misalnya kelompok diskusi lansia, komunitas kegiatan seni, atau kelas kebugaran lansia --- di mana mereka bisa berkumpul tanpa stigma dan saling berbagi pengalaman hidup.Â
Dengan kehadiran sesama orang senja yang juga sedang membangun kehidupan baru, seseorang merasa tak sendiri dalam perjalanan panjang itu.