Dengan tata kelola yang tepat, sampah dapat berubah dari masalah menjadi harapan bagi lingkungan dan masyarakat.
Sebulan belakangan ini, fenomena sampah menjadi perbincangan hangat di daerah tempat saya bekerja. Topiknya terkait rencana pemerintah daerah (pemda) yang akan menampung sampah dari kota lain untuk dibuang ke salah satu Tempat Penampungan Akhir (TPA) setempat pada tahun ini.
Sebelumnya, perjanjian kerja sama lintas wilayah terkait pengiriman sampah dari kabupaten lain sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2024.
Namun, karena dirasakan dampak negatifnya, sejumlah warga setempat mengeluh bahwa sampah dari luar kabupaten tersebut memperparah bau di TPA. Padahal, sejak awal TPA dirancang hanya untuk pembuangan sampah lokal, bukan dari luar daerah.
Nah, disini ceritanya ada dua daerah (kabupaten dan kota) yang berminat mengirimkan sampahnya ke lokasi TPA tersebut. Namun, alih-alih mendapat dukungan, kebijakan kerja sama ini justru menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak.
Menurut saya, ide menampung sampah dari daerah lain bisa dibilang solusi instan yang terlalu sederhana. Pasalnya, hanya lantaran suatu daerah kesulitan menampung sampah wilayahnya sendiri, sampahnya kemudian dibawa ke daerah lain yang memiliki lahan TPA lebih luas. Sesederhana itu solusinya. Di atas kertas tentu solusi ini tampaknya praktis, namun dalam kenyataannya tidak semudah itu bisa diterapkan.
Meski begitu, jika gagasan ini berjalan baik, sebenarnya ada banyak hal positif yang bisa diperoleh. Daerah penerima dapat mendapat pemasukan tambahan melalui dana kompensasi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.
Selain itu, hadirnya aktivitas pengelolaan sampah dalam skala besar juga dapat membuka peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat.
Lantas, mengapa rencana menampung kiriman sampah dari daerah lain ini ditolak?
Rencana menampung pengiriman sampah dari luar daerah tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat setempat. Mereka lebih meyakini dampak negatif dibandingkan manfaatnya.