Suatu pagi di sebuah kompleks perumahan di pinggiran kota, seorang ayah terlihat sedang menjemur pakaian sambil mengawasi anak bungsunya berlari-lari kecil di halaman.Â
Beberapa tetangga yang lewat menatap dengan ekspresi campur aduk---ada yang tersenyum sopan, ada pula yang berbisik pelan.Â
Di mata sebagian orang, pemandangan itu masih terasa janggal: laki-laki yang seharusnya "berangkat kerja" justru sibuk di rumah mengurus anak dan cucian.
Padahal, dunia sudah banyak berubah. Perempuan kini bisa menjadi eksekutif, menteri, atau pemimpin negara. Namun, ketika seorang pria memutuskan untuk fokus di rumah, sebagian masyarakat masih merasa ada yang "tidak beres".Â
Dalam banyak percakapan sehari-hari, kita masih sering mendengar kalimat seperti, "Sayang banget, padahal kariernya bagus," atau "Lelaki kok di rumah saja?" Seolah tanggung jawab domestik bukanlah ruang yang layak untuk laki-laki.
Fenomena bapak rumah tangga sebenarnya bukan hal baru. Namun, gaungnya semakin terdengar dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pandemi membuat banyak keluarga harus menyesuaikan peran.Â
Beberapa pria yang kehilangan pekerjaan, atau memilih mendukung istri yang kariernya lebih stabil, mulai mengambil alih tugas rumah tangga. Tapi perubahan ini tidak selalu disambut dengan tangan terbuka.Â
Dunia luar---terutama lingkungan sosial yang masih kental dengan nilai patriarki---belum sepenuhnya siap menerima kenyataan bahwa kejantanan tidak diukur dari slip gaji.
Dalam konteks Indonesia, menjadi "bapak rumah tangga" bukan hanya soal keputusan pribadi, tetapi juga benturan antara nilai tradisional dan realitas modern. Di satu sisi, norma sosial menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama.Â
Di sisi lain, dinamika ekonomi, perubahan struktur keluarga, serta meningkatnya kesetaraan gender memunculkan pola baru dalam pembagian peran. Di sinilah sering muncul benturan emosional dan sosial: antara keinginan untuk berkontribusi di rumah dan tekanan untuk tetap tampil sebagai "pria sejati" di mata masyarakat.