Pemerintah juga perlu membangun sistem perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Jangan sampai orang yang tidak terlibat kejahatan ikut dirugikan hanya karena memiliki keterkaitan dengan aset yang disita. Tanpa mekanisme perlindungan, RUU ini bisa menimbulkan ketidakadilan baru.
Dalam jangka panjang, pendidikan integritas bagi aparat dan pejabat negara juga tidak boleh diabaikan. RUU sehebat apa pun akan lumpuh jika manusianya masih kotor. Membentuk kultur baru dalam birokrasi adalah pekerjaan panjang, tetapi itu fondasi agar aturan hukum bisa berjalan dengan benar.
Dengan kombinasi reformasi kelembagaan, aturan acara yang jelas, pengawasan publik, dan penguatan budaya integritas, RUU Perampasan Aset bisa benar-benar menjadi alat pemberantasan korupsi, bukan alat otoritarianisme. Tantangannya besar, tetapi tanpa itu, risiko jauh lebih besar menanti.
Penutup
RUU Perampasan Aset memang lahir dari niat baik untuk menyelamatkan kekayaan negara. Namun, dalam kondisi institusi hukum yang rapuh, ia bisa berubah menjadi pisau yang diarahkan bukan pada koruptor, melainkan pada demokrasi itu sendiri. Bahaya otoritarianisme hukum nyata mengintai, dan kita tidak boleh menutup mata.
Oleh karena itu, pembahasan RUU ini harus dilakukan dengan keterbukaan penuh, pengawasan publik, dan reformasi mendasar pada lembaga penegak hukum. Hanya dengan cara itu, niat baik tidak akan berubah menjadi senjata berbahaya.
Pada akhirnya, hukum seharusnya menjadi cahaya yang menerangi jalan keadilan, bukan bayangan gelap yang menakutkan rakyatnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI