Melalui kampanye budaya bersama pemerintah, media, tokoh masyarakat, dan organisasi perempuan/artis, paradigma ini dapat digeser supaya pekerjaan rumah tangga dilihat sebagai pekerjaan layak, bukan sekadar peran.
Kedua, regulasi harus bersifat protektif dan afirmatif. RUU PPRT sebaiknya menetapkan standar minimal gaji, jam kerja, cuti, jaminan sosial, serta kontrak tertulis sebagai kewajiban.Â
Namun juga harus dilengkapi dengan mekanisme ketaatan inspektorat domestik atau lembaga pengaduan khusus (sebagaimana dibutuhkan: lembaga pengaduan dan pendamping hukum khusus untuk kasus kekerasan, pelecehan, pemutusan hubungan kerja, dsb.).
Tanpa penegakan hukum yang jelas, banyak ART akan tetap bekerja di luar bayang-bayang tekanan gender. Regulasi juga harus memberikan insentif bagi pemberi kerja: misalnya pemberian subsidi pajak bagi majikan yang mempekerjakan ART secara formal, atau pelatihan bagi ART sehingga pekerja mendapatkan peningkatan keterampilan, bukan hanya menyapu-memasak.
Ketiga, regulasi seharusnya menyasar struktur kelembagaan: membangun sistem pelatihan dan sertifikasi yang inklusif, bukan eksklusif hanya bagi kelas pekerja menengah ke atas.
Membuat lembaga sertifikasi yang mudah diakses dan terjangkau oleh ART dari berbagai lapisan, agar status mereka menjadi diakui dan dihargai---meningkatkan bargaining power serta membuat perekrutan melalui lembaga penyedia ART menjadi transparan, profesional, dan terlindungi.
Keempat, norma sosial dan regulasi mesti berjalan pararel: kampanye kesadaran sosial perlu dikawinkan dengan regulasi yang bersifat protektif.Â
Jika RUU hanya mengatur secara legal, tetapi tidak diikuti oleh perubahan persepsi budaya dan sanksi sosial terhadap pelaku diskriminasi, maka akan sulit menata tatanan relasi ART-majikan menuju setara.
Jika norma budaya masih menyebut pekerjaan rumah tangga sebagai natural bagi perempuan tanpa upah yang layak, maka RUU hanya jadi sekadar kertas usang.Â
Adopsi norma gender egaliter dalam keluarga dan masyarakat perlu diupayakan: misalnya kampanye agar pasangan suami-istri berbagi pekerjaan domestik, anak-anak sekolah memahami pekerjaan rumah sebagai pekerjaan bernilai, hingga media menampilkan cerita positif tentang ART sebagai bagian dari ekosistem ekonomi.
Penutup
Perjuangan pengesahan RUU PPRT adalah kesempatan emas untuk merevisi bukan hanya aspek legal dan perlindungan formal, tetapi juga cara pandang kita terhadap pekerjaan rumah tangga dan perempuan pekerja.Â