Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bapak Rumah Tangga dan Dunia yang Masih Tak Siap Menerimanya

10 Oktober 2025   07:01 Diperbarui: 11 Oktober 2025   13:24 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: thetrumpet.com/Freepik)

Suatu pagi di sebuah kompleks perumahan di pinggiran kota, seorang ayah terlihat sedang menjemur pakaian sambil mengawasi anak bungsunya berlari-lari kecil di halaman. 

Beberapa tetangga yang lewat menatap dengan ekspresi campur aduk---ada yang tersenyum sopan, ada pula yang berbisik pelan. 

Di mata sebagian orang, pemandangan itu masih terasa janggal: laki-laki yang seharusnya "berangkat kerja" justru sibuk di rumah mengurus anak dan cucian.

Padahal, dunia sudah banyak berubah. Perempuan kini bisa menjadi eksekutif, menteri, atau pemimpin negara. Namun, ketika seorang pria memutuskan untuk fokus di rumah, sebagian masyarakat masih merasa ada yang "tidak beres". 

Dalam banyak percakapan sehari-hari, kita masih sering mendengar kalimat seperti, "Sayang banget, padahal kariernya bagus," atau "Lelaki kok di rumah saja?" Seolah tanggung jawab domestik bukanlah ruang yang layak untuk laki-laki.

Fenomena bapak rumah tangga sebenarnya bukan hal baru. Namun, gaungnya semakin terdengar dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pandemi membuat banyak keluarga harus menyesuaikan peran. 

Beberapa pria yang kehilangan pekerjaan, atau memilih mendukung istri yang kariernya lebih stabil, mulai mengambil alih tugas rumah tangga. Tapi perubahan ini tidak selalu disambut dengan tangan terbuka. 

Dunia luar---terutama lingkungan sosial yang masih kental dengan nilai patriarki---belum sepenuhnya siap menerima kenyataan bahwa kejantanan tidak diukur dari slip gaji.

Dalam konteks Indonesia, menjadi "bapak rumah tangga" bukan hanya soal keputusan pribadi, tetapi juga benturan antara nilai tradisional dan realitas modern. Di satu sisi, norma sosial menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. 

Di sisi lain, dinamika ekonomi, perubahan struktur keluarga, serta meningkatnya kesetaraan gender memunculkan pola baru dalam pembagian peran. Di sinilah sering muncul benturan emosional dan sosial: antara keinginan untuk berkontribusi di rumah dan tekanan untuk tetap tampil sebagai "pria sejati" di mata masyarakat.

Pergulatan Sunyi di Balik Dapur

Menjadi bapak rumah tangga bukan sekadar berganti peran dengan istri. Ia adalah perjalanan panjang menuju pemahaman baru tentang makna tanggung jawab dan cinta keluarga. 

Di balik aktivitas sederhana seperti memasak, menidurkan anak, atau mengantar sekolah, tersimpan pergulatan batin yang tidak kecil. Banyak pria yang diam-diam merasa kehilangan arah ketika harus meninggalkan dunia kerja, tempat mereka selama ini mendapatkan pengakuan sosial.

Seorang teman saya, mantan karyawan bank, pernah berkata lirih, "Awalnya rasanya aneh. Bangun pagi tanpa seragam, tanpa rapat, tanpa target. Tapi saat anakku memelukku sambil bilang 'terima kasih, Ayah', ada sesuatu yang tak bisa digantikan." 

Kalimat itu sederhana, tapi mencerminkan kompleksitas batin yang dialami banyak bapak rumah tangga: antara kehilangan status sosial dan menemukan makna baru dalam kehadiran.

Menurut pemahaman sebagian orang --walaupun tidak sepenuhnya benar--bahwa sebagian laki-laki masih menilai harga diri dari seberapa besar penghasilan yang mereka bawa pulang. Ketika peran itu bergeser, sebagian merasa gagal sebagai pemimpin keluarga. 

Padahal, keterlibatan emosional ayah dalam pengasuhan justru sangat berharga untuk perkembangan anak. Anak yang dekat dengan ayah cenderung memiliki rasa percaya diri lebih tinggi dan kemampuan sosial yang lebih baik.

Namun, pergulatan ini tidak hanya datang dari dalam diri. Lingkungan sosial sering menjadi sumber tekanan terbesar. Ketika seorang pria memilih di rumah, tak jarang muncul komentar sinis, baik dari keluarga besar maupun teman sejawat. 

Bahkan, ada yang berusaha menormalkan keputusannya dengan alasan "sementara saja", seolah menjadi bapak rumah tangga adalah bentuk ketidakberdayaan, bukan pilihan sadar.

Di sinilah pentingnya dukungan pasangan. Banyak kisah bapak rumah tangga yang berhasil justru karena istrinya menjadi mitra sejajar, bukan pengkritik. 

Mereka berbagi peran dengan kesadaran penuh bahwa keluarga bukan kompetisi peran, melainkan kerja sama tim. Dalam keluarga semacam ini, dapur dan kantor bukan dua dunia yang bertentangan, melainkan dua ruang yang saling menopang.

Ketika Dunia Luar Tak Ramah

Masyarakat kita masih kerap menilai seseorang dari jenis pekerjaannya. Itulah sebabnya menjadi bapak rumah tangga sering diartikan sebagai "tidak produktif". 

Padahal, mengurus rumah, anak, dan kebutuhan harian adalah pekerjaan penuh waktu yang menuntut kesabaran luar biasa. Ironisnya, pekerjaan yang tak dibayar ini justru sering dianggap tidak bernilai, terutama ketika dilakukan oleh laki-laki.

Fenomena serupa juga terjadi di luar negeri. Di Tiongkok, meningkatnya jumlah pria yang memutuskan berhenti bekerja dan menjadi "stay-at-home dad". Meski awalnya menuai cemoohan, perlahan masyarakat mulai mengakui nilai dari kehadiran ayah di rumah. 

Di Amerika Serikat, riset Pew Research Center menunjukkan peningkatan signifikan jumlah ayah yang memilih peran domestik, terutama di keluarga muda (sumber). 

Namun, meski angka meningkat, narasi sosial tentang "ayah yang di rumah" masih sering diwarnai stereotip: malas, tidak ambisius, atau "dikendalikan istri".

Media sosial memperlihatkan dua sisi yang menarik. Di satu sisi, muncul ruang bagi para bapak rumah tangga untuk berbagi pengalaman, membangun komunitas, dan saling menguatkan. 

Banyak konten di Instagram atau TikTok yang memperlihatkan sisi hangat ayah dalam keseharian---dari mengganti popok hingga memasak sarapan. Tapi di sisi lain, ruang digital juga menjadi tempat di mana stigma bisa berlipat ganda. 

Komentar seperti "laki-laki kok di dapur" masih sering muncul, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat belum benar-benar siap melihat ayah memegang spatula.

Sosiolog Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menulis bahwa ketimpangan gender bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga soal persepsi. 

Masyarakat sering kali tidak memberi ruang bagi laki-laki untuk mengekspresikan sisi lembut dan pengasuhnya karena dianggap mengurangi "kejantanan" (Mansour Fakih, 2016). 

Padahal, dalam masyarakat modern, kejantanan seharusnya tidak lagi diukur dari dominasi, melainkan dari kemampuan berempati dan berpartisipasi dalam peran keluarga.

Menjadi bapak rumah tangga di dunia yang masih maskulin ibarat berenang melawan arus. Tapi di balik itu ada harapan. Setiap langkah kecil---menjemput anak, menyiapkan sarapan, membantu pekerjaan rumah---adalah bentuk keberanian menantang norma lama. 

Perlahan tapi pasti, dunia akan terbiasa melihat laki-laki tidak hanya di ruang publik, tapi juga di ruang domestik dengan rasa bangga yang sama.

Menemukan Makna Baru tentang Kejantanan

Mungkin sudah waktunya kita mendefinisikan ulang apa artinya menjadi "laki-laki sejati." Selama berabad-abad, budaya patriarki menanamkan gagasan bahwa kejantanan diukur dari kekuatan fisik, dominasi ekonomi, dan peran sebagai kepala keluarga yang memimpin dari depan. 

Tapi zaman berubah. Dunia kini menuntut kehadiran emosional yang lebih dalam, terutama di dalam keluarga.

Ayah yang terlibat bukan lagi simbol kelemahan, melainkan tanda kedewasaan. Ia hadir bukan karena kalah dalam karier, tetapi karena sadar bahwa anak-anak membutuhkan figur pelindung yang bukan hanya kuat secara finansial, tetapi juga hangat secara emosional. 

Psikolog anak Yulia Wahyu Ningrum dari Samarinda pernah mengatakan dalam wawancara dengan Kompas bahwa kehadiran ayah secara fisik dan emosional membantu anak membangun rasa aman dan motivasi belajar (Kompas.id). 

Ketika ayah absen, bahkan hanya secara emosional, anak cenderung mengalami kesulitan percaya diri dan kurang stabil secara emosional.

Kehadiran ayah, dengan atau tanpa gaji bulanan, tetaplah pondasi penting dalam keluarga. Di tengah perubahan zaman, mungkin justru bapak rumah tangga adalah pionir bentuk baru kejantanan---yang mengukur harga diri bukan dari kekuasaan, tapi dari kehadiran. 

Mereka adalah orang-orang yang berani menukar prestise sosial dengan waktu berharga bersama keluarga. Mereka mungkin tidak punya jabatan di kantor, tapi mereka punya gelar tak tertulis: penjaga kehangatan rumah.

Pada akhirnya, dunia boleh saja belum sepenuhnya siap menerima para bapak rumah tangga. Tetapi sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani menjadi berbeda. 

Sama seperti dulu perempuan harus berjuang keluar dari dapur untuk diakui di ruang publik, kini sebagian laki-laki justru berjuang masuk ke dapur untuk membangun keseimbangan baru. Dan mungkin, di sanalah letak keadilan sesungguhnya: ketika kita berhenti menilai peran berdasarkan gender, dan mulai menilainya berdasarkan cinta.

Mungkin menjadi laki-laki sejati hari ini bukan lagi tentang seberapa tinggi penghasilan, tetapi seberapa lembut cara mereka menyalakan kompor, mengganti popok, dan menjaga mimpi anak-anaknya tetap hangat. 

Dunia memang belum siap, tapi setiap ayah yang berani memilih jalan ini sedang menyiapkannya---pelan-pelan, dengan tangan yang bau sabun bayi dan hati yang penuh kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun