Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bapak Rumah Tangga dan Dunia yang Masih Tak Siap Menerimanya

10 Oktober 2025   07:01 Diperbarui: 11 Oktober 2025   13:24 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: thetrumpet.com/Freepik)

Menjadi bapak rumah tangga bukan sekadar berganti peran dengan istri. Ia adalah perjalanan panjang menuju pemahaman baru tentang makna tanggung jawab dan cinta keluarga. 

Di balik aktivitas sederhana seperti memasak, menidurkan anak, atau mengantar sekolah, tersimpan pergulatan batin yang tidak kecil. Banyak pria yang diam-diam merasa kehilangan arah ketika harus meninggalkan dunia kerja, tempat mereka selama ini mendapatkan pengakuan sosial.

Seorang teman saya, mantan karyawan bank, pernah berkata lirih, "Awalnya rasanya aneh. Bangun pagi tanpa seragam, tanpa rapat, tanpa target. Tapi saat anakku memelukku sambil bilang 'terima kasih, Ayah', ada sesuatu yang tak bisa digantikan." 

Kalimat itu sederhana, tapi mencerminkan kompleksitas batin yang dialami banyak bapak rumah tangga: antara kehilangan status sosial dan menemukan makna baru dalam kehadiran.

Menurut pemahaman sebagian orang --walaupun tidak sepenuhnya benar--bahwa sebagian laki-laki masih menilai harga diri dari seberapa besar penghasilan yang mereka bawa pulang. Ketika peran itu bergeser, sebagian merasa gagal sebagai pemimpin keluarga. 

Padahal, keterlibatan emosional ayah dalam pengasuhan justru sangat berharga untuk perkembangan anak. Anak yang dekat dengan ayah cenderung memiliki rasa percaya diri lebih tinggi dan kemampuan sosial yang lebih baik.

Namun, pergulatan ini tidak hanya datang dari dalam diri. Lingkungan sosial sering menjadi sumber tekanan terbesar. Ketika seorang pria memilih di rumah, tak jarang muncul komentar sinis, baik dari keluarga besar maupun teman sejawat. 

Bahkan, ada yang berusaha menormalkan keputusannya dengan alasan "sementara saja", seolah menjadi bapak rumah tangga adalah bentuk ketidakberdayaan, bukan pilihan sadar.

Di sinilah pentingnya dukungan pasangan. Banyak kisah bapak rumah tangga yang berhasil justru karena istrinya menjadi mitra sejajar, bukan pengkritik. 

Mereka berbagi peran dengan kesadaran penuh bahwa keluarga bukan kompetisi peran, melainkan kerja sama tim. Dalam keluarga semacam ini, dapur dan kantor bukan dua dunia yang bertentangan, melainkan dua ruang yang saling menopang.

Ketika Dunia Luar Tak Ramah

Masyarakat kita masih kerap menilai seseorang dari jenis pekerjaannya. Itulah sebabnya menjadi bapak rumah tangga sering diartikan sebagai "tidak produktif". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun