Â
Dalam konteks budaya Indonesia, pekerjaan rumah tangga sering dilabeli sebagai "pekerjaan perempuan alami", seolah-olah kemampuan mengurus rumah, memasak, mencuci, atau merawat anak merupakan bagian kodrat yang melekat pada gender perempuan.Â
Pernyataan ini mengandung asumsi sosial patriarkal yang berlatar sejarah panjang, di mana perempuan dikondisikan untuk menjadi penjaga domestik dan pelayan keluarga.
Paradigma ini kemudian tercermin dalam struktur pekerjaan rumah tangga yang tidak memiliki payung hukum formal dan sering kali tak dihargai, seperti yang terjadi pada tenaga kerja yang disebut Asisten Rumah Tangga (ART).Â
Pemikiran bahwa ART tidak perlu memiliki keahlian khusus menjadikan profesi ini tampak kurang "profesional," padahal beban kerja yang mereka emban sangat kompleks dan menguras tenaga.
Ironisnya, beban tersebut justru cenderung berulang dari generasi ke generasi tanpa adanya perubahan substansial terhadap struktur sosial yang menahannya.Â
Sifatnya yang informal dan berada dalam ruang privat keluarga menjadikan pekerjaan ini berada di luar tanggung jawab negara, sehingga kerentanan dan ketimpangan menjadi sangat mudah terjadi.
Dalam RUU PPRT yang tengah dibahas sejak 2004, salah satu yang ingin dikoreksi adalah stigma gender ini. Namun, tanpa perubahan norma sosial yang lebih luas, regulasi formal sulit bekerja optimal.Â
Tanpa memahami maupun menyadari konstruksi patriarkal yang mendasari, akan sangat sulit menjadikan RUU PPRT sebagai alat yang efektif untuk mencapai keadilan berbasis gender.
 Tak Dihargai, Tak Berdaya: Dampak Sistemik bagi ART
Perempuan ART tidak hanya menghadapi ketidakadilan berupa upah rendah, jam kerja tak terbatas, dan rentannya praktik PHK sepihak, tetapi juga dibebani tuntutan sosial dan moral yang bersifat patriarkis.Â