Wajar jika publik menyambut gagasan ini dengan antusias. Masyarakat sudah lama lelah melihat para pejabat dengan gaya hidup mewah, sementara laporan kekayaan mereka tidak masuk akal. Tak jarang muncul istilah "penghasilan ajaib" untuk menggambarkan betapa tidak jelasnya asal-usul harta para elite.Â
RUU Perampasan Aset diharapkan bisa menjadi jalan keluar, sebab aparat dapat langsung menindak kekayaan yang tak wajar tanpa harus terikat prosedur pidana yang rumit.
Namun, di balik euforia itu tersimpan ketakutan besar dari kalangan elite. Zaenurrohman menegaskan bahwa banyak pejabat maupun aparat hukum sendiri memiliki kekayaan yang sulit dijelaskan.Â
Jika RUU ini berlaku, mereka yang punya "harta ajaib" tentu merasa waswas. Tidak heran jika sebagian politisi di Senayan mulai menyuarakan resistensi terhadap pembahasan RUU ini. Mereka khawatir hukum yang tajam ke luar justru berbalik melukai diri mereka sendiri.
Menariknya, perdebatan bukan hanya muncul di kalangan politisi. Dari pihak pemerintah, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyoroti bahwa istilah "perampasan aset" sebenarnya tidak dikenal dalam instrumen internasional. Yang ada adalah "asset recovery" atau pemulihan aset (Kompas.com, 19/9/2025).Â
Perampasan hanyalah salah satu bagian dari tujuh tahapan dalam pemulihan aset. Artinya, Indonesia berpotensi salah kaprah sejak awal dalam merumuskan istilah.
Selain soal terminologi, Eddy juga menekankan bahwa RUU ini tidak bisa berdiri sendiri. Ia bersifat kuasi, gabungan antara hukum acara pidana dan perdata. Karena itu, pembahasannya harus menunggu rampungnya revisi KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Tanpa fondasi hukum acara yang jelas, RUU ini akan rawan multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian.
Kondisi inilah yang membuat pembahasan RUU Perampasan Aset terasa penuh dilema. Di satu sisi, publik menuntut percepatan untuk menghentikan kebocoran aset negara. Di sisi lain, ada kesadaran bahwa penyusunan tergesa-gesa tanpa payung hukum yang kokoh justru bisa menimbulkan masalah baru.
Akhirnya, RUU ini pun tampak seperti pedang bermata dua: mampu mengikis praktik korupsi, tetapi sekaligus menyimpan potensi besar untuk melukai sendi-sendi demokrasi.
Bahaya Otoritarianisme Hukum
Istilah "otoritarianisme hukum" mungkin terdengar kontradiktif. Bagaimana mungkin hukum, yang seharusnya melindungi, justru bisa menindas? Namun, sejarah Indonesia membuktikan hal itu nyata. Pada masa Orde Baru, hukum kerap dipakai sebagai alat kekuasaan untuk membungkam lawan politik. Dengan payung legal formal, tindakan represif aparat seolah sah dilakukan.
RUU Perampasan Aset berisiko membuka kembali jalan serupa. Ketika kewenangan untuk menyita aset diberikan begitu besar kepada aparat, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, maka hukum berubah menjadi senjata, bukan lagi perisai. Penyitaan aset bisa saja dipakai sebagai alat kriminalisasi terhadap pihak yang tidak sejalan dengan penguasa.