Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fragmentasi Solidaritas dalam Aktivisme Gen Z

19 September 2025   07:01 Diperbarui: 19 September 2025   07:39 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aksi unjuk rasa oleh Gen Z. (Sumber: bbc.com/Getty Images )

Keenam, fragmentasi juga menghambat transfer pengalaman antar generasi. Padahal, aktivisme yang berkelanjutan membutuhkan kerja sama lintas generasi. Jika solidaritas internal Gen Z saja rapuh, bagaimana mereka bisa membangun jembatan dengan generasi yang lebih tua?

Ketujuh, dampak fragmentasi juga terasa dalam aspek psikologis. Banyak anak muda yang mengalami burnout atau kelelahan aktivisme karena merasa perjuangan mereka tidak pernah berbuah hasil nyata. Hal ini bisa membuat mereka mundur dan apatis.

Kedelapan, dalam jangka panjang, fragmentasi mengancam eksistensi aktivisme inklusif itu sendiri. Jika solidaritas tidak diperkuat, maka inklusivitas hanya menjadi slogan tanpa makna yang sesungguhnya.

Refleksi dan Harapan

Meski banyak tantangan, fragmentasi solidaritas bukanlah akhir dari segalanya. Justru, fenomena ini bisa menjadi bahan refleksi penting bagi Gen Z untuk mengevaluasi cara mereka beraktivisme. Apakah mereka ingin tetap terjebak dalam siklus solidaritas instan, atau berkomitmen membangun gerakan yang lebih berkelanjutan?

Salah satu hal yang perlu diperkuat adalah konsistensi. Gen Z perlu belajar bahwa perubahan sosial membutuhkan waktu panjang. Tidak cukup hanya dengan kampanye digital, tetapi juga harus ada tindak lanjut dalam bentuk advokasi, pendidikan masyarakat, dan dialog dengan pemangku kebijakan.

Selain itu, penting untuk membangun solidaritas berbasis nilai, bukan sekadar momen. Nilai seperti keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan harus menjadi fondasi bersama yang tidak lekang meski isu berganti. Dengan begitu, solidaritas bisa bertahan lebih lama.

Kolaborasi antar komunitas juga perlu ditingkatkan. Alih-alih bersaing untuk popularitas, mereka bisa saling melengkapi kekuatan. Misalnya, kelompok yang fokus pada kampanye digital bisa bekerja sama dengan kelompok yang bergerak di lapangan.

Gen Z juga perlu membuka diri terhadap generasi sebelumnya. Meski sering dianggap kuno, generasi tua memiliki pengalaman panjang dalam perjuangan sosial. Pertukaran pengetahuan lintas generasi dapat memperkuat gerakan.

Akhirnya, refleksi ini bukan hanya untuk Gen Z, tetapi juga untuk masyarakat luas. Dukungan dari orang tua, institusi pendidikan, dan media sangat dibutuhkan agar energi aktivisme Gen Z tidak padam di tengah jalan.

Penutup

Fragmentasi solidaritas dalam aktivisme Gen Z memang nyata adanya. Namun, retakan ini bukanlah alasan untuk meremehkan mereka. Justru di balik retakan itu, ada peluang besar untuk membangun gerakan yang lebih matang dan berkelanjutan.

Solidaritas Gen Z akan diuji bukan pada saat mereka ramai di timeline, tetapi ketika mereka mampu bertahan setelah sorotan publik meredup. Inilah ujian sejati yang akan menentukan apakah aktivisme mereka hanya tren sesaat atau gerakan yang membawa perubahan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun